Soft Skill yang Harus Dimiliki Ahli Pengadaan

Keberhasilan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah maupun swasta tidak hanya ditentukan oleh kemampuan teknis—seperti menguasai regulasi, metode evaluasi, penyusunan dokumen, atau pemahaman sistem elektronik—tetapi juga oleh rangkaian soft skill atau keterampilan non-teknis yang sering kali menjadi penentu utama dalam menjalin hubungan, mengelola konflik, mengambil keputusan, dan memastikan kerjasama yang produktif. Seringkali, para ahli pengadaan atau praktisi PBJ (Pengadaan Barang/Jasa) yang hanya fokus pada aspek hard skill tanpa mengembangkan kemampuan komunikasi, negosiasi, empati, serta manajemen waktu akan menghadapi kesulitan dalam menjalankan tugasnya secara efektif. Artikel ini akan mengupas secara panjang dan mendalam sepuluh soft skill krusial yang wajib dimiliki oleh setiap ahli pengadaan untuk menjadikan setiap tahapan proses PBJ—mulai dari perencanaan hingga evaluasi pasca-kontrak—berjalan mulus, transparan, dan akuntabel.

1. Kemampuan Komunikasi yang Jelas dan Persuasif

Dalam konteks pengadaan barang dan jasa, komunikasi tidak boleh hanya dimaknai sebagai proses menyampaikan informasi satu arah dari pejabat pengadaan ke penyedia atau sebaliknya. Justru, komunikasi dalam pengadaan menuntut adanya dialog yang dua arah, terbuka, dan responsif terhadap dinamika yang muncul dalam setiap fase—dari perencanaan, pemilihan penyedia, kontraktual, hingga pelaporan dan audit. Ahli pengadaan yang andal harus mampu menyampaikan dokumen yang sangat teknis, seperti Kerangka Acuan Kerja (KAK), spesifikasi teknis, Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan rancangan kontrak, dengan cara yang tidak membingungkan, serta bisa dipahami oleh non-ahli.

Kemampuan ini mencakup penggunaan bahasa yang lugas, logika penyampaian yang runtut, dan pemilihan media komunikasi yang sesuai dengan karakteristik mitra atau audiens. Misalnya, penyampaian klarifikasi teknis sebaiknya menggunakan visualisasi seperti bagan alir atau gambar teknik agar lebih mudah dipahami oleh vendor. Di sisi lain, ketika berhadapan dengan internal organisasi—seperti tim keuangan, hukum, atau atasan—ahli pengadaan harus mampu menyesuaikan narasi dengan latar belakang keilmuan dan kebutuhan informasi masing-masing pihak.

Selain aspek penyampaian, kemampuan komunikasi juga mencakup keterampilan mendengarkan aktif. Ahli pengadaan harus dapat mendeteksi sinyal kekhawatiran, keberatan, bahkan aspirasi diam-diam yang tidak diucapkan secara eksplisit oleh penyedia. Mendengarkan aktif bukan berarti sekadar diam mendengar, melainkan mencermati nada bicara, bahasa tubuh, dan struktur argumen, lalu menanggapinya dengan empati serta berbasis data. Komunikasi persuasif muncul saat ahli pengadaan tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun pemahaman bersama, menciptakan kepercayaan, dan menginspirasi kepatuhan terhadap prosedur pengadaan tanpa memaksakan kehendak.

2. Keterampilan Negosiasi untuk Mencapai Win–Win Solution

Negosiasi dalam pengadaan bukanlah proses untuk memenangkan satu pihak atas pihak lain, melainkan proses pencapaian kesepakatan optimal yang mempertemukan kepentingan institusi pemerintah atau perusahaan dengan penyedia barang/jasa. Oleh karena itu, negosiasi tidak boleh dilakukan secara terburu-buru, apalagi dengan tekanan sepihak, melainkan harus berbasis pada data, rasionalitas, dan kesetaraan posisi.

Seorang ahli pengadaan yang baik akan memulai proses negosiasi dengan melakukan analisis komparatif terhadap harga pasar, rekam jejak penyedia, risiko pengiriman, serta mutu barang/jasa. Dengan bekal informasi yang kuat ini, ia bisa menentukan batas minimum dan maksimum yang dapat ditoleransi, baik dari sisi biaya maupun kualitas. Di saat yang sama, ia juga perlu memahami posisi tawar penyedia—misalnya kemampuan produksi mereka, kendala logistik, atau dinamika harga bahan baku global—untuk membentuk ekspektasi yang realistis.

