Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu instrumen utama dalam mendukung pembangunan nasional, mempercepat pelayanan publik, serta memastikan penggunaan anggaran negara dilakukan secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Dalam praktiknya, proses pengadaan tidak hanya melibatkan aspek teknis dan administratif, tetapi juga menuntut kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi khusus agar setiap tahapan pengadaan—mulai dari perencanaan, persiapan, pemilihan penyedia, hingga pengelolaan kontrak—dapat berjalan sesuai regulasi yang berlaku. Untuk itu, pemerintah melalui berbagai regulasi telah mewajibkan bahwa pelaku pengadaan tertentu harus memiliki sertifikasi kompetensi sebagai bentuk pengakuan formal atas kemampuan mereka dalam mengelola pengadaan barang/jasa secara profesional. Artikel ini akan mengupas secara komprehensif siapa saja yang diwajibkan memiliki sertifikasi pengadaan, mengapa hal itu penting, bagaimana mekanisme memperoleh sertifikat tersebut, serta apa konsekuensi hukum dan administratif jika kewajiban ini tidak dipenuhi.
Kewajiban memiliki sertifikat pengadaan bagi para pelaku tertentu bukanlah ketentuan yang berdiri sendiri tanpa landasan hukum, melainkan telah diatur dan ditegaskan secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai regulasi yang mengikat, baik berupa peraturan presiden, peraturan lembaga teknis, maupun pedoman internal kementerian/lembaga/daerah. Landasan hukum yang paling utama adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah oleh Perpres Nomor 12 Tahun 2021 dan terakhir diperbarui melalui Perpres Nomor 46 Tahun 2024, yang secara konsisten menekankan pentingnya kompetensi dan profesionalitas pelaku pengadaan dalam mendukung terciptanya tata kelola pengadaan yang berintegritas dan akuntabel.
Dalam Pasal 57 Perpres 16/2018, disebutkan secara jelas bahwa pelaku pengadaan harus memiliki kompetensi yang dibuktikan melalui pelatihan dan sertifikasi tertentu. Hal ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam sejumlah regulasi teknis, antara lain Peraturan Kepala LKPP Nomor 6 Tahun 2019 tentang Sertifikasi Kompetensi Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa, serta pedoman-pedoman pelaksanaan uji kompetensi yang dikeluarkan oleh LKPP bekerja sama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Selain itu, Permen PAN-RB tentang jabatan fungsional ASN juga menegaskan bahwa untuk menduduki jabatan fungsional tertentu, ASN harus memiliki sertifikasi kompetensi sesuai tugas dan tanggung jawab jabatannya, termasuk untuk bidang pengadaan barang/jasa. Artinya, sertifikasi tidak sekadar formalitas, tetapi menjadi persyaratan legal dan struktural yang tidak dapat diabaikan.
Dalam konteks Indonesia, terdapat beberapa jenis sertifikasi pengadaan barang/jasa yang digunakan untuk menilai dan mengakui kompetensi pelaku pengadaan. Dua lembaga yang paling berwenang mengeluarkan sertifikasi adalah LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) dan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda namun saling melengkapi dalam memastikan bahwa SDM pengadaan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar nasional maupun internasional.
Sertifikasi LKPP, yang dulunya dikenal sebagai sertifikat keahlian PBJ, kini berbasis pada unit kompetensi dan dibagi ke dalam tiga jenjang utama: UKP1 (dasar), UKP2 (menengah), dan UKP3 (lanjut). UKP1 ditujukan untuk staf pelaksana, pejabat pengadaan untuk paket kecil, dan staf sekretariat. UKP2 diperuntukkan bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pokja Pemilihan, karena cakupannya mencakup perencanaan teknis, penyusunan dokumen tender, evaluasi, dan pengelolaan kontrak. Sementara UKP3 dikhususkan bagi tenaga ahli yang menangani pengadaan kompleks seperti proyek strategis nasional, KPBU, atau pengadaan multiyears.
Sertifikasi BNSP, di sisi lain, menggunakan pendekatan berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). BNSP menerbitkan sertifikat untuk Pengelola PBJ Tingkat 3 hingga Tingkat 6, dengan penilaian melalui portofolio kerja, observasi langsung, dan wawancara. Kelebihan skema BNSP adalah fleksibilitasnya yang lebih tinggi karena dapat diakses oleh ASN, BUMN, maupun swasta, serta digunakan lintas sektor.
Selain itu, sejumlah pejabat pengadaan yang bekerja di lingkungan internasional atau lembaga donor juga kerap mengambil sertifikasi internasional seperti CIPS (Chartered Institute of Procurement and Supply) atau NCMA (National Contract Management Association), meskipun sertifikasi ini sifatnya opsional dan belum menggantikan sertifikasi nasional yang diatur dalam regulasi Indonesia.
Pertanyaan utama yang menjadi inti pembahasan artikel ini adalah siapa sebenarnya yang diwajibkan memiliki sertifikasi pengadaan? Jawabannya merujuk langsung pada pembagian tugas dan tanggung jawab dalam struktur organisasi pengadaan barang/jasa pemerintah, di mana setiap jabatan yang berwenang mengambil keputusan strategis atau teknis pengadaan wajib didukung dengan sertifikasi resmi sebagai bentuk kompetensi.
Sebagai pejabat yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan kontrak pengadaan, PPK wajib memahami secara utuh proses PBJ dari awal hingga akhir. Ia harus mampu menyusun spesifikasi teknis, menetapkan HPS, menilai hasil pekerjaan, dan membuat keputusan pembayaran. Karena tanggung jawabnya sangat besar, PPK wajib memiliki sertifikat UKP2 atau sertifikasi BNSP tingkat 4 sebagai minimal. Tanpa sertifikat, keputusan atau kontrak yang ditandatangani PPK bisa dianggap cacat hukum dan membuka peluang sanksi administrasi.
Pokja bertugas melaksanakan tahapan seleksi penyedia barang/jasa, termasuk menyusun dokumen pemilihan, menetapkan kriteria evaluasi, mengevaluasi penawaran, melakukan klarifikasi dan negosiasi, serta menetapkan pemenang. Karena pekerjaan mereka sangat teknis dan memiliki risiko hukum tinggi, setiap anggota Pokja diwajibkan memiliki sertifikasi UKP2.
Untuk pengadaan langsung atau penunjukan langsung, walaupun nilai paketnya relatif kecil, pejabat pengadaan tetap harus memiliki sertifikasi dasar (UKP1 atau BNSP tingkat 3) karena tetap dituntut menjalankan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi.
ASN yang ingin atau telah menduduki jabatan fungsional Analis Pengadaan Barang/Jasa wajib memiliki sertifikasi kompetensi sesuai jenjang jabatannya, sesuai dengan ketentuan dari KemenPAN-RB dan LKPP. Tanpa sertifikat ini, ASN tidak dapat diangkat secara resmi ke jabatan fungsional PBJ, meskipun ia memiliki pengalaman.
Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran yang ingin ikut aktif dalam pengambilan keputusan atau mengevaluasi kontrak disarankan—walaupun tidak diwajibkan secara mutlak—memiliki sertifikat pengadaan untuk mendukung pemahaman strategis dan tata kelola pengadaan yang baik.
Ketiadaan sertifikat kompetensi pengadaan pada individu yang diwajibkan memilikinya, seperti Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), anggota Pokja Pemilihan, maupun pejabat pengadaan lainnya, bukanlah sebuah pelanggaran administratif ringan yang bisa ditoleransi begitu saja, melainkan sebuah bentuk kelalaian institusional yang berpotensi menimbulkan efek domino yang merugikan tidak hanya individu terkait, tetapi juga kredibilitas, legitimasi, dan performa kelembagaan secara keseluruhan. Dalam praktiknya, ketidaksesuaian ini menimbulkan berbagai konsekuensi, baik dari sisi hukum, operasional, maupun reputasi instansi.
Salah satu dampak yang paling nyata dan sering terjadi adalah penolakan terhadap dokumen kontrak atau proses pengadaan oleh satuan pengawasan internal (SPI) atau Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), hanya karena pihak yang menandatangani atau memproses pengadaan tersebut—misalnya PPK—tidak memiliki sertifikat kompetensi yang sah dan terdaftar. Dalam kasus seperti ini, meskipun seluruh dokumen pengadaan telah disusun lengkap, dan proses sudah melalui tahapan administrasi yang seharusnya, kontrak tersebut tetap dapat dianggap tidak valid secara hukum atau cacat prosedural, sehingga menghambat penyerapan anggaran dan realisasi kegiatan.
Lebih jauh, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), BPKP, maupun Inspektorat Daerah sebagai lembaga pengawasan eksternal dan independen juga sering menjadikan aspek kompetensi SDM pengadaan sebagai objek penilaian dalam audit reguler mereka. Temuan seperti “PPK belum memiliki sertifikasi pengadaan sesuai ketentuan Perpres 16/2018” atau “Pokja Pemilihan tidak dapat menunjukkan bukti sertifikasi UKP2” dapat berujung pada rekomendasi tegas agar pejabat tersebut diganti, atau bahkan diminta untuk mengembalikan nilai kegiatan jika dinilai menyebabkan kerugian negara akibat keputusan yang tidak kompeten.
Di sisi lain, instansi yang terus menerus mempercayakan tugas pengadaan kepada SDM yang tidak tersertifikasi juga berisiko mengalami penurunan nilai dalam berbagai sistem akuntabilitas kinerja, seperti SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) yang dievaluasi oleh Kemenpan-RB, atau Monitoring Center for Prevention (MCP) KPK yang menilai capaian reformasi tata kelola di daerah. Penurunan nilai ini bukan sekadar simbolik, karena berimplikasi langsung pada pengurangan tunjangan kinerja atau bahkan rekomendasi pembinaan oleh pemerintah pusat.
Tidak hanya itu, kekurangan pemahaman teknis akibat ketiadaan sertifikat juga kerap memicu gagal lelang yang berulang, di mana proses pemilihan penyedia batal karena kesalahan dalam menyusun KAK, HPS, atau metode evaluasi. Hal ini menimbulkan kerugian waktu, biaya, dan frustrasi penyedia, serta merusak reputasi instansi sebagai pembeli publik. Bahkan, tidak jarang hal tersebut berlanjut menjadi sengketa hukum, seperti gugatan ke PTUN, keberatan ke LKPP, atau laporan ke Ombudsman karena dokumentasi pengadaan disusun oleh tim yang tidak kompeten secara resmi.
Dengan berbagai risiko tersebut, sangat jelas bahwa ketiadaan sertifikasi bukan hanya menghambat karier individu, tetapi juga dapat menyandera kelancaran pengadaan, menurunkan performa birokrasi, dan memicu kerugian negara secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk memperoleh sertifikat pengadaan, baik yang diterbitkan oleh LKPP maupun oleh BNSP melalui LSP terakreditasi, seorang calon peserta wajib menempuh serangkaian tahapan sistematis yang telah ditentukan oleh lembaga penyelenggara sertifikasi, mulai dari pemilihan skema yang sesuai dengan jabatan atau kebutuhan karier, hingga mengikuti asesmen formal yang mencerminkan penguasaan atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar kompetensi nasional.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan jenis skema sertifikasi. Bagi ASN yang aktif sebagai PPK, anggota Pokja, atau pejabat pengadaan di lingkungan pemerintah, disarankan untuk mengikuti sertifikasi berbasis LKPP, karena kurikulum dan bobot asesmennya dirancang secara khusus untuk memenuhi kebutuhan dan tanggung jawab jabatan di sektor publik. Sementara itu, bagi pihak swasta, konsultan, atau ASN non-struktural yang lebih fleksibel, sertifikasi berbasis BNSP dapat menjadi pilihan karena cakupannya lebih luas dan pengakuannya lintas sektor industri.
Setelah memilih skema, peserta sangat dianjurkan untuk mengikuti pelatihan persiapan, baik yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan pemerintah (seperti Pusdiklat ASN atau balai diklat daerah) maupun oleh mitra pelatihan resmi yang telah bekerja sama dengan LKPP atau LSP BNSP. Meskipun pelatihan ini tidak bersifat wajib, pengalaman menunjukkan bahwa peserta yang mengikuti pelatihan lebih siap secara mental dan materi, serta memiliki tingkat kelulusan ujian yang lebih tinggi, terutama dalam memahami dinamika regulasi PBJ terbaru, studi kasus pengadaan bermasalah, dan strategi menjawab soal analitis.
Tahapan berikutnya adalah mengikuti uji kompetensi formal, yang bisa dilakukan secara daring (online) maupun luring (tatap muka), tergantung pada kebijakan lembaga penyelenggara. Uji kompetensi LKPP umumnya berupa tes pilihan ganda berbasis komputer (CBT), sedangkan BNSP menggunakan model asesmen yang lebih komprehensif, termasuk observasi praktik, studi kasus, verifikasi portofolio, dan wawancara teknis. Proses ini dinilai oleh asesor yang telah tersertifikasi, dengan mengacu pada unit kompetensi yang terstandar nasional.
Jika dinyatakan lulus, peserta akan menerima sertifikat resmi yang berlaku sebagai bukti sah kompetensi. Sertifikat LKPP biasanya berlaku seumur hidup, selama tidak ada perubahan regulasi fundamental yang menyebabkan sertifikasi ulang wajib dilakukan. Sementara itu, sertifikat BNSP memiliki masa berlaku tiga tahun, dan harus diperpanjang dengan cara mengikuti resertifikasi atau mengajukan bukti kerja dan pelatihan lanjutan.
Sertifikat tersebut harus didaftarkan atau dicatatkan dalam sistem informasi nasional, seperti Sistem Informasi Kompetensi (SIKompeten) LKPP atau Sistem Informasi BNSP, agar dapat diverifikasi oleh atasan, auditor, maupun instansi pengguna lainnya. Oleh karena itu, penting bagi peserta untuk memastikan bahwa proses sertifikasi dilakukan melalui lembaga yang terdaftar resmi agar hasilnya dapat diakui secara hukum dan administratif.
Memastikan seluruh pejabat pengadaan memiliki sertifikasi yang relevan bukan hanya tugas individu, melainkan juga tanggung jawab institusi sebagai pemberi mandat jabatan dan pelaksana program pengadaan. Oleh karena itu, setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah perlu memiliki strategi kelembagaan yang konkret dan terstruktur dalam mendukung proses sertifikasi ini secara sistemik dan berkelanjutan.
Langkah pertama yang sangat penting adalah melakukan inventarisasi dan pemetaan SDM pengadaan, termasuk PPK aktif, anggota Pokja, pejabat pengadaan langsung, serta jabatan fungsional pengadaan. Dari data ini, institusi dapat mengetahui siapa saja yang belum bersertifikat, tingkat sertifikasi yang dibutuhkan (UKP1, UKP2, UKP3), dan durasi waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan proses sertifikasi sesuai urgensinya.
Setelah itu, lembaga perlu menyusun timeline atau roadmap tahunan, misalnya menargetkan bahwa dalam tahun berjalan seluruh pejabat pengadaan langsung minimal telah memiliki UKP1, dan dalam dua tahun ke depan, seluruh Pokja dan PPK harus menyelesaikan UKP2. Dengan pendekatan ini, proses sertifikasi menjadi terencana, bukan insidental atau reaktif saat menjelang pemeriksaan.
Selanjutnya, pemerintah daerah dan kementerian harus mengalokasikan anggaran khusus untuk pelatihan dan uji sertifikasi, baik melalui APBN, APBD, maupun Dana Dekonsentrasi. Dana ini bisa digunakan untuk membiayai pelatihan, asesor independen, maupun pengembangan sistem informasi pemantauan kompetensi SDM.
Institusi juga harus aktif menjalin kemitraan strategis dengan lembaga pelatihan dan LSP resmi, baik dari sisi logistik pelaksanaan, penyediaan modul pembelajaran, hingga dukungan pascapelatihan seperti bimbingan teknis atau simulasi soal. Dalam jangka panjang, lembaga bahkan bisa membentuk unit pelatihan internal (corporate university) untuk mendukung pelatihan pengadaan yang lebih terjangkau dan adaptif dengan konteks organisasi.
Selain itu, strategi insentif juga perlu dijalankan, seperti menjadikan sertifikat sebagai prasyarat mutasi/promosi jabatan, menambah poin dalam penilaian kinerja ASN, atau bahkan memberikan tunjangan tambahan bagi pejabat yang memiliki sertifikat tingkat lanjut (UKP3). Pendekatan insentif ini akan mendorong budaya belajar dan profesionalisasi secara sukarela dan antusias.
Akhirnya, lembaga juga perlu merancang sistem monitoring dan evaluasi rutin terhadap keberadaan dan masa berlaku sertifikat. Dengan memanfaatkan dashboard digital atau spreadsheet sederhana, instansi dapat memastikan bahwa tidak ada pejabat pengadaan yang menjalankan tugas kritis tanpa memiliki sertifikat yang masih berlaku dan sah.
Dunia pengadaan bukan sekadar administrasi kontrak dan belanja negara, melainkan medan profesional yang menuntut integritas, kecermatan, serta keahlian yang terus diperbarui. Sertifikasi pengadaan adalah titik awal membangun sistem yang tidak hanya tertib dokumen, tetapi juga kokoh dari sisi SDM. Dalam setiap tahap pengadaan—dari menyusun KAK, menghitung HPS, mengevaluasi tender, hingga menandatangani kontrak—dibutuhkan pejabat yang memahami apa yang mereka kerjakan, bagaimana caranya, dan apa konsekuensi hukumnya. Dan semua itu, hanya bisa dijamin jika kompetensi mereka telah diverifikasi secara formal melalui sertifikasi.
Maka jawaban dari pertanyaan “Siapa Saja yang Wajib Bersertifikat Pengadaan?” adalah: siapa pun yang menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan pengadaan barang/jasa pemerintah—khususnya PPK, Pokja, pejabat pengadaan, dan ASN fungsional pengadaan. Tidak hanya untuk memenuhi ketentuan hukum, tetapi untuk memastikan bahwa setiap rupiah dari anggaran publik dikelola oleh tangan-tangan yang cakap, profesional, dan bertanggung jawab.