Studi Kelayakan dalam Pengadaan: Kapan Diperlukan?

Dalam proses pengadaan barang dan jasa, baik di sektor publik maupun swasta, salah satu tahapan yang kerap terlupakan atau dijalankan secara terburu-buru adalah studi kelayakan. Padahal, studi kelayakan—atau feasibility study—merupakan fondasi penentu keberhasilan proyek dan pemanfaatan anggaran secara efisien, efektif, dan akuntabel. Artikel ini menguraikan dengan panjang dan mendalam mengenai konsep, tujuan, ruang lingkup, metode, kriteria kebutuhan, proses penyusunan, hingga rekomendasi praktis: Kapan sebuah pengadaan memerlukan studi kelayakan dan bagaimana memastikannya memberikan nilai tambah optimal.

1. Pengantar: Mengapa Studi Kelayakan Esensial?

Dalam dunia pengadaan, waktu sering menjadi tekanan utama. Banyak organisasi berlomba menyelesaikan proses lelang sebelum akhir tahun anggaran, bahkan hingga menit terakhir. Akibatnya, beberapa tahapan penting diabaikan, termasuk salah satunya: studi kelayakan. Padahal, studi kelayakan merupakan pilar awal yang menentukan apakah suatu proyek pengadaan akan berhasil atau justru menjadi beban jangka panjang.

Ketiadaan studi kelayakan dapat mengarah pada kegagalan proyek dalam berbagai bentuk. Misalnya, proyek tidak sesuai kebutuhan pengguna, biaya pembangunan membengkak melebihi anggaran, atau proyek justru menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Studi kelayakan bertujuan menghindari jebakan-jebakan ini dengan menghadirkan evaluasi menyeluruh sejak tahap perencanaan.

Berikut adalah empat peran kunci studi kelayakan yang menjadikannya begitu esensial:

  • Kebutuhan Organisasi yang Nyata dan Terukur:
    Tidak semua permintaan belanja dari unit kerja mencerminkan kebutuhan yang benar-benar mendesak atau strategis. Kadang, kegiatan pengadaan sekadar dilakukan untuk menyerap anggaran. Studi kelayakan membantu memastikan bahwa proyek yang diusulkan memang sesuai dengan prioritas organisasi, mendukung program kerja, dan tidak tumpang tindih dengan inisiatif lain.
  • Kelayakan Finansial yang Rasional:
    Setiap rupiah dalam pengadaan harus bisa dipertanggungjawabkan. Studi kelayakan mengkaji apakah biaya investasi dapat dikompensasi oleh manfaat, baik secara ekonomi, sosial, maupun teknis. Proyek yang kelihatannya menguntungkan bisa jadi tidak layak secara finansial jika mempertimbangkan biaya pemeliharaan atau risiko ketidakpastian harga.
  • Dampak Sosial dan Lingkungan yang Terkendali:
    Pengadaan bukanlah kegiatan netral. Beberapa proyek bisa menimbulkan gangguan pada masyarakat sekitar, atau menyebabkan kerusakan lingkungan. Studi kelayakan akan menilai risiko sosial dan ekologis secara objektif dan menyarankan langkah mitigasi—misalnya relokasi warga, kompensasi sosial, atau pelestarian lingkungan.
  • Mitigasi Risiko Sejak Awal:
    Risiko adalah hal yang tak terhindarkan dalam setiap proyek. Tanpa studi kelayakan, risiko-risiko tersebut baru diketahui saat proyek sudah berjalan, ketika koreksi akan sangat mahal. Studi kelayakan bertujuan mengidentifikasi risiko sejak dini—baik itu risiko teknis, hukum, pasar, atau operasional—dan menyusun strategi penanganannya.

Dengan kata lain, studi kelayakan memberi peta jalan strategis yang memandu seluruh proses pengadaan, mulai dari desain kegiatan, penentuan metode, penyusunan dokumen, sampai pengawasan proyek. Ketiadaan studi kelayakan sama saja dengan melangkah dalam kabut: tidak jelas arah, tidak siap menghadapi rintangan, dan berpotensi tersesat.