Kunci keberhasilan negosiasi terletak pada kemampuan interpersonal. Membangun hubungan saling percaya (rapport), membaca bahasa tubuh, serta memahami bahasa tak tersurat sering kali lebih menentukan daripada angka yang tercantum dalam tabel Excel. Ahli pengadaan yang paham dinamika ini tidak akan memaksakan harga murah jika itu berisiko membuat penyedia mengurangi mutu produk. Sebaliknya, ia akan mendorong tercapainya value for money dengan mempertimbangkan seluruh aspek: harga, kualitas, ketepatan waktu, garansi layanan, dan keberlanjutan kerja sama.

Negosiasi yang baik juga akan menghasilkan kontrak yang sustainable, bukan sekadar kesepakatan formal. Artinya, semua pihak merasa diuntungkan dan terdorong untuk mematuhi isi kontrak tanpa perlu intervensi terus-menerus. Inilah mengapa negosiasi bukan hanya soal bargaining, tapi lebih dari itu: ia adalah seni mengharmonikan kepentingan secara cerdas dan etis.

3. Kemampuan Pemecahan Masalah (Problem Solving) Secara Sistematis

Dalam praktik pengadaan, sangat jarang sebuah proyek berjalan tanpa hambatan. Permasalahan bisa muncul dari sisi regulasi (misalnya terbitnya aturan baru di tengah proses tender), aspek teknis (seperti revisi spesifikasi barang karena perubahan kebutuhan pengguna), hingga isu sosial (misalnya protes masyarakat terhadap kegiatan pengadaan di wilayah tertentu). Oleh karena itu, seorang ahli pengadaan harus memiliki kemampuan problem solving yang sistematis dan berbasis bukti.

Langkah pertama adalah kemampuan mengidentifikasi masalah secara tepat. Ini membutuhkan situational awareness—kemampuan untuk menangkap gejala masalah sebelum ia membesar. Misalnya, keterlambatan pengumpulan penawaran bisa menjadi sinyal bahwa dokumen pemilihan kurang jelas. Kedua, ahli pengadaan perlu memetakan penyebab akar masalah (root cause analysis) dengan metode seperti fishbone diagram, 5 Whys, atau pendekatan sistem berpikir (systems thinking).

Setelah akar permasalahan diketahui, langkah selanjutnya adalah menyusun berbagai alternatif solusi, lalu mengevaluasi masing-masing berdasarkan aspek legalitas, biaya, waktu, serta risiko jangka panjangnya. Tidak semua solusi legal layak secara anggaran, dan tidak semua solusi cepat cocok dalam jangka panjang. Ahli pengadaan harus mempertimbangkan semua itu secara komprehensif sebelum mengambil keputusan.

Terakhir, setiap solusi yang diterapkan harus disertai dengan rencana mitigasi risiko lanjutan. Misalnya, bila diputuskan untuk melakukan addendum kontrak, maka harus dipastikan bahwa mekanisme adendum tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan tidak membuka peluang penyelewengan. Pemecahan masalah dalam pengadaan bukan hanya soal menyelesaikan masalah hari ini, tetapi juga mencegah munculnya masalah yang sama di masa depan melalui dokumentasi, SOP baru, atau pelatihan ulang.

4. Adaptabilitas dan Fleksibilitas di Tengah Dinamika Regulasi

Lingkungan regulasi pengadaan di Indonesia dikenal sangat dinamis. Dalam satu dekade terakhir, telah terjadi beberapa perubahan signifikan pada Peraturan Presiden (Perpres) tentang pengadaan barang/jasa, belum lagi disusul oleh peraturan pelaksana dari LKPP, Peraturan Menteri, dan Surat Edaran yang mengatur berbagai aspek mulai dari E-Katalog, e-purchasing, pengadaan langsung, hingga penilaian kinerja penyedia. Perubahan regulasi ini seringkali tidak datang dengan jeda waktu panjang untuk adaptasi, sehingga ahli pengadaan dituntut untuk memiliki mental siap berubah dan cepat menyesuaikan diri.

Soft skill adaptabilitas bukan sekadar kemampuan membaca regulasi baru, tetapi juga kesiapan mental dan operasional untuk mengubah cara kerja, mengatur ulang SOP, bahkan mengedukasi rekan kerja yang belum familiar dengan perubahan. Contohnya, ketika proses pengadaan harus berpindah dari tatap muka ke sistem digital akibat kebijakan darurat pandemi, ahli pengadaan yang adaptif akan segera merancang protokol kerja jarak jauh, mempercepat pelatihan SPSE daring bagi tim, dan menyusun kebijakan keamanan dokumen digital.

Fleksibilitas juga berarti kesiapan untuk merespons perubahan prioritas instansi. Bisa jadi, proyek yang awalnya diprioritaskan pada pembangunan fisik harus dialihkan ke pengadaan alat kesehatan karena kondisi darurat. Dalam hal ini, ahli pengadaan harus mampu menyusun dokumen pemilihan baru dalam waktu cepat, mengidentifikasi penyedia yang relevan, serta tetap menjaga akuntabilitas proses tanpa berlarut-larut dalam keluhan atas perubahan mendadak.

Ahli pengadaan yang adaptif bukan hanya mampu bertahan di tengah perubahan, tapi juga bisa menjadi motor perubahan—mengajak timnya berpikir terbuka, menciptakan inovasi kerja, dan menjadikan setiap perubahan sebagai peluang perbaikan proses.

5. Kerjasama Tim dan Kolaborasi Lintas Fungsi

Pengadaan adalah aktivitas lintas sektor yang membutuhkan koordinasi yang erat antara berbagai unit dan disiplin keilmuan. Tidak mungkin seorang ahli pengadaan menyelesaikan seluruh tugas sendirian—ia membutuhkan data teknis dari tim perencana, dukungan keuangan dari BPKAD, pendampingan hukum dari bagian hukum, serta supervisi dari pimpinan. Maka, soft skill kerjasama tim menjadi fondasi keberhasilan operasional.

Kerjasama tim yang efektif ditandai dengan adanya tujuan bersama yang disepakati, pembagian peran yang jelas, dan komunikasi terbuka. Seorang ahli pengadaan harus mampu menjembatani perbedaan kepentingan—misalnya antara teknisi yang ingin spesifikasi setinggi mungkin dengan keuangan yang ingin harga serendah mungkin—dan menciptakan titik temu berdasarkan prinsip value for money. Ia harus bisa memediasi perdebatan tanpa memihak, sekaligus menjaga agar keputusan tetap berada dalam koridor hukum.

Lebih jauh, kolaborasi tidak hanya terjadi secara horizontal, tapi juga vertikal. Artinya, ahli pengadaan juga harus membangun kepercayaan dengan pimpinan unit, menyampaikan perkembangan proses pengadaan secara reguler, dan membuka ruang diskusi strategis agar proses pengadaan sejalan dengan visi pembangunan instansi. Kemampuan ini mencakup aspek coaching, mentoring, dan motivasi kepada rekan kerja maupun bawahan agar mereka merasa dihargai, dipahami, dan dilibatkan.

Pada akhirnya, soft skill kolaborasi ini tidak hanya menciptakan sinergi internal yang solid, tetapi juga memperkuat posisi instansi dalam membangun kemitraan yang profesional dengan pihak eksternal, termasuk penyedia dan lembaga pengawas..

6. Manajemen Waktu dan Prioritas (Time Management)

Di dunia pengadaan barang/jasa pemerintah, beban kerja tidak tersebar secara merata sepanjang tahun. Realitas yang sering terjadi adalah akumulasi pekerjaan menjelang akhir tahun anggaran, ketika proses pengajuan dan pelelangan harus dituntaskan agar serapan anggaran mencapai target. Hal ini membuat waktu menjadi salah satu sumber daya paling kritis. Oleh karena itu, soft skill manajemen waktu dan penentuan prioritas menjadi kompetensi kunci yang membedakan seorang ahli pengadaan yang efisien dari yang hanya reaktif.

Manajemen waktu yang baik bukan sekadar menyusun agenda harian, tetapi menyusun work breakdown structure secara menyeluruh untuk semua tahapan pengadaan, menetapkan milestone, menentukan waktu buffer untuk kegiatan kritikal, serta mengelompokkan tugas berdasarkan urgensi dan pentingnya (prinsip Eisenhower Matrix). Misalnya, penyusunan Rencana Umum Pengadaan (RUP) yang idealnya selesai di awal tahun anggaran sering tertunda karena tidak diprioritaskan. Ahli pengadaan yang menguasai prinsip prioritization mapping akan tahu bahwa penundaan RUP berdampak pada seluruh siklus pengadaan, sehingga harus dikerjakan lebih awal meskipun tampak “tidak mendesak”.

Penggunaan tools manajemen proyek seperti Gantt Chart, Kanban Board (misalnya melalui Trello, Asana, atau Microsoft Planner), hingga integrasi dengan kalender kerja SPSE akan membantu ahli pengadaan memvisualisasikan alur kerja dan progres tim. Selain itu, kemampuan untuk delegating tasks, melakukan real-time monitoring, serta menyesuaikan ulang jadwal saat terjadi perubahan regulasi atau kondisi lapangan, merupakan bagian dari skill lanjutan dalam time management. Soft skill ini tidak hanya membantu menyelesaikan tugas tepat waktu, tetapi juga menjaga kualitas output tetap tinggi meskipun dalam tekanan waktu.

7. Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)

Dalam suasana kerja yang penuh tekanan, seperti saat menghadapi tenggat pengadaan multiyears atau ketika menjadi sasaran keluhan penyedia, seorang ahli pengadaan yang memiliki kecerdasan emosional tinggi akan tetap bisa bekerja dengan jernih, tenang, dan solutif. Emotional Intelligence (EI/EQ) mencakup lima dimensi utama yang semuanya relevan dalam pengadaan: kesadaran diri (self-awareness), pengendalian diri (self-regulation), motivasi, empati, dan keterampilan sosial.

Kesadaran diri memungkinkan ahli pengadaan memahami reaksi emosional pribadinya saat menghadapi stres atau kritik, sehingga tidak bereaksi secara impulsif. Pengendalian diri membuatnya tetap tenang saat tekanan datang dari atasan, media, atau peserta tender. Misalnya, ketika menghadapi tuduhan tidak adil dari peserta yang gagal tender, ahli pengadaan harus mampu menjawab secara rasional dan profesional tanpa terbawa emosi.

Empati menjadi aspek penting dalam membina relasi kerja. Seorang ahli pengadaan dengan EQ tinggi mampu memahami sudut pandang pengguna akhir yang khawatir barang tidak sesuai kebutuhan, atau penyedia yang mengeluhkan persyaratan terlalu berat. Dengan empati, komunikasi bisa dibangun dalam suasana saling menghargai dan terbuka, yang sering kali menghindarkan proses dari konflik berkepanjangan.

Sementara itu, keterampilan sosial memungkinkan ahli pengadaan membina hubungan kerja yang harmonis, baik di lingkungan internal seperti Pokja, keuangan, dan hukum, maupun eksternal seperti penyedia, LSM, dan masyarakat. EQ bukan hanya alat untuk bertahan, tetapi modal untuk membangun jejaring kerja yang sehat dan berdaya tahan tinggi dalam jangka panjang.

8. Etika dan Integritas Profesional

Tidak dapat dimungkiri bahwa dunia pengadaan publik adalah salah satu titik rawan dalam tata kelola keuangan negara. Banyak kasus penyimpangan bermula dari pengadaan: mulai dari pengaturan tender, gratifikasi, penyuapan, hingga manipulasi kontrak. Dalam konteks ini, soft skill etika dan integritas tidak hanya menjadi keutamaan pribadi, tetapi merupakan perisai moral dan institusional untuk menjaga proses pengadaan tetap pada jalur transparan dan akuntabel.

Integritas profesional mencakup keberanian untuk berkata “tidak” pada permintaan tidak sah, menolak campur tangan pihak tertentu dalam evaluasi, serta menjaga objektivitas dalam seluruh tahapan pengadaan. Ahli pengadaan yang berintegritas juga akan menolak menandatangani dokumen pengadaan yang disusun secara sembarangan, meski dengan dalih percepatan proyek. Ia akan memegang teguh prinsip akuntabilitas dan rule of law, serta memastikan bahwa setiap dokumen dan keputusan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum maupun etika.

Etika juga harus diterjemahkan ke dalam mekanisme operasional. Misalnya, pembuatan conflict of interest disclosure saat menyusun dokumen tender, penerapan sistem rotasi anggota Pokja, hingga pengarsipan dokumen secara terbuka dan sistematis agar bisa diaudit kapan pun. Ahli pengadaan juga harus berani menjadi “role model” bagi timnya, menegakkan nilai keadilan dan profesionalisme bukan hanya pada kata-kata, tapi dalam setiap keputusan yang diambil.

Memiliki reputasi sebagai pribadi berintegritas tidak hanya membentengi dari risiko hukum dan moral, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan dari pimpinan, auditor, penyedia, hingga masyarakat umum. Reputasi baik ini sulit dibangun, namun bisa hancur dalam sekejap jika seorang ahli pengadaan tergoda menyalahgunakan kewenangannya.

9. Kemampuan Resolusi Konflik

Konflik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses pengadaan. Perbedaan pendapat dalam tim Pokja, protes dari penyedia yang kalah, ketidaksepahaman antara unit pengguna dan penyusun spesifikasi, atau bahkan tekanan dari pihak eksternal—semuanya bisa muncul kapan saja. Dalam situasi seperti ini, kemampuan resolusi konflik menjadi soft skill vital untuk memastikan proses pengadaan tetap berjalan tanpa terganggu oleh dinamika internal dan eksternal yang destruktif.

Ahli pengadaan harus mampu menjadi mediator netral yang tidak memihak, namun mampu memahami posisi dan argumen masing-masing pihak. Ini mencakup keterampilan mendengarkan dengan empati, membangun suasana diskusi yang kondusif, serta menciptakan opsi solusi yang memadai tanpa melanggar prinsip-prinsip pengadaan.

Misalnya, dalam kasus sengketa perhitungan nilai teknis, ahli pengadaan dapat memfasilitasi forum klarifikasi terbuka yang menghadirkan semua peserta dan menjelaskan logika penilaian berdasarkan data objektif. Dalam konteks internal, jika terjadi ketidaksepakatan antara tim teknis dan keuangan soal spesifikasi atau HPS, kemampuan kompromi berbasis prinsip cost-benefit analysis menjadi sangat diperlukan.

Penting untuk diingat bahwa tidak semua konflik bisa dihindari, tetapi semua konflik bisa diselesaikan secara damai jika ada keinginan kuat dan metode penyelesaian yang tepat. Ahli pengadaan harus menguasai pendekatan win–win solution, serta memiliki strategi eskalasi yang proporsional—dari dialog informal, fasilitasi pimpinan, hingga prosedur formal seperti sanggahan atau laporan kepada inspektorat.

10. Literasi Digital dan Adaptasi Teknologi

Transformasi digital dalam sistem pengadaan pemerintah bukan sekadar tren, melainkan keniscayaan. Dari SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik), e-Katalog, SIRUP, hingga aplikasi dashboard pelaporan berbasis cloud, seluruh ekosistem pengadaan kini bergantung pada literasi digital pelaku utamanya. Oleh karena itu, soft skill teknologi informasi menjadi elemen tak terpisahkan dari kompetensi inti seorang ahli pengadaan modern.

Literasi digital dalam pengadaan mencakup kemampuan mengoperasikan aplikasi tender elektronik, menyusun dan mengunggah dokumen dengan format yang benar, memanfaatkan real-time tracking untuk memantau proses tender, hingga melakukan data mining untuk keperluan evaluasi penyedia atau audit internal. Ahli pengadaan juga harus paham konsep dasar keamanan digital (cybersecurity), seperti perlindungan akun, enkripsi dokumen, hingga pengelolaan akses file agar tidak bocor atau disalahgunakan.

Lebih dari itu, adaptasi teknologi juga berarti membuka diri terhadap inovasi. Misalnya, penggunaan sistem e-signature untuk efisiensi dokumen kontrak, integrasi SPSE dengan SIPD dan SIMDA, hingga adopsi dashboard pelaporan yang bisa diakses oleh pimpinan kapan saja. Ahli pengadaan harus mampu mengusulkan penggunaan tools baru yang mempercepat dan memperkuat proses, sekaligus memastikan pelatihan dasar diberikan kepada anggota tim agar semua pihak mampu mengikuti ritme digitalisasi.

Mereka yang tertinggal dalam kemampuan ini akan kesulitan berkompetisi, baik dari sisi kecepatan, ketelitian, maupun transparansi kerja. Sebaliknya, ahli pengadaan yang melek digital akan menjadi motor perubahan di instansinya, membantu modernisasi pengadaan secara menyeluruh dan berkelanjutan.a.

Penutup

Soft skill bukan sekadar pelengkap dalam curriculum vita seorang ahli pengadaan; ia menjadi penentu keberhasilan nyata dalam mengelola proses pengadaan yang kompleks dan dinamis. Kombinasi kemampuan komunikasi persuasif, negosiasi yang adil, problem solving sistematis, adaptabilitas terhadap regulasi dan teknologi, kerjasama tim, manajemen waktu, kecerdasan emosional, etika profesional, resolusi konflik, serta literasi digital akan menjadikan setiap praktisi PBJ tidak hanya mampu mematuhi prosedur, tetapi juga menorehkan nilai tambah melalui layanan publik yang cepat, tepat, dan berintegritas. Dengan terus mengasah soft skill ini sekaligus memperkuat hard skill teknis, para ahli pengadaan dapat berkontribusi maksimal demi tercapainya pengadaan barang/jasa yang efisien, transparan, dan akuntabel bagi seluruh pemangku kepentingan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *