Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memegang peranan sentral dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Sebagai sosok yang bertanggung jawab atas persiapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran, PPK memastikan agar setiap tahapan pengadaan berjalan sesuai prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Namun, di banyak daerah, PPK kerap merangkap jabatan lain—baik sebagai pejabat struktural, administrator program, maupun staf teknis lintas bidang—karena keterbatasan sumber daya manusia dan kebutuhan organisasi. Praktik merangkap jabatan ini menimbulkan dilema antara kebutuhan organisasi yang fleksibel dan risiko penyimpangan dalam mekanisme pengadaan. Oleh karena itu, penting untuk menelaah secara mendalam implikasi, tantangan, serta rekomendasi kebijakan terkait PPK merangkap banyak jabatan di daerah.
Sejak era otonomi daerah diperluas pada awal dekade 2000-an, pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan mempercepat pembangunan infrastruktur dan layanan publik. Sementara itu, formasi pegawai negeri sipil (PNS) dan aparatur di daerah sering kali tidak sebanding dengan beban tugas yang semakin kompleks. Akibatnya, kepala daerah dan sekretariat daerah memanfaatkan fleksibilitas struktural dengan menempatkan PPK sebagai “one-stop person” untuk berbagai fungsi. Praktik ini bermula dari urgensi menyelesaikan proyek-proyek strategis secara cepat di tengah keterbatasan anggaran dan waktu. Namun, seiring berjalannya waktu, penumpukan fungsi dalam satu tangan dapat menimbulkan overload kerja, konflik kepentingan, serta potensi maladministrasi.
Lebih jauh lagi, beban ganda tersebut sering kali diiringi dengan tumpang tindih wewenang: PPK yang sekaligus menjadi penanggung jawab teknis dapat terjebak dalam tekanan politis untuk memilih kontraktor tertentu, sementara ia juga mengemban tugas akuntansi dan pengawasan. Jangka pendek, merangkap jabatan terlihat sebagai solusi pragmatis; jangka panjang, ia mengikis prinsip checks and balances dan membuka peluang korupsi. Dengan memahami latar belakang historis dan konteks organisasi, kita dapat merancang solusi yang seimbang antara fleksibilitas manajerial dan kepatuhan terhadap prinsip pengadaan.
Setiap praktik PPK merangkap jabatan harus berakar pada kerangka hukum yang tegas. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) menegaskan bahwa PPK diangkat oleh kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang melalui keputusan tertulis, dengan kualifikasi dan kompetensi yang memenuhi standar. Dalam lampiran perpres tersebut, diatur pula kewajiban, wewenang, serta batasan tugas PPK, termasuk larangan memegang jabatan yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
Selain Perpres 16/2018, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 9 Tahun 2018 mengatur tata kelola PPK dalam lingkup instansi pusat dan daerah. Pasal-pasal dalam regulasi ini memberikan pedoman mengenai batas maksimal tugas administratif yang diperbolehkan bagi PPK, mekanisme rotasi dan masa jabatan, serta sanksi bagi pelanggaran etika pengadaan. Meski demikian, di tingkat daerah, regulasi teknis pelaksanaan sering kali terjebak dalam regulasi daerah (Perda) yang kurang selaras dengan peraturan pusat, sehingga peluang merangkap jabatan terlanjur terinstitusi.
Agar praktik PPK merangkap jabatan tidak melanggar prinsip legalitas, setiap daerah harus meninjau dan menyelaraskan Perda dan Perkada tentang Struktur dan Organisasi Perangkat Daerah dengan ketentuan nasional. Harmonisasi ini mencegah tumpang tindih wewenang dan memastikan PPK hanya mengemban fungsi yang relevan dengan tugas pokok dan fungsinya dalam pengadaan.
Dalam panjangnya rantai birokrasi pemerintah daerah, merangkap jabatan PPK kerap dianggap memberikan manfaat efisiensi biaya dan kecepatan pengambilan keputusan. Dengan satu individu menangani beberapa fungsi—misalnya sebagai kepala seksi perencanaan sekaligus PPK—alur persetujuan dokumen dapat dipercepat, meminimalkan hambatan antar-unit kerja. Efisiensi ini sangat penting ketika menghadapi tenggat waktu realokasi anggaran, perubahan kebutuhan darurat, atau penanganan bencana.
Dari sudut pandang ekonomi, daerah dengan anggaran belanja terbatas dapat menekan biaya overhead sumber daya manusia dengan menempatkan satu PPK pada banyak posisi, alih-alih menambah personel dengan tunjangan fungsional yang tinggi. Strategi ini memberikan kelonggaran fiskal untuk dialokasikan pada kebutuhan lain, misalnya perawatan infrastruktur atau subsidi sosial.
Namun, manfaat operasional ini harus diseimbangkan dengan pemantauan kinerja yang ketat. Penerapan indikator kinerja utama (Key Performance Indicators/KPI) yang terukur untuk PPK merangkap jabatan akan membantu menilai apakah beban ganda tersebut benar-benar meningkatkan produktivitas atau justru menurunkan mutu pengadaan. Tanpa KPI yang jelas, efisiensi dapat berubah menjadi overload yang mengorbankan kualitas dokumen lelang dan pelaksanaan kontrak.
Beban ganda jabatan menimbulkan risiko serius berupa benturan kepentingan (conflict of interest). PPK yang juga menjabat sebagai pejabat teknis atau pengguna barang dapat dihadapkan pada dilema antara fungsi pengadaan yang netral dengan kepentingan program tertentu. Misalnya, PPK yang merangkap jabatan sebagai kepala bidang pembangunan dapat terdorong untuk memilih penyedia atau spesifikasi barang/jasa yang menguntungkan programnya tanpa mempertimbangkan prinsip keterbukaan.
Selain itu, merangkap jabatan dapat melemahkan fungsi pengawasan internal. Ketika satu orang memegang kendali proses perencanaan, evaluasi penawaran, hingga verifikasi klaim pembayaran, tidak ada dua mata yang memeriksa setiap langkah. Hal ini meningkatkan peluang kesalahan teknis maupun sengaja, yang dalam praktiknya berujung pada mark-up harga, pekerjaan fiktif, atau proyek mangkrak.
Risiko reputasi juga tidak dapat diabaikan. Daerah yang terciduk kasus korupsi dalam pengadaan sering kali bermula dari praktik merangkap jabatan PPK. Ketika ranah akuntabilitas tergerus, publik kehilangan kepercayaan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, mitigasi risiko melalui sistem pengawasan ganda, audit internal berkala, dan rotasi jabatan menjadi wajib diterapkan.
Untuk memahami dinamika praktik PPK merangkap jabatan, beberapa studi kasus di daerah A, B, dan C menggambarkan dampak positif dan negatifnya. Di daerah A, merangkap jabatan diatur dengan jelas melalui Peraturan Bupati, yang menetapkan rotasi PPK setiap dua tahun dan memasang ambang kinerja minimal. Hal tersebut berhasil menekan keterlambatan proyek hingga 15% dalam dua anggaran beruntun. Namun, beban administrasi berlipat menyebabkan indeks kepuasan pegawai menurun, menunjukkan perlunya pelatihan manajemen waktu dan stress management bagi PPK yang merangkap.
Di daerah B, tidak ada regulasi khusus; PPK merangkap jabatan sering berganti tanpa koordinasi. Akibatnya, proyek pembangunan jalan desa kerap macet karena dokumen tender tidak lengkap. Kasus korupsi pengadaan alat kesehatan juga terungkap, di mana satu PPK menjadi terseret karena memonopoli proses penilaian penawaran. Kasus ini memaksa daerah B melakukan audit keuangan dan membekukan beberapa PPK.
Sementara itu, daerah C menerapkan model best practices: setiap PPK merangkap jabatan harus melalui sertifikasi kompetensi pengadaan dan pelatihan etika publik. Dengan pendampingan dari Unit Layanan Pengadaan (ULP), hasil audit menunjukkan penurunan temuan audit BPKP hingga 40%. Studi kasus ini menegaskan bahwa keberhasilan merangkap jabatan sangat bergantung pada kerangka regulasi, kapasitas SDM, dan mekanisme pengawasan.
Berdasarkan analisis di atas, beberapa rekomendasi dapat diusulkan:
Praktik merangkap jabatan PPK di daerah muncul sebagai solusi pragmatis menghadapi keterbatasan SDM dan kebutuhan percepatan pembangunan. Pada satu sisi, merangkap jabatan dapat meningkatkan efisiensi operasional dan menekan biaya overhead; tetapi di sisi lain, ia membuka pintu bagi benturan kepentingan, beban kerja berlebihan, serta potensi korupsi yang merugikan publik. Untuk mencapai keseimbangan antara fleksibilitas manajerial dan prinsip tata kelola yang baik, diperlukan harmonisasi regulasi, sertifikasi kompetensi, KPI yang terukur, pelatihan, rotasi jabatan, dan pengawasan internal yang kuat. Dengan implementasi rekomendasi ini, daerah dapat menjaga integritas proses pengadaan, meningkatkan kualitas hasil pembangunan, serta memperkuat kepercayaan publik. Hanya melalui tata kelola yang sehat dan transparan lah praktik merangkap jabatan PPK akan memberikan manfaat maksimal bagi pelayanan publik dan pembangunan daerah.