Etika Profesi dalam Dunia Pengadaan

Pendahuluan: Mengapa Etika Menjadi Syarat Utama dalam Pengadaan


Dalam setiap lini profesi yang berkaitan dengan distribusi sumber daya—termasuk dalam proses pengadaan barang dan jasa baik di sektor publik maupun swasta—etika profesi memegang peranan yang sangat penting. Etika profesi adalah seperangkat nilai, prinsip, dan norma yang menjadi pedoman perilaku bagi setiap pelaku profesi agar dapat bertindak dengan tanggung jawab, kejujuran, dan keadilan. Dalam konteks pengadaan, di mana nilai kontrak sering kali mencapai ratusan miliar rupiah dan melibatkan banyak pihak berkepentingan, etika profesi menjadi fondasi untuk menjamin bahwa setiap keputusan pengadaan tidak sekadar memenuhi kepentingan pihak tertentu, tetapi juga berorientasi pada kepentingan publik, efisiensi anggaran, dan keberlanjutan. Dengan menegakkan etika, proses pengadaan akan terhindar dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, menciptakan iklim persaingan sehat, serta menghasilkan produk dan layanan yang berkualitas sesuai kebutuhan masyarakat.

1. Landasan Hukum dan Pedoman Etika dalam Pengadaan

Sebelum membahas lebih jauh mengenai prinsip dan tantangan etika dalam pengadaan, penting untuk memetakan terlebih dahulu fondasi hukum dan kebijakan formal yang menjadi rujukan utama dalam membentuk kerangka etika profesi di sektor ini. Salah satu payung hukum utama yang menjadi acuan adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang kemudian mengalami penyempurnaan melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2021 dan terakhir oleh Perpres Nomor 46 Tahun 2024. Perpres ini tidak hanya mengatur aspek teknis pengadaan, tetapi juga secara eksplisit menekankan pentingnya integritas, akuntabilitas, dan transparansi sebagai prinsip dasar dalam setiap tahapan pelaksanaan pengadaan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai etika bukan hanya pelengkap, melainkan elemen struktural dari keseluruhan sistem pengadaan barang/jasa pemerintah.

Selain itu, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai otoritas teknis di bidang pengadaan telah menerbitkan berbagai pedoman, termasuk Peraturan Kepala LKPP yang mengatur tentang kode etik bagi pejabat pengadaan. Pedoman ini menetapkan standar moral yang wajib dipatuhi oleh semua pelaku pengadaan, seperti larangan menerima hadiah atau gratifikasi dalam bentuk apa pun dari pihak penyedia, kewajiban menjaga kerahasiaan informasi terkait proses tender, serta ketentuan tentang penghindaran konflik kepentingan. Dalam prakteknya, peraturan ini juga mengatur mekanisme pelaporan dan sanksi bagi pelanggaran etika, termasuk proses penanganan melalui unit kepatuhan internal.

Tak kalah penting adalah regulasi yang diterbitkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) yang mengatur jabatan fungsional pengadaan barang/jasa. Regulasi ini mewajibkan setiap pejabat fungsional pengadaan untuk memiliki sertifikat kompetensi, baik dari skema Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) maupun dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) di bawah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sertifikasi ini bukan hanya penanda penguasaan teknis, melainkan juga simbol komitmen terhadap nilai-nilai etika profesi.

Jika seluruh perangkat hukum dan pedoman ini dijalankan secara konsisten dan menyeluruh, maka akan terbentuk sebuah ekosistem pengadaan yang profesional, berintegritas, dan terbebas dari praktik menyimpang. Namun, hal ini hanya akan terwujud apabila seluruh pelaku pengadaan memahami bahwa regulasi tersebut bukan sekadar formalitas administratif, melainkan pedoman moral yang harus ditaati dalam keseharian praktik kerja.

2. Prinsip-Prinsip Etika dalam Pengadaan

Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, terutama yang bersumber dari keuangan negara atau daerah, penerapan prinsip-prinsip etika adalah suatu keniscayaan. Etika bukan hanya menjadi pedoman perilaku pribadi bagi setiap individu, tetapi juga menjadi filter kelembagaan yang memastikan bahwa seluruh proses berjalan secara adil, transparan, dan akuntabel. Ada lima prinsip fundamental yang umumnya dijadikan tolok ukur dalam menilai praktik etika pengadaan, yaitu: transparansi, akuntabilitas, non-diskriminasi, keadilan, dan independensi.

  • Transparansi menuntut agar seluruh proses pengadaan, mulai dari identifikasi kebutuhan, perencanaan anggaran, penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK), pelaksanaan pemilihan penyedia, hingga pengelolaan kontrak dapat diakses secara terbuka atau setidaknya tersedia untuk proses audit. Transparansi ini tidak sebatas formalitas publikasi Rencana Umum Pengadaan (RUP) di aplikasi SiRUP, tetapi juga mencakup penyediaan informasi teknis secara lengkap kepada semua peserta tender agar mereka dapat bersaing secara setara.
  • Akuntabilitas mengharuskan setiap pejabat pengadaan bertanggung jawab penuh terhadap setiap keputusan yang diambil, baik yang bersifat administratif maupun substantif. Akuntabilitas juga mencakup kewajiban mendokumentasikan seluruh proses secara rapi dan sistematis, termasuk nota dinas, berita acara evaluasi, justifikasi teknis, dan notulen klarifikasi. Dengan demikian, jika suatu saat terjadi audit oleh BPK, BPKP, atau Inspektorat Daerah, maka bukti pertanggungjawaban dapat dengan mudah ditelusuri dan diverifikasi.
  • Non-diskriminasi adalah prinsip yang menjamin bahwa seluruh penyedia yang memenuhi syarat berhak memperoleh perlakuan yang setara. Kriteria evaluasi harus berbasis pada parameter objektif seperti kapasitas teknis, pengalaman, harga, dan waktu pelaksanaan, tanpa mempertimbangkan afiliasi politik, hubungan personal, atau kedekatan emosional. Ini mencegah terjadinya “pengaturan pemenang” yang sering kali menjadi celah penyalahgunaan kewenangan.
  • Keadilan bermakna bahwa proses harus berjalan dengan proporsionalitas, tidak memihak, dan memberi ruang pembelaan kepada penyedia yang merasa dirugikan. Dalam konteks ini, mekanisme sanggah menjadi elemen penting yang harus dihormati sebagai bagian dari due process.
  • Independensi mengharuskan pejabat pengadaan bersikap netral dan bebas dari pengaruh eksternal, baik dari penyedia, atasan, maupun kekuatan politik. Jika terjadi potensi konflik kepentingan—misalnya memiliki hubungan keluarga dengan peserta lelang—maka yang bersangkutan harus segera mengundurkan diri dari tim pengadaan.

Kelima prinsip ini harus dijalankan secara konsisten, tidak cukup hanya dalam dokumentasi atau SOP, tetapi juga dalam praktik harian di lapangan. Etika yang dijalankan sebagai kebiasaan akan menjadi karakter organisasi.

3. Tantangan Etika dalam Praktik Pengadaan

Meskipun norma dan prinsip etika sudah tertuang dalam berbagai regulasi dan pedoman, kenyataannya pelaksanaan di lapangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dunia pengadaan kerap kali dihadapkan pada tantangan yang kompleks, baik dari faktor internal maupun eksternal. Tantangan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh aspek psikologis, politis, dan struktural yang membutuhkan kepekaan tinggi dari setiap pelaku pengadaan.

  • Konflik kepentingan, yaitu kondisi di mana pejabat pengadaan memiliki keterkaitan pribadi atau profesional dengan peserta penyedia barang/jasa. Konflik ini bisa berupa hubungan keluarga, kemitraan bisnis sebelumnya, atau bahkan kedekatan sosial. Tanpa mekanisme mitigasi yang efektif—seperti deklarasi konflik kepentingan dan sistem rotasi personel—situasi ini berisiko tinggi menimbulkan keputusan yang tidak objektif dan merugikan instansi maupun publik.
  • Praktik gratifikasi dan suap, yang dalam banyak kasus muncul secara halus dan terstruktur. Bentuknya bisa berupa pemberian “tanda terima kasih”, undangan makan malam, tiket perjalanan, hingga pemberian fasilitas tertentu sebelum atau setelah pengumuman pemenang. Meskipun sudah ada ketentuan yang melarang gratifikasi, tidak semua pelaku pengadaan mampu menolaknya, terutama jika tidak ada budaya organisasi yang mendukung sikap tersebut. Dalam konteks ini, integritas pribadi menjadi benteng utama untuk menolak tawaran tidak sah tersebut.
  • Tekanan politik atau manajerial juga menjadi tantangan serius. Tidak jarang pejabat pengadaan mendapat intervensi dari pimpinan daerah, anggota DPRD, atau pejabat struktural untuk mempercepat proses lelang, memilih penyedia tertentu, atau menyusun spesifikasi “pesanan”. Tekanan seperti ini memaksa pelaku pengadaan berada dalam dilema etika: antara patuh pada perintah atasan atau mempertahankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Jika tidak ada perlindungan struktural, seperti perlindungan pelapor (whistleblower), pelaku pengadaan akan cenderung memilih jalan kompromi yang bisa berujung pada pelanggaran serius.
  • Minimnya pengawasan internal, baik dari Satuan Pengawasan Internal (SPI) maupun APIP, juga membuka ruang bagi pelanggaran etika. Tanpa audit berkala, risiko manipulasi data, pengadaan fiktif, atau mark-up harga menjadi lebih sulit terdeteksi. Bahkan dalam beberapa kasus, unit pengawasan sendiri justru terlibat dalam pembiaran atau kompromi yang melemahkan fungsi kontrol.
  • Kerangka regulasi yang terus berubah. Setiap perubahan Perpres atau Peraturan LKPP memerlukan pemahaman dan penyesuaian cepat dari para pelaksana. Jika tidak segera difasilitasi dengan pelatihan atau diskusi reguler, pejabat pengadaan bisa salah tafsir atau bahkan secara sengaja memanfaatkan celah hukum untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Oleh karena itu, mengatasi tantangan-tantangan ini memerlukan sinergi lintas sektor—antara unit pengadaan, manajemen puncak, SPI, unit hukum, hingga lembaga eksternal seperti KPK, BPKP, dan Ombudsman. Selain itu, pembudayaan nilai integritas sejak pelatihan dasar hingga jabatan fungsional senior sangat penting agar etika tidak hanya menjadi jargon, melainkan menjadi bagian utuh dari identitas profesi pengadaan.

4. Membangun Budaya Etika dalam Organisasi

Membangun budaya etika dalam sebuah organisasi, khususnya yang bergerak di sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah, tidak bisa dilakukan secara instan atau bersifat top-down semata. Proses ini memerlukan intervensi yang terencana, berlapis, dan melibatkan seluruh level organisasi—dari manajemen puncak, pejabat pelaksana pengadaan, hingga masyarakat penerima manfaat program. Budaya etika akan tumbuh jika nilai-nilai etis tidak hanya diajarkan tetapi juga diinternalisasi dan dijadikan bagian dari keseharian operasional, baik secara formal dalam bentuk kebijakan maupun informal dalam kebiasaan dan teladan.

  • Penyusunan kode etik internal yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik instansi. Meskipun telah tersedia panduan kode etik nasional dari LKPP atau regulasi kementerian terkait, setiap instansi perlu merumuskan sendiri versi lokal yang lebih aplikatif dan kontekstual, termasuk menyesuaikan dengan tantangan khas daerah, pola interaksi internal, serta potensi risiko etika yang berulang. Kode etik internal ini harus memuat penjabaran nilai-nilai utama seperti kejujuran, objektivitas, integritas, dan tanggung jawab, serta skenario pelanggaran yang relevan berikut sanksi dan prosedur penanganannya.
  • Menyediakan pelatihan dan sosialisasi rutin, bukan hanya dalam format sertifikasi kompetensi teknis, tetapi juga melalui workshop etika, simulasi kasus nyata, dan forum diskusi lintas jabatan. Tujuannya bukan sekadar mengenalkan aturan, tetapi mendorong refleksi moral, keberanian mengambil keputusan sulit, dan kemampuan mengelola dilema etika. Pelatihan ini perlu dirancang dengan pendekatan partisipatif, seperti studi kasus (case method) dan kuis kepatuhan, agar peserta lebih aktif berpikir dan berdiskusi.
  • Mekanisme whistleblowing yang aman dan terpercaya, agar pelanggaran etika yang terjadi dapat dilaporkan oleh siapa pun tanpa rasa takut atau ancaman balasan. Sistem ini bisa berupa hotline telepon, kanal email terenkripsi, aplikasi pengaduan online, atau kotak pengaduan tertutup yang diakses langsung oleh unit pengawasan internal. Lebih penting lagi, pelaporan harus ditindaklanjuti secara transparan dan tepat waktu agar tidak menimbulkan kekecewaan atau apatisme pelapor.
  • Unit pengawasan internal (SPI atau APIP) dengan sumber daya manusia yang berintegritas, kompeten, dan memiliki independensi penuh. Mereka harus diberikan wewenang untuk melakukan audit etik, investigasi internal, dan evaluasi kebijakan pengadaan secara menyeluruh. Hasil audit dan evaluasi ini tidak boleh hanya berhenti di atas kertas, melainkan menjadi dasar penyempurnaan SOP, pembinaan pejabat pengadaan, dan perbaikan sistem.
  • Reward and punishment. Budaya etika tidak akan tumbuh bila organisasi bersikap netral terhadap pelanggaran. ASN atau pejabat pengadaan yang terbukti menjaga etika secara konsisten layak diberi apresiasi dalam bentuk penghargaan, promosi, atau insentif. Sebaliknya, pelanggaran harus diberi sanksi yang proporsional—mulai dari teguran lisan, pencabutan jabatan, hingga pelaporan kepada aparat hukum sesuai dengan tingkat pelanggaran.
  • Keterlibatan publik dan transparansi eksternal, misalnya dengan mempublikasikan hasil audit singkat secara daring, menerima masukan dari asosiasi penyedia, LSM, maupun masyarakat umum, serta membangun kemitraan pengawasan dengan media dan lembaga independen. Ketika etika tidak hanya menjadi urusan internal tapi juga diamati oleh masyarakat, maka kesadaran akan tanggung jawab moral menjadi lebih kuat dan luas cakupannya.

5. Peran Pemangku Kepentingan dalam Menjaga Etika

Dalam dunia pengadaan, menjaga etika bukanlah tugas yang bisa dipikul satu pihak saja. Justru sebaliknya, keberhasilan penerapan etika secara menyeluruh sangat bergantung pada kolaborasi antarpemangku kepentingan (stakeholders) yang memiliki pengaruh dan peran strategis masing-masing. Tiap aktor, baik dari dalam organisasi maupun dari luar, memiliki kontribusi spesifik dalam menciptakan ekosistem pengadaan yang bersih, adil, dan dapat dipercaya.

  • Manajemen puncak—baik kepala daerah, kepala dinas, ataupun direktur utama di BUMN/D—harus menjadi role model dalam penerapan etika. Mereka memiliki kekuatan simbolik yang besar; satu keputusan mereka bisa memberi pesan kuat tentang keseriusan organisasi dalam memberantas praktik menyimpang. Kepemimpinan yang etis akan memberi dampak sistemik: mulai dari penyusunan anggaran yang realistis, pemilihan SDM yang bersih, hingga sikap yang tidak mentolerir intervensi terhadap tim pengadaan. Manajemen juga harus mengalokasikan anggaran khusus untuk pelatihan etika, memperkuat unit pengawasan, dan memastikan ada jalur pelaporan yang aman.
  • Komite pengadaan dan LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) memiliki tanggung jawab dalam menjaga integritas proses teknis. Mereka harus memastikan bahwa sistem SPSE berjalan transparan, tidak bisa dimanipulasi, dan memiliki fitur audit trail yang dapat dilacak. SOP pengadaan harus disusun dengan mempertimbangkan aspek etika, seperti pelibatan tim teknis yang independen, prosedur klarifikasi tertulis, dan pengaturan rotasi pejabat secara periodik untuk mencegah terbentuknya kolusi jangka panