Pendahuluan
Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) pada lembaga pemerintah, BUMN, ataupun swasta memiliki peran strategis dalam memastikan tersedianya barang dan jasa berkualitas dengan harga dan waktu yang tepat. Namun, proses PBJ seringkali rentan terhadap terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest). Konflik kepentingan muncul ketika pejabat atau pihak yang berwenang memiliki kepentingan pribadi, keluarga, atau afiliasi yang dapat mempengaruhi objektivitas, integritas, dan akuntabilitas dalam proses pengadaan. Jika tidak dikelola dengan baik, konflik kepentingan dapat mengakibatkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merugikan negara atau perusahaan, serta menurunkan kepercayaan publik.
Artikel ini akan membahas secara mendalam lima contoh nyata konflik kepentingan dalam PBJ, disertai analisis mekanisme terjadinya, dampak, serta upaya mitigasi berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia dan best practice internasional.
1. Pejabat Pengadaan yang Memiliki Saham di Perusahaan Penyedia
1.1 Deskripsi Konflik
Salah satu bentuk konflik kepentingan yang lazim terjadi adalah ketika pejabat pengadaan (misalnya Pejabat Pembuat Komitmen atau PP Komersial) ternyata memiliki saham atau modal di salah satu perusahaan calon penyedia barang/jasa. Dalam posisi ini, pejabat memiliki insentif untuk memenangkan perusahaan tempatnya berinvestasi menjadi pemenang tender, sehingga menyalahi prinsip objektivitas.
1.2 Mekanisme Terjadinya
- Penyembunyian Kepemilikan Saham
Pejabat pengadaan tidak mengungkapkan informasi kepemilikan sahamnya dalam formulir Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) atau dokumen internal.
- Manipulasi Spesifikasi Teknis
Spesifikasi teknis tender disusun sedemikian rupa agar hanya perusahaan tertentu—tempat pejabat memiliki saham—yang memenuhi kriteria.
- Penyusunan Evaluasi Harga
Evaluator harga diarahkan untuk menerima penawaran dengan harga yang menguntungkan perusahaan afiliasi pejabat, meski di atas rata-rata pasar.
1.3 Dampak Negatif
- Merugikan Keuangan Negara/Perusahaan
Harga yang dibayar lebih tinggi dari harga pasar karena persaingan tidak sehat.
- Menurunnya Kualitas Barang/Jasa
Spesifikasi dapat dipermudah untuk menyesuaikan kemampuan perusahaan afiliasi, bukan berdasarkan kebutuhan riil.
- Erosi Kepercayaan Publik
Kekhawatiran korupsi dan kolusi semakin menguat, merusak reputasi institusi.
1.4 Upaya Mitigasi
- Peningkatan Transparansi LHKPN
Monitor dan verifikasi secara rutin laporan harta pejabat pengadaan melalui KPK dan LKPP.
- Pembentukan Panitia Pemantau
Libatkan Inspektorat Jenderal atau lembaga pengawas eksternal untuk memeriksa dokumen persyaratan tender.
- Penerapan Threshold Conflict of Interest
Pejabat dengan kepemilikan saham atau hubungan keluarga di atas nilai tertentu wajib melepas jabatan atau saham sebelum terlibat proses pengadaan, sesuai amanat Peraturan LKPP No. 13/2018.
2. Surat Pernyataan Tidak Konflik Kepentingan Palsu
2.1 Deskripsi Konflik
Calon penyedia barang/jasa diwajibkan mengisi surat pernyataan bebas konflik kepentingan. Namun, tidak jarang dokumen ini dipalsukan atau diisi seolah-olah bersih, padahal terdapat afiliasi pemilik perusahaan dengan pejabat pengadaan.
2.2 Mekanisme Terjadinya
- Pemalsuan Tanda Tangan
Dokumen asli diberi tanda tangan pewasat internal, kemudian digandakan tanpa sepengetahuan pihak berwenang.
- Pemberian Surat Pernyataan Palsu
Operator perusahaan menggunakan surat kosong atau dokumen rusak untuk menampung tandatangan palsu pejabat.
- Persekongkolan dengan Panitia
Panitia tender menutup mata terhadap ketidaksesuaian dokumen pengadaan demi menunjang “kemenangan” perusahaan tertentu.
2.3 Dampak Negatif
- Pengabaian Kewajiban Kepatuhan
Proses tender berjalan tanpa validasi kelayakan dokumen, menyebabkan eksekusi kontrak tidak sesuai peraturan.
- Resiko Hukum
Jika terungkap, instansi dan individu terlibat dapat dikenai sanksi pidana korupsi berdasarkan UU Tipikor.
- Kredibilitas Tender Tercemar
Seluruh proses tender dikatakan tidak dapat dipercaya, menyulitkan upaya untuk menarik penyedia berkualitas di masa depan.
2.4 Upaya Mitigasi
- Digitalisasi Dokumen Tender
Gunakan sistem e-tendering LKPP (e-purchasing, e-procurement) yang menerapkan digital signature dan enkripsi untuk setiap dokumen pernyataan.
- Audit Forensik Dokumen
Lakukan audit acak terhadap kesahihan tanda tangan dan keaslian dokumen melalui elektronik signature validation tools.
- Pendidikan Anti-Fraud
Pelatihan secara berkala bagi panitia PPK, PPTK, dan pejabat pengadaan tentang indikator dokumen palsu dan mekanisme pelaporan pelanggaran.
3. Nepotisme dalam Penunjukan Langsung
3.1 Deskripsi Konflik
Penunjukan langsung (direct appointment) merupakan mekanisme PBJ tanpa proses tender terbuka, umumnya diterapkan untuk kebutuhan mendesak. Namun, praktik nepotisme kerap terjadi ketika penyedia jasa adalah saudara atau rekan dekat pejabat pengadaan.
3.2 Mekanisme Terjadinya
- Surat Undangan “Mandiri”
Pejabat pengadaan hanya mengundang satu atau dua perusahaan yang memiliki relasi keluarga/teman, bukan secara acak atau objektif.
- Alasan „Mendadak‟ atau „Force Majeure‟
Kebutuhan mendesak dipalsukan untuk membenarkan penunjukan langsung kepada rekan dekat.
- Perjanjian Lisan
Kontrak disepakati secara informal, tanpa dokumentasi yang mencatat proses penunjukan, sehingga sulit diaudit.
3.3 Dampak Negatif
- Salah Alokasi Anggaran
Dana publik tidak dialokasikan berdasarkan kebutuhan paling mendesak, melainkan persahabatan.
- Menurunnya Daya Saing
Penyedia lain yang lebih kompeten tidak memperoleh kesempatan, menurunkan kualitas pelayanan.
- Potensi Sengketa Kontrak
Pihak lain yang dirugikan dapat menggugat ke PTUN, menghambat pelaksanaan proyek.
3.4 Upaya Mitigasi
- Batasan Penggunaan Penunjukan Langsung
Tegakkan pasal-pasal dalam Perpres No. 12/2021 yang mengatur kondisi ketat penunjukan langsung dan nilai maksimalnya.
- Keterlibatan Komite Pengadaan Mandiri
Libatkan pihak eksternal (akademisi, asosiasi profesi) dalam proses penunjukan untuk memastikan independensi.
- Pelaporan dan Sanksi Tegas
Dorong pelaporan pelanggaran ke Inspektorat dan KPK, dengan ancaman sanksi administratif dan pidana.
4. Pemberian Hadiah atau Imbalan kepada Pejabat Pengadaan
4.1 Deskripsi Konflik
Penyedia barang/jasa bisa saja memberikan hadiah, perjalanan dinas, atau imbalan lain kepada pejabat pengadaan untuk mempengaruhi hasil tender.
4.2 Mekanisme Terjadinya
- Hadiah Tunai atau Barang Mewah
Diberikan saat rapat pra-tender atau pada masa evaluasi, kadang melalui perantara (operator atau anggota keluarga).
- Undangan Bisnis Trip
Pejabat diajak menghadiri seminar atau kunjungan produksi di luar negeri dengan biaya full board.
- Imbalan Pasca-Tender
Setelah kontrak ditandatangani, penyedia menawarkan proyek tambahan atau konsultan berbayar kepada pejabat.
4.3 Dampak Negatif
- Kredibilitas Pejabat Tercemar
Pelaku bisa kehilangan integritas profesional dan diproses hukum.
- Biaya Tidak Transparan
Biaya hadiah atau perjalanan tidak tercatat dalam anggaran resmi, menciptakan aliran dana gelap.
- Distorsi Keputusan
Keputusan teknis dan finansial tidak lagi didasarkan pada kebutuhan proyek, melainkan pada keuntungan pribadi.
4.4 Upaya Mitigasi
- Kebijakan „Zero Gift‟
Terapkan kode etik anti-suap yang melarang penerimaan hadiah apa pun dalam bentuk apapun, sesuai PermenPANRB No. 10/2020.
- Pelaporan Hadiah
Wajibkan pejabat melaporkan setiap tawaran hadiah atau perjalanan dinas dalam sistem formally, kolaborasi dengan OTT KPK.
- Rotasi Pejabat
Rutin lakukan rotasi jabatan minimal setiap 2–3 tahun untuk memutus hubungan tidak sehat dengan penyedia.
5. Dualisme Jabatan Pejabat Pengadaan dan Konsultan
5.1 Deskripsi Konflik
Terkadang, pejabat pengadaan yang bekerja sebagai ASN atau pegawai BUMN juga merangkap jabatan sebagai konsultan pengadaan di proyek lain. Hal ini menimbulkan konflik ketika si pejabat menyeleksi vendor dari proyek konsultan tempatnya juga mengabdi.
5.2 Mekanisme Terjadinya
- Pejabat Ganda
ASN/Pegawai Perusahaan memiliki kontrak konsultan di unit atau proyek berbeda, tetapi masih memiliki kebijakan di unit PBJ utama.
- Pengaturan Tender “Dalam”
Konsultan memanfaatkan pengetahuannya tentang proses procurement internal untuk mengarahkan pemenang tender.
- Pertukaran Informasi Rahasia
Data harga estimasi (HPS) atau evaluasi teknis digunakan untuk keuntungan konsultan dalam proyek lain.
5.3 Dampak Negatif
- Kebocoran Data Strategis
Informasi rahasia proses pengadaan dapat bocor ke pihak ketiga.
- Tumpang Tindih Kepentingan
Keputusan pengadaan tidak lagi murni demi kepentingan organisasi, melainkan untuk keuntungan konsultan.
- Sanksi Administratif dan Hukum
Pejabat dapat dikenai sanksi pemberhentian hingga pidana karena melanggar UU ASN dan UU Tipikor.
5.4 Upaya Mitigasi
- Larangan Rangkap Jabatan
Tegakkan peraturan ASN (PP No. 11/2017) yang melarang ASN merangkap jabatan konsultan pengadaan.
- Sistem Whistleblowing
Aktifkan saluran aman untuk melaporkan pejabat ganda tanpa takut reprisal.
- Pengawasan Berlapis
Integrasikan fungsi pengawasan Inspektorat, Badan Pengawasan Keuangan, dan auditor eksternal pada setiap tahap proses PBJ.
Penutup
Konflik kepentingan dalam Pengadaan Barang dan Jasa merupakan ancaman serius yang dapat merusak integritas, efisiensi, dan efektivitas penggunaan anggaran. Lima contoh di atas—kepemilikan saham pejabat, pemalsuan surat pernyataan, nepotisme penunjukan langsung, pemberian hadiah, dan dualisme jabatan—merupakan gambaran nyata masalah yang kerap menghantui proses PBJ.
Mitigasi yang komprehensif memerlukan sinergi antara regulasi tegas, teknologi digital untuk transparansi, pelatihan berkelanjutan, dan pengawasan independen. Lembaga pengadaan harus proaktif dalam menerapkan kebijakan anti-korupsi, memanfaatkan sistem e-procurement, dan mendorong budaya pelaporan (whistleblowing) yang aman. Hanya dengan demikian, tata kelola PBJ akan sesuai dengan prinsip-prinsip Good Governance: transparan, akuntabel, responsif, dan kondusif bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Dengan memahami berbagai contoh konflik kepentingan dan strategi penanggulangannya, diharapkan para pemangku kepentingan dapat terus memperkuat integritas institusi, mewujudkan pengadaan yang bersih, efisien, dan berorientasi pada kepentingan publik.