Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Pengadaan barang dan jasa merupakan tulang punggung kelancaran pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik di seluruh wilayah Indonesia. Namun, implementasi proses pengadaan ini di daerah 3T—yang mencakup wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal—sering kali menemui berbagai hambatan yang kompleks. Daerah 3T memiliki karakteristik geografis, demografis, dan sosial budaya yang unik, sehingga skema pengadaan konvensional yang digunakan di pusat maupun kota besar tidak selalu berhasil diadaptasi secara langsung. Artikel ini akan mengulas secara mendalam berbagai tantangan pengadaan di daerah 3T, mulai dari permasalahan infrastruktur hingga faktor manusia, serta merumuskan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya.
Permasalahan infrastruktur menjadi tantangan utama dalam pengadaan di daerah 3T. Banyak wilayah terpencil yang belum memiliki akses jalan yang memadai, sehingga transportasi barang dan jasa memerlukan biaya tinggi dan waktu lama. Jalan beraspal yang minim atau bahkan tidak ada memaksa pelaksanaan pengadaan untuk menggunakan moda transportasi alternatif seperti perahu, kapal rakyat, atau helikopter. Kondisi ini meningkatkan risiko kerusakan barang selama perjalanan dan mempersulit jadwal pelaksanaan proyek.
Selain itu, aksesibilitas yang terbatas juga memengaruhi mobilitas tim pengadaan. Petugas yang berasal dari pusat atau provinsi seringkali kesulitan mencapai lokasi proyek, mengganggu proses survei, evaluasi, dan pengawasan. Kesulitan akses tidak hanya memperlambat pelaksanaan proyek, tetapi juga membuka peluang terjadinya maladministrasi karena minimnya kehadiran pengawas independen.
Dampak dari kondisi infrastruktur yang terbatas tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Harga barang dan jasa menjadi jauh lebih mahal dibandingkan harga pasar kota besar, sehingga anggaran pengadaan membengkak. Kondisi ini menuntut perencanaan yang sangat matang, termasuk penyesuaian spesifikasi pengadaan dan pemilihan metode pengadaan yang lebih fleksibel.
Perlu adanya upaya kolaborasi antara Kementerian PUPR dan K/L terkait untuk memperbaiki infrastruktur dasar sebagai prasyarat keberhasilan pengadaan. Program pembangunan jalan desa, jembatan gantung, dan pelabuhan perikanan harus diprioritaskan agar konektivitas antarwilayah meningkat dan biaya logistik dapat ditekan.
Sumber daya manusia (SDM) di daerah 3T sering kali menghadapi keterbatasan kompetensi dalam bidang pengadaan. Banyak aparatur desa atau kecamatan belum sepenuhnya memahami mekanisme pengadaan berbasis elektronik (e-purchasing) maupun pedoman LKPP. Kurangnya pelatihan dan pendampingan menyebabkan proses pengadaan di tingkat daerah berjalan lambat, proseduralitasnya terlewatkan, dan berpotensi melanggar ketentuan.
Keterbatasan SDM ini juga berdampak pada kualitas penyusunan dokumen pengadaan, seperti Rencana Umum Pengadaan (RUP), Kerangka Acuan Kerja (KAK), dan analisis harga satuan. Dokumen yang kurang tepat dan lengkap akan memberikan celah bagi penawaran tidak wajar serta mengurangi daya saing calon penyedia lokal.
Selain itu, tingkat turnover aparatur di daerah 3T yang tinggi semakin menambah tantangan. Rotasi pegawai atau pergantian pejabat sering terjadi tanpa mekanisme transfer pengetahuan yang memadai. Setiap pergantian personel berarti pergeseran adaptasi terhadap proses pengadaan, sehingga pembelajaran sebelumnya kadang terbuang dan perlu diulang dari awal.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan program pelatihan berkelanjutan dan pendampingan yang konsisten. Pemerintah pusat bersama lembaga pengembangan kapasitas lokal seperti Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) serta BPKP perlu merancang modul khusus pengadaan untuk daerah 3T. Model blended learning—yang memadukan pelatihan online dan tatap muka—dapat menjadi solusi agar pelatihan dapat diakses meski dengan koneksi internet terbatas.
Kawasan 3T sering kali menjadi wilayah pilot project berbagai program pemerintah. Meskipun memiliki niat baik, regulasi yang tumpang tindih antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota justru menimbulkan kebingungan. Kebijakan yang sering berubah atau belum tersosialisasi dengan baik menjadi penghalang dalam proses persiapan dokumen pengadaan.
Birokrasi panjang juga menjadi kendala krusial. Proses persetujuan dokumen yang harus melewati banyak tingkatan otoritas menambah waktu tunggu. Padahal di daerah 3T, window waktu operasional untuk pengiriman barang bisa singkat, tergantung musim dan kondisi cuaca ekstrim. Penundaan sedikit saja dapat mengakibatkan proyek bergeser hingga berminggu-minggu.
Keberadaan peraturan perundang-undangan yang rumit menimbulkan dilema antara kepatuhan dan efektivitas. Aparatur cenderung memilih jalur aman dengan mengikuti prosedur ketat, meski hasilnya justru memperlambat pelayanan publik. Akibatnya, masyarakat yang membutuhkan fasilitas publik menjadi dirugikan.
Rekomendasi solusinya adalah penyederhanaan regulasi dan pemberian kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah setempat. Skema self-administered procurement—yang memberikan fleksibilitas kepada daerah dalam menyesuaikan list dan metode pengadaan—perlu diujicobakan lebih luas, tentunya dengan pengawasan risk-based audit.
Transparansi merupakan pilar utama dalam pengadaan berbasis good governance. Namun, di daerah 3T, keterbatasan infrastruktur IT menyebabkan portal pengadaan elektronik (LPSE) tidak bisa diakses secara konsisten. Banyak pengumuman lelang atau kontrak tidak tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat, sehingga peserta tender lokal atau swasta potensial tidak mendapatkan informasi yang memadai.
Pengawasan internal maupun eksternal juga menjadi lemah. Minimnya peran Inspektorat Daerah, serta keterbatasan jangkauan BPKP, membuat risiko kecurangan sulit terdeteksi. Laporan masyarakat melalui Whistleblowing System (WBS) sering terlambat tertangani, karena petugas pengaduan tidak cepat sampai ke lokasi.
Kondisi tersebut membuka peluang terjadinya praktik tidak patut, mulai dari mark-up harga, conflict of interest, hingga kolusi. Daerah 3T menjadi kawasan merah jika tidak ada peningkatan kapasitas pengawasan.
Solusi untuk memitigasi tantangan ini adalah dengan memanfaatkan teknologi mobile dan offline-first applications. Dengan aplikasi berbasis smartphone yang dapat bekerja offline—lalu melakukan sinkronisasi data ketika koneksi tersedia—informasi lelang dan monitoring proyek bisa dilakukan lebih efektif. Selain itu, penguatan peran masyarakat sipil, LSM, dan media lokal sangat penting untuk menjalankan fungsi kontrol sosial.
Korupsi menjadi salah satu ancaman terbesar dalam pengadaan di daerah 3T. Rendahnya pengawasan, kurangnya transparansi, dan peluang kolusi antara pejabat dan penyedia lokal menciptakan ekosistem yang rawan penyimpangan anggaran. Kasus korupsi di proyek infrastruktur perdesaan dan pengadaan bahan bakar sudah beberapa kali terungkap.
Masalah integritas juga muncul dari tekanan sosial dan budaya. Di beberapa wilayah, norma patronase dan suku kekerabatan memperkuat ikatan pertemanan di dalam proses pengadaan. Aparatur kerap terjebak pada pilihan menjaga keharmonisan lokal atau mengikuti prosedur pengadaan yang ketat.
Untuk mempertahankan integritas, perlu adanya program kampanye anti korupsi yang dirancang khusus bagi daerah 3T. Pendekatan kultural—menggandeng tokoh adat, ulama, atau pemuka masyarakat—dapat meningkatkan kesadaran etika pengadaan. Compliance officer lokal juga perlu dihadirkan dalam tim pengadaan untuk memastikan setiap tahap berjalan sesuai regulasi.
Era digital menuntut proses pengadaan yang modern dan efisien. Namun, di daerah 3T, akses listrik dan internet kadang tidak stabil. Banyak kantor desa masih menggunakan generator atau sistem kelistrikan pulsatif yang mematikan server lokal ketika beban tinggi.
Adopsi e-procurement menjadi terhambat karena infrastruktur jaringan yang belum memadai. Petugas harus mendownload dokumen tender di tempat dengan sinyal, mencetak, lalu kembali ke kantor untuk mengisi dan mengunggah proposal. Proses bolak-balik ini tidak hanya memakan waktu, tetapi juga meningkatkan biaya operasional.
Selain itu, kurangnya literasi digital di kalangan aparatur dan penyedia lokal mengurangi efektivitas sistem online. Banyak penyedia belum terbiasa menggunakan e-signature, e-filing, atau portal pengaduan elektronik.
Pemerintah perlu mengembangkan solusi digitalisasi yang sesuai konteks 3T, misalnya dengan menyediakan satellite internet di kantor desa dan pelatihan literasi digital dasar. Selain itu, pengembangan aplikasi procurement berbasis SMS gateway atau USSD dapat menjadi alternatif bagi daerah tanpa internet broadband.
Distribusi barang pengadaan di daerah 3T memerlukan perencanaan logistik khusus. Barang-barang berat dan berukuran besar sering tidak bisa diangkut sekaligus, sehingga harus dibongkar di pelabuhan kecil atau dermaga darurat, lalu dipindahkan ke moda transportasi lain.
Faktor cuaca ekstrem, seperti gelombang tinggi, hujan lebat, dan musim angin barat, dapat menghentikan aktivitas pelayaran selama berminggu-minggu. Kondisi ini berpengaruh langsung pada timeline proyek dan cost overrun.
Solusi manajemen rantai pasok yang adaptif diperlukan. Pengadaan harus menyertakan buffer time dan contingency plan, serta menyiapkan warehouse lokal yang memadai untuk menyimpan stok. Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta—seperti logistik perikanan atau kelapa sawit—dapat memanfaatkan armada dan pelabuhan yang sudah ada.
Partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengadaan dapat meningkatkan akuntabilitas dan memastikan hasil proyek sesuai kebutuhan riil. Namun, di daerah 3T, mekanisme konsultasi publik sering tidak berjalan optimal karena faktor budaya, bahasa, dan tingkat pendidikan.
Beberapa masyarakat belum memahami hak dan prosedur pelaporan apabila terjadi penyimpangan. Forum musyawarah desa yang idealnya menjadi sarana aspirasi justru sering dihadiri oleh segelintir tokoh masyarakat, sehingga aspirasi kelompok rentan—seperti perempuan, petani, atau nelayan—terabaikan.
Peningkatan kapasitas masyarakat melalui workshop dan sosialisasi berkala penting dilakukan. Pendekatan partisipatif dengan menggunakan visualisasi—misalnya peta rencana proyek dan estimasi anggaran—akan membantu masyarakat memahami proses pengadaan. Pendampingan LSM dan akademisi juga dapat memfasilitasi jalur komunikasi dua arah.
Pengadaan barang dan jasa di daerah 3T menghadapi beragam tantangan mulai dari infrastruktur, sumber daya manusia, birokrasi, hingga risiko korupsi. Setiap faktor saling terkait dan memerlukan pendekatan holistik yang terintegrasi. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten harus bersinergi dalam meningkatkan infrastruktur dasar, memperkuat kapasitas SDM, menyederhanakan regulasi, serta memanfaatkan teknologi yang sesuai konteks.
Program digitalisasi dan pengawasan berbasis mobile, didukung oleh partisipasi aktif masyarakat, akan menjadi kunci keberhasilan. Di samping itu, pendekatan kultural dan adaptasi regulasi memungkinkan proses pengadaan berjalan lebih efektif dan akuntabel. Hanya dengan langkah-langkah strategis ini, tujuan pembangunan nasional melalui pengadaan barang dan jasa di daerah 3T dapat tercapai, demi pemerataan kemakmuran dan kualitas hidup seluruh rakyat Indonesia.