2. Definisi dan Ruang Lingkup Studi Kelayakan

2.1. Pengertian Studi Kelayakan

Studi kelayakan (feasibility study) adalah analisis komprehensif dan sistematis yang dilakukan sebelum sebuah proyek dilaksanakan, dengan tujuan untuk menilai apakah proyek tersebut layak dijalankan. Kelayakan di sini tidak hanya soal biaya atau laba, tetapi juga kesiapan teknis, regulasi, ketersediaan pasar, dan dampak sosial.

Dalam konteks pengadaan barang/jasa, studi kelayakan mencakup analisis terhadap enam aspek utama:

  • Aspek Teknik/Operasional:
    Apakah infrastruktur atau sistem teknologi yang dibutuhkan sudah tersedia atau mudah disiapkan? Apakah instansi memiliki tenaga operasional yang mumpuni untuk mengoperasikan hasil pengadaan? Apakah prosesnya efisien dan bisa dikelola dengan sumber daya yang ada?
  • Aspek Keuangan/Ekonomi:
    Di sini dilakukan perhitungan menyeluruh atas biaya dan manfaat. Apakah biaya pengadaan dan operasional masih wajar? Bagaimana jika dibandingkan dengan alternatif solusi yang lebih murah atau lebih sederhana? Analisis ini juga mencakup kemungkinan mendapatkan pendanaan atau kemitraan dengan sektor swasta.
  • Aspek Pasar:
    Studi ini penting ketika pengadaan berkaitan dengan layanan publik berbasis pengguna, misalnya pembangunan pasar rakyat, pengadaan sistem informasi layanan, atau penyediaan angkutan umum. Studi pasar akan melihat seberapa besar permintaan dari masyarakat dan apakah barang/jasa yang disediakan akan dimanfaatkan secara optimal.
  • Aspek Hukum dan Regulasi:
    Pengadaan harus tunduk pada berbagai aturan. Studi kelayakan memeriksa apakah ada peraturan yang menghalangi proyek, misalnya batasan pada penggunaan lahan, perlunya izin khusus, atau kewajiban audit lingkungan. Hal ini sangat penting untuk menghindari konflik hukum di tengah jalan.
  • Aspek Sosial dan Lingkungan:
    Apakah proyek akan mengganggu masyarakat lokal? Adakah potensi konflik sosial karena pengadaan tersebut? Apakah akan merusak lingkungan? Semua ini harus dijawab melalui pendekatan sosial dan kajian dampak lingkungan yang memadai.
  • Aspek Manajemen Risiko:
    Studi kelayakan yang baik harus disertai identifikasi risiko yang menyeluruh: risiko pengadaan gagal, risiko kontraktor wanprestasi, risiko kenaikan harga bahan, risiko politik, dan lainnya. Semua risiko harus disusun prioritas dan disiapkan strategi mitigasinya.

2.2. Perbedaan Studi Kelayakan dengan Analisis Kebutuhan

Banyak organisasi beranggapan bahwa cukup melakukan analisis kebutuhan saja sebelum pengadaan. Namun, ini keliru. Analisis kebutuhan hanya menjawab satu pertanyaan: “Apa yang dibutuhkan dan mengapa dibutuhkan?” Ia fokus pada sisi permintaan internal, misalnya “Kantor butuh 20 unit komputer karena terjadi penambahan pegawai.”

Sementara studi kelayakan mencakup analisis menyeluruh, mulai dari kelayakan teknis (apakah lebih baik membeli atau menyewa?), kelayakan finansial (berapa biaya siklus hidup per unit?), risiko (apakah ada risiko kompatibilitas atau vendor tidak tersedia?), hingga alternatif solusi (apakah komputer atau tablet yang lebih sesuai?). Jadi, analisis kebutuhan adalah bagian kecil dari studi kelayakan, bukan pengganti.

3. Dasar Hukum dan Kebijakan Terkait Studi Kelayakan

Studi kelayakan bukan sekadar praktik baik (best practice) dalam pengadaan, tetapi juga memiliki dasar hukum yang kuat dalam berbagai regulasi nasional. Beberapa regulasi penting yang menjadi landasan pelaksanaan studi kelayakan antara lain:

3.1. Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 dan Amandemennya

Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (beserta perubahannya di Perpres 12/2021 dan Perpres 46/2025) mengamanatkan bahwa pengadaan harus didasarkan pada perencanaan yang matang. Salah satu instrumen perencanaan tersebut adalah Dokumen Pelaksanaan Pengadaan (DPP) yang mencakup latar belakang, tujuan, sasaran, hingga analisis risiko pengadaan. Studi kelayakan secara implisit diakui sebagai bagian penting dalam penyusunan DPP, terutama untuk paket berskala besar dan kompleks.

3.2. Peraturan Kepala LKPP dan Permen PPN

Dalam berbagai pedoman teknis yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), disebutkan bahwa penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK), Term of Reference (TOR), dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebaiknya didasarkan pada hasil studi kelayakan. Tujuannya adalah agar dokumen lelang tidak dibuat sembarangan, tetapi berakar dari analisis yang dapat dipertanggungjawabkan.

3.3. Peraturan Perundang-undangan Sektoral

Untuk pengadaan di bidang energi, jasa konstruksi, lingkungan hidup, dan sektor lainnya, studi kelayakan bahkan menjadi prasyarat mutlak. Contohnya:

  • UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi mewajibkan studi kelayakan teknis dan ekonomis untuk proyek infrastruktur energi.
  • UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa proyek konstruksi dengan nilai besar wajib melalui tahapan studi kelayakan.
  • PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan mengatur bahwa proyek berdampak besar wajib menyusun kajian lingkungan seperti LHS dan AMDAL, yang biasanya dilampirkan dalam studi kelayakan.

3.4. Pemeriksaan Auditor

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan inspektorat internal sering kali menyoroti proyek yang tidak didahului dengan studi kelayakan sebagai proyek yang lemah secara perencanaan. Hal ini dapat memicu temuan audit, yang berdampak buruk pada reputasi dan kinerja instansi. Bahkan jika proyek tersebut berjalan baik sekalipun, ketiadaan studi kelayakan tetap dinilai sebagai pelanggaran prosedural.

4. Kapan Studi Kelayakan Diperlukan? Kriteria dan Indikator

Tidak semua kegiatan pengadaan membutuhkan studi kelayakan yang kompleks dan berbiaya tinggi. Namun, ada indikator tertentu yang bisa menjadi acuan kapan studi kelayakan harus dilakukan agar proyek tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Berikut kriteria utamanya:

4.1. Nilai Kontrak Melebihi Ambang Batas Tertentu

Salah satu indikator paling umum adalah besarnya nilai kontrak. Dalam beberapa ketentuan seperti Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 (beserta amandemennya), pengadaan di atas ambang tertentu disarankan bahkan diwajibkan disertai studi kelayakan. Misalnya:

  • Barang/Jasa lainnya: Jika nilai pengadaan di atas Rp200 juta, maka diperlukan analisis lebih dari sekadar estimasi kebutuhan.
  • Jasa Konsultansi: Ambang lebih rendah, yakni di atas Rp100 juta, karena jasa ini sangat bergantung pada kompetensi dan output analitis yang tidak terukur langsung.

Dengan kata lain, makin tinggi nilai paket pengadaan, makin besar pula tanggung jawab perencana untuk membuktikan kelayakannya.

4.2. Proyek Infrastruktur dan Konstruksi Skala Besar

Pengadaan infrastruktur seperti jalan, jembatan, gedung, dan bendungan umumnya berdampak besar terhadap wilayah dan masyarakat. Risiko teknis, biaya tidak terduga, atau ketidaksesuaian lokasi sangat tinggi. Tanpa studi kelayakan, proyek seperti ini rawan gagal, terbengkalai, atau mengalami pembengkakan anggaran (cost overrun). Studi kelayakan di sini biasanya mencakup analisis tanah, struktur, cuaca, jaringan utilitas, dan lalu lintas.

4.3. Pengadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Strategis

Contoh TIK strategis adalah sistem ERP (Enterprise Resource Planning), sistem e-Procurement, Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit, atau platform Cloud Pemerintah. Kegagalan implementasi sistem ini berdampak luas karena menyangkut operasional harian dan data organisasi. Studi kelayakan diperlukan untuk menilai kesiapan infrastruktur TI, interoperabilitas, keamanan data, kapasitas SDM, dan roadmap migrasi sistem lama ke sistem baru.

4.4. Proyek Multiyears

Jika pengadaan dirancang untuk jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran (multiyears), maka risiko meningkat tajam: mulai dari perubahan harga bahan baku, kebijakan fiskal, hingga potensi perubahan kebijakan politik. Studi kelayakan akan memetakan:

  • Alokasi anggaran tahunan.
  • Mekanisme kontrak dan pembayaran bertahap.
  • Strategi pengendalian fluktuasi harga pasar.

Tanpa studi kelayakan, proyek multiyears seringkali terganjal di tengah jalan akibat kendala teknis maupun politik.

4.5. Pengadaan dengan Aspek Lingkungan Signifikan

Untuk proyek-proyek seperti tambang, bendungan, pembangunan pelabuhan, atau irigasi, risiko kerusakan lingkungan sangat tinggi. Maka, studi kelayakan harus mencakup juga:

  • Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
  • Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
  • Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).

Regulasi mengharuskan dokumen-dokumen ini disusun sebelum izin proyek diterbitkan. Tanpa studi kelayakan lingkungan, proyek bisa ditolak masyarakat, digugat LSM, atau dibatalkan oleh regulator.

4.6. Pengadaan Berbasis Public-Private Partnership (PPP)

Kerja sama pemerintah dengan pihak swasta (KPBU/PPP) membutuhkan studi kelayakan finansial yang solid. Mengapa? Karena:

  • Pemerintah harus memastikan bahwa proyek cukup menarik bagi investor.
  • Rasio risiko dan keuntungan harus wajar untuk kedua pihak.
  • Skema revenue sharing harus adil dan transparan.

Tanpa studi kelayakan yang disusun profesional, investor tidak akan tertarik atau justru kontrak akan merugikan pemerintah.

5. Metode dan Tahapan Penyusunan Studi Kelayakan

Studi kelayakan yang efektif tidak dapat dilakukan secara instan. Ia memerlukan pendekatan metodologis dan lintas disiplin yang kuat. Berikut adalah tahapan lengkap dalam penyusunan studi kelayakan:

5.1. Pra‑Studi: Persiapan dan Perumusan Masalah

Tahap ini melibatkan:

  • Pembentukan Tim Feasibility yang terdiri dari perencana teknis, analis keuangan, ahli hukum, pakar lingkungan, serta pihak independen jika dibutuhkan.
  • Identifikasi Tujuan Proyek secara spesifik, bukan hanya deskripsi umum.
  • Pengumpulan Data Primer: melalui survei lapangan, wawancara, observasi langsung, dan Focus Group Discussion (FGD) dengan calon pengguna atau masyarakat terdampak.
  • Pengumpulan Data Sekunder: mencakup studi sebelumnya, data proyek serupa, referensi kebijakan, laporan audit, dan informasi harga dari e-katalog atau LKPP.

5.2. Kajian Pasar dan Kebutuhan

Analisis ini bertujuan memahami potensi keberlanjutan proyek dari sudut pandang permintaan dan pasokan. Hal-hal yang dikaji:

  • Kondisi Pasar: Apakah barang/jasa yang akan disediakan benar-benar dibutuhkan?
  • Supply Chain: Siapa saja calon penyedia dan apa tingkat persaingan antar mereka?
  • Tren Harga dan Inovasi: Apakah teknologi atau solusi baru sudah muncul?
  • Segmentasi Pengguna Akhir: Memastikan spesifikasi disusun berdasarkan profil pengguna yang tepat (misal: lansia, penyandang disabilitas, pelaku UMKM).

5.3. Analisis Teknis/Operasional

Menganalisis hal teknis dan operasional seperti:

  • Spesifikasi Barang/Jasa: apakah sesuai standar nasional/internasional?
  • Kesiapan Infrastruktur Pendukung: jaringan listrik, internet, gudang, alat berat.
  • Kapasitas Internal: Apakah SDM tersedia untuk mengelola hasil pengadaan?

5.4. Analisis Keuangan dan Ekonomi

Meliputi:

  • Proyeksi Biaya Investasi: termasuk pengadaan awal, pelatihan, serta biaya operasi dan pemeliharaan (O&M).
  • Proyeksi Pendapatan (jika ada): untuk proyek berbasis layanan publik berbayar.
  • Metode Evaluasi: NPV, IRR, Break Even Point, dan Payback Period.
  • Skenario Sensitivitas: dampak jika terjadi perubahan harga, inflasi, atau volume pengguna.

5.5. Analisis Hukum dan Regulasi

Memeriksa:

  • Status Hukum Proyek: hak kepemilikan aset, izin penggunaan lahan.
  • Ketentuan Tender: apakah masuk kategori terbuka, terbatas, atau bisa melalui e-purchasing.
  • Kontrak: skema multiyears, risiko wanprestasi, dan mekanisme pengadilan.

5.6. Analisis Sosial dan Lingkungan

Fokus pada:

  • Dampak Sosial: seperti relokasi warga, potensi konflik sosial, dan kesenjangan akses.
  • Dampak Ekologis: deforestasi, pencemaran air/udara, ancaman biodiversitas.
  • Rencana Tindakan Mitigasi: bisa berupa reboisasi, program CSR, atau relokasi warga dengan kompensasi yang adil.

5.7. Manajemen Risiko

Proses ini meliputi:

  • Identifikasi Risiko: seperti keterlambatan pengiriman, kerusakan alat, inflasi.
  • Penilaian Risiko: matriks probabilitas vs dampak.
  • Penyusunan SOP Mitigasi dan Rencana Kontinjensi: mencakup rencana alternatif dan dana cadangan.

5.8. Penyusunan Laporan Feasibility Study

Dokumen akhir harus terdiri dari:

  • Ringkasan eksekutif.
  • Penjabaran tiap aspek (teknis, keuangan, hukum, sosial, lingkungan).
  • Rekomendasi keputusan (dilanjutkan, ditunda, atau dibatalkan).
  • Lampiran data dan dokumentasi pendukung (foto, hasil survei, grafik, tabel proyeksi).

Laporan ini menjadi dasar legal dan operasional dalam pengambilan keputusan tender.

6. Studi Kasus: Ketika Studi Kelayakan Menjadi Penyelamat

6.1. Proyek Sistem Informasi E‑Procurement di Kabupaten X

Konteks: Pemerintah Kabupaten X merencanakan pengadaan sistem e‑procurement untuk memudahkan proses tender secara online. Proyek langsung masuk tahap lelang tanpa studi kelayakan.

Masalah yang Terjadi:

  • Semua penyedia lokal gagal memenuhi persyaratan karena tidak punya data center mandiri.
  • SDM internal belum siap mengoperasikan sistem.
  • Akibatnya, tidak ada pemenang, dan tender harus diulang.

Solusi:

Setelah dilakukan studi kelayakan, ditemukan beberapa rekomendasi:

  • Sistem perlu dibangun berbasis cloud hybrid agar tidak memberatkan infrastruktur lokal.
  • Perlu ada pelatihan khusus bagi tim LPSE dan staf pengguna.
  • Dokumen lelang direvisi agar lebih realistis.

Hasil: Tender ulang berhasil diikuti enam vendor nasional, dan proyek berjalan sesuai rencana dalam tahun anggaran.

6.2. Pembangunan Jembatan di Provinsi Y

Konteks: Pemerintah Provinsi Y merencanakan pembangunan jembatan penghubung dua desa terpencil. Proyek ini awalnya tampak sederhana.

Temuan Studi Kelayakan:

  • Lokasi berada di area rawan banjir musiman.
  • Jalan akses ke lokasi tidak bisa dilalui kendaraan berat saat musim hujan.
  • Tanah di lokasi labil dan perlu pondasi dalam tambahan.

Rekomendasi Studi:

  • Elevasi jembatan ditinggikan 1,5 meter dari rencana awal.
  • Distribusi material dilakukan melalui heli atau kapal kecil pada musim hujan.
  • Biaya proyek meningkat 12%, tetapi menghindari kerusakan dan keterlambatan.

Hasil: Proyek selesai tepat waktu dan tetap dapat diakses saat banjir besar di musim hujan tahun berikutnya.

7. Rekomendasi Praktis bagi Pejabat Pengadaan

Bagi pejabat pengadaan, keputusan untuk menyusun studi kelayakan tidak boleh dilihat sebagai beban administratif belaka, melainkan sebagai strategi jangka panjang yang mendukung keberhasilan proyek dan perlindungan hukum dalam pelaksanaan pengadaan. Berikut sejumlah rekomendasi operasional yang dapat langsung diterapkan:

7.1. Integrasikan Feasibility Study dalam Dokumen Pelaksanaan Pengadaan (DPP)

Studi kelayakan harus menjadi bagian integral dari proses perencanaan pengadaan. Oleh karena itu, sertakan hasil studi kelayakan sebagai lampiran wajib dalam DPP, khususnya untuk proyek bernilai menengah hingga besar. Dengan menjadikannya bagian resmi dari dokumen perencanaan, maka seluruh proses pengadaan akan memiliki pijakan yang dapat diuji secara audit dan bisa dijadikan dasar argumentasi dalam pengambilan keputusan, terutama jika muncul keberatan, sanggahan, atau temuan audit.

Contoh praktik baik: Unit Pengadaan Kabupaten A mewajibkan setiap pengadaan bernilai di atas Rp5 miliar untuk menyertakan ringkasan hasil feasibility study, termasuk peta risiko, asumsi pasar, dan analisis dampak lingkungan.

7.2. Skala Studi Sesuai Kompleksitas

Studi kelayakan tidak harus selalu rumit dan mahal. Yang penting adalah proporsionalitas. Untuk proyek kecil atau berisiko rendah, feasibility note atau kajian kelayakan ringan bisa cukup. Namun, untuk proyek dengan:

  • Nilai total cost di atas Rp10 miliar,
  • Durasi lebih dari satu tahun anggaran,
  • Dampak sosial-lingkungan signifikan, atau
  • Komponen teknologi tinggi dan non-standard,

maka studi kelayakan penuh menjadi kebutuhan mutlak. Skala studi sebaiknya ditentukan melalui early risk screening atau forum review awal oleh tim teknis dan keuangan.

7.3. Gunakan Template Standar dari LKPP

Untuk menjaga konsistensi isi, struktur, dan terminologi, pejabat pengadaan disarankan untuk menggunakan template studi kelayakan yang disediakan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Template ini sudah mencakup:

  • Struktur logis: mulai dari latar belakang, tujuan, metodologi, analisis, hingga rekomendasi.
  • Komponen wajib: analisis teknis, finansial, hukum, risiko, dan lingkungan.
  • Format tabel proyeksi keuangan, analisis NPV/IRR, dan peta stakeholder.

Manfaat penggunaan template ini antara lain: mempercepat penyusunan dokumen, memudahkan proses review oleh atasan dan auditor, serta mengurangi risiko kesalahan substansial atau formil.

7.4. Bangun Kapasitas Tim Melalui Pelatihan Rutin

Kapasitas sumber daya manusia merupakan fondasi utama penyusunan studi kelayakan yang berkualitas. Oleh karena itu, UKPBJ (Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa) dan ULP (Unit Layanan Pengadaan) perlu secara berkala menyelenggarakan pelatihan tentang:

  • Teknik penyusunan feasibility study berbasis proyek nyata,
  • Penerapan metode analisis risiko dan keuangan sederhana,
  • Penggunaan perangkat lunak analisis kelayakan (misalnya Excel template, software NPV/IRR, atau tools SWOT),
  • Kajian lingkungan dan sosial.

Pelatihan ini sebaiknya bersifat praktis dan case-based agar peserta langsung bisa menerapkan pada pengadaan aktual.

7.5. Lakukan Audit Internal Berkala terhadap Metodologi dan Data Studi

Sebelum proyek dilelang, studi kelayakan sebaiknya direview oleh tim audit internal atau APIP untuk memeriksa:

  • Apakah data yang digunakan masih valid (terutama harga, asumsi kurs, kondisi pasar)?
  • Apakah asumsi-asumsi masih relevan dengan kondisi lapangan saat ini?
  • Apakah peta risiko dan strategi mitigasi telah dikaji ulang?

Audit ini tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol mutu, tetapi juga memberikan proteksi kelembagaan dari potensi temuan eksternal (BPK, BPKP) maupun tuntutan hukum. Studi kelayakan yang telah diaudit juga menjadi dasar kuat saat mempertanggungjawabkan proyek kepada publik atau DPRD.

8. Kesimpulan

Studi kelayakan bukanlah sekadar dokumen formalitas atau pelengkap administrasi belaka. Ia adalah fondasi strategis bagi keberhasilan setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa, terutama yang berskala menengah hingga besar, berdampak luas, atau berjangka panjang. Mengabaikan studi kelayakan berarti mengorbankan akurasi perencanaan, validitas kebutuhan, serta efektivitas pelaksanaan proyek.

Dari uraian panjang di atas, dapat disimpulkan bahwa studi kelayakan berperan dalam:

  • Menjamin relevansi kebutuhan organisasi terhadap pengadaan yang direncanakan.
  • Menilai kelayakan ekonomi dan finansial secara komprehensif, sehingga pengeluaran negara/pemerintah tidak mubazir.
  • Memetakan dan memitigasi risiko proyek, dari sisi teknis, hukum, hingga lingkungan.
  • Memberikan dasar rasional dan terverifikasi bagi penyusunan dokumen tender (KAK/TOR, HPS, jadwal, spesifikasi).

Melalui metode yang terstruktur—dimulai dari analisis pasar, teknis, keuangan, hukum, lingkungan, sosial, hingga manajemen risiko—studi kelayakan menjawab pertanyaan kunci: apakah proyek ini layak secara menyeluruh, dan bagaimana sebaiknya dilaksanakan?

Oleh karena itu, jawaban atas pertanyaan “Kapan studi kelayakan diperlukan?” adalah: setiap kali proyek Anda mengandung potensi kerugian besar jika gagal. Baik itu karena nilainya tinggi, durasinya panjang, dampaknya luas, atau kompleksitasnya tinggi—studi kelayakan harus menjadi syarat awal, bukan langkah pengaman di akhir.

Dengan menjadikan studi kelayakan sebagai early filter, pejabat pengadaan dapat memastikan bahwa:

  • Proyek benar-benar memberi nilai tambah bagi publik,
  • Proses lelang menarik penyedia yang kompeten,
  • Pelaksanaan proyek berjalan lancar, dan
  • Audit serta evaluasi tidak menemukan celah perencanaan yang fatal.

Jangan menunggu gagal baru melakukan studi. Mulailah dengan studi, dan biarkan data serta analisis objektif membimbing keputusan Anda. Pengadaan bukan sekadar membeli barang atau jasa—ia adalah investasi pelayanan publik, dan studi kelayakan adalah kompasnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *