Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Dalam ekosistem pengadaan barang dan jasa pemerintah maupun swasta, lelang terbuka merupakan salah satu mekanisme utama yang digunakan untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pemilihan penyedia. Tujuannya sederhana namun penting: mendapatkan kualitas terbaik dengan harga yang paling kompetitif. Namun di balik idealisme proses ini, tersembunyi sebuah realitas getir yang kerap dialami oleh para pelaku usaha lokal: mereka sulit memenangkan persaingan.
Mengapa ini terjadi? Padahal, penyedia lokal seringkali memiliki pengetahuan lebih baik tentang konteks wilayah, akses yang lebih cepat ke lokasi pekerjaan, serta potensi kontribusi ekonomi daerah yang lebih besar. Namun dalam kenyataannya, pemenang lelang seringkali adalah perusahaan besar, bahkan asing, yang memiliki jaringan luas dan modal besar.
Artikel ini akan menggali secara mendalam penyebab mengapa penyedia lokal mengalami kesulitan dalam bersaing di proses lelang, baik dalam ranah pengadaan pemerintah maupun sektor swasta. Kita akan mengurai faktor-faktor struktural, administratif, teknis, hingga psikologis yang menjadi batu sandungan bagi pelaku lokal. Dengan analisis menyeluruh, artikel ini bertujuan tidak hanya mengungkap masalah, tetapi juga memberikan rekomendasi konkret sebagai solusi.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh penyedia lokal adalah persyaratan administratif yang rumit. Dalam dokumen pemilihan, seringkali diminta berbagai dokumen legalitas seperti NPWP, SIUP, TDP, SBU (Sertifikat Badan Usaha), bukti pengalaman pekerjaan sejenis dalam skala tertentu, laporan keuangan audited, hingga referensi bank. Bagi perusahaan besar, syarat ini mungkin mudah dipenuhi karena mereka memiliki tim legal dan administrasi yang siap bekerja. Namun, bagi penyedia lokal skala kecil dan menengah (UKM), memenuhi semua syarat ini seringkali menjadi kendala berat.
Contoh konkrit: seorang kontraktor kecil di daerah yang telah menyelesaikan berbagai proyek di tingkat lokal mungkin tidak memiliki laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik karena biayanya mahal. Ini langsung menutup pintu mereka untuk mengikuti lelang-lelang besar yang mensyaratkan laporan tersebut.
Banyak sistem lelang masih menganut prinsip “yang lebih berpengalaman lebih unggul”, dengan bobot besar diberikan pada proyek-proyek serupa yang sudah pernah dikerjakan sebelumnya. Ini menciptakan siklus tertutup: penyedia kecil tidak mendapat kesempatan karena tidak punya pengalaman besar, dan mereka tidak bisa mendapatkan pengalaman karena tidak diberi kesempatan.
Dalam beberapa kasus, nilai proyek minimal yang menjadi syarat pengalaman juga tidak masuk akal dibandingkan dengan kemampuan penyedia lokal yang sesungguhnya. Misalnya, proyek jalan lingkungan dengan nilai Rp 3 miliar tidak bisa diikuti oleh kontraktor lokal hanya karena mereka sebelumnya hanya mengerjakan proyek senilai Rp 1 miliar, walaupun secara teknis mereka sangat mampu melaksanakannya.
Untuk efisiensi, banyak instansi pemerintah memilih untuk menggabungkan beberapa paket pekerjaan menjadi satu paket besar (agregasi). Misalnya, pembangunan lima sekolah dasar dijadikan satu paket senilai Rp 25 miliar. Tujuannya untuk mempercepat proses, mengurangi beban administrasi, dan memperbesar skala ekonomis.
Namun dampaknya fatal bagi penyedia lokal. Perusahaan kecil yang mungkin sanggup mengerjakan satu sekolah dengan baik tidak bisa mengikuti tender karena nilai paket terlalu besar dan tidak sesuai dengan kualifikasi finansial mereka. Agregasi secara tidak langsung menguntungkan perusahaan besar dan menyisihkan usaha lokal.
Dalam banyak jenis pengadaan, terutama pekerjaan konstruksi, penyedia harus menyiapkan dana awal (advance) sendiri untuk memulai pekerjaan. Proses pembayaran dari instansi bisa memakan waktu 1–3 bulan sejak penandatanganan kontrak. Ini membutuhkan modal kerja yang tidak sedikit.
Penyedia lokal seringkali kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank karena mereka tidak memiliki agunan yang cukup, riwayat kredit yang kuat, atau karena bank melihat sektor usaha mereka sebagai berisiko tinggi. Tanpa dukungan modal yang kuat, mereka terpaksa tidak mengikuti lelang meski secara teknis mampu.
Selain modal kerja, penyedia harus menyediakan jaminan penawaran (bid bond) dan jaminan pelaksanaan (performance bond) yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga keuangan. Nilainya bisa mencapai 5–10% dari nilai kontrak. Untuk proyek senilai Rp 10 miliar, misalnya, jaminan pelaksanaan bisa mencapai Rp 1 miliar.
Bagi pelaku usaha kecil, ini bukan angka kecil. Tidak semua perusahaan lokal memiliki akses ke lembaga penjaminan atau bank yang bersedia menerbitkan jaminan, apalagi jika tidak memiliki relasi atau rekam jejak kuat.
Penyedia lokal sering kali tidak memiliki sistem manajemen risiko yang baik. Ketika harga bahan baku seperti semen, baja, atau BBM naik tiba-tiba, mereka yang tidak melakukan kontrak eskalasi atau tidak menghitung risiko dengan cermat bisa mengalami kerugian besar. Perusahaan besar lebih siap menghadapi dinamika ini karena memiliki divisi manajemen risiko, bisa melakukan pembelian dalam jumlah besar, dan memiliki jaringan distribusi yang efisien.
Meski sistem e-procurement atau LPSE telah mendigitalisasi proses lelang, tidak semua penyedia lokal aktif memantau atau memiliki pemahaman yang cukup terhadap sistem ini. Di beberapa daerah terpencil, keterbatasan akses internet dan literasi digital menjadi kendala nyata. Sering kali, penyedia lokal baru mengetahui adanya tender setelah deadline pendaftaran lewat.
Selain itu, informasi lelang juga tersebar di berbagai platform dan kadang tidak mudah dinavigasi. Perusahaan besar biasanya memiliki staf atau software khusus yang secara otomatis memantau dan menganalisis peluang tender yang sesuai dengan klasifikasi mereka.
Proses evaluasi dalam lelang banyak bertumpu pada kualitas dokumen teknis dan proposal yang diajukan. Ini bukan hanya soal harga, tetapi juga kemampuan menjelaskan metode pelaksanaan, jadwal waktu (kurva S), manajemen mutu, keselamatan kerja (K3), hingga rekam jejak tim pelaksana.
Penyedia lokal sering kesulitan menyusun dokumen setingkat itu karena keterbatasan tenaga ahli, belum terbiasa dengan standar dokumen tender, atau bahkan kurang paham bahasa teknis yang digunakan. Akibatnya, meski mampu secara fisik, mereka gagal karena dokumen proposal dianggap tidak memenuhi syarat.
Dalam proyek yang menekankan efisiensi, penyedia yang mampu menggunakan teknologi baru biasanya mendapat nilai tambah. Misalnya, penggunaan alat berat dengan GPS, software manajemen proyek seperti Primavera atau MS Project, atau sistem logistik berbasis digital.
Perusahaan lokal sering kali masih menggunakan sistem manual. Bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena investasi alat dan pelatihan SDM membutuhkan biaya besar yang sulit dijangkau oleh mereka. Ini menciptakan kesenjangan kompetitif yang makin lebar.
Tidak bisa dipungkiri, dalam beberapa kasus lelang, masih terjadi praktik kolusi, markup harga, pengaturan pemenang, atau kongkalikong antara oknum penyelenggara dan peserta tender tertentu. Penyedia lokal yang bermain “lurus” otomatis tersingkir karena tidak masuk dalam jaringan informal tersebut.
Fenomena seperti pinjam-meminjam perusahaan, “perusahaan boneka”, atau lelang formalitas menjadi ancaman serius bagi penyedia yang berusaha berkompetisi secara sehat. Perusahaan lokal kerap menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindungi keadilan dan transparansi.
Penyedia lokal seringkali memiliki posisi tawar yang lemah, terutama jika nilai proyek kecil dan pelaksananya adalah kontraktor utama dari luar daerah. Mereka yang menjadi subkontraktor kerap mendapatkan porsi pekerjaan besar dengan margin yang sangat kecil, atau bahkan mengalami keterlambatan pembayaran.
Perusahaan besar memiliki kemampuan negosiasi lebih kuat, bahkan dalam menyusun kontrak mereka bisa mengatur klausul-klausul yang secara legal lebih menguntungkan mereka. Sementara penyedia lokal jarang memiliki penasihat hukum atau tim negosiasi yang mumpuni.
Sebagian besar penyedia lokal bekerja sendiri-sendiri. Mereka tidak tergabung dalam koperasi, konsorsium, atau asosiasi yang bisa menjadi kekuatan bersama dalam menghadapi lelang besar. Padahal, skema kerja sama seperti joint operation (JO) atau konsorsium bisa menjadi solusi bagi keterbatasan modal dan pengalaman.
Namun karena minimnya edukasi, kepercayaan antar pelaku usaha rendah, dan tiadanya fasilitator dari pemerintah, mekanisme ini jarang terjadi. Akibatnya, penyedia lokal tetap berada dalam posisi lemah secara individual.
Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan agregasi paket dan sistem evaluasi yang terlalu menekankan pengalaman besar. Diperlukan affirmative action bagi penyedia lokal, misalnya:
Diperlukan inisiatif dari pemerintah daerah, kementerian, dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk memberikan pelatihan teknis, administrasi, dan manajemen kepada penyedia lokal. Misalnya:
Skema kredit mikro untuk penyedia pengadaan perlu dikembangkan melalui kerja sama antara pemerintah, bank, dan lembaga keuangan. Bisa juga dibentuk Lembaga Penjamin Khusus UKM Penyedia seperti yang dilakukan pada sektor UMKM agribisnis.
Alternatif lain adalah melalui platform digital pembiayaan berbasis invoice, di mana penyedia bisa menjaminkan tagihan kontrak untuk mendapatkan modal kerja.
Penyedia lokal perlu didorong untuk membentuk asosiasi, koperasi, atau konsorsium agar dapat bersaing dalam proyek yang lebih besar. Pemerintah bisa memfasilitasi proses ini melalui pelatihan, penguatan regulasi, dan insentif fiskal.
Model “Penyedia Kolektif Daerah” bisa menjadi pilot project untuk daerah-daerah tertentu sebagai upaya konkret mendorong partisipasi lokal dalam proyek strategis.
Peningkatan transparansi dan akuntabilitas proses lelang adalah langkah penting. Sistem LPSE harus terus diperbarui agar lebih user-friendly, memberikan notifikasi otomatis, serta memiliki mekanisme pengaduan cepat. Audit publik dan keterlibatan masyarakat sipil juga harus diperkuat agar potensi kolusi dan monopoli bisa dicegah sejak dini.
Penyedia lokal memiliki potensi besar untuk berkontribusi terhadap pembangunan daerah, menciptakan lapangan kerja, serta menjaga perputaran ekonomi di wilayahnya. Namun potensi tersebut masih terhambat oleh berbagai tantangan struktural, administratif, teknis, dan sistemik.
Kesulitan mereka bersaing dalam lelang bukan semata karena ketidakmampuan, melainkan karena sistem yang belum cukup ramah terhadap skala usaha kecil dan lokal. Dari ketatnya persyaratan administrasi, keterbatasan modal, akses informasi yang minim, hingga praktik tak sehat dalam proses lelang — semua itu menciptakan ketimpangan yang serius.
Solusi tidak bisa ditempuh secara instan atau satu arah. Diperlukan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga keuangan, asosiasi usaha, serta masyarakat sipil untuk menciptakan ekosistem lelang yang lebih inklusif dan adil.
Jika penyedia lokal diberikan ruang dan kesempatan yang proporsional, maka bukan tidak mungkin mereka bisa bersaing secara sehat, bahkan unggul, dalam berbagai jenis pengadaan. Dengan begitu, pembangunan tidak hanya menjadi milik segelintir pihak, tetapi benar-benar menjadi motor pemerataan dan kemajuan bangsa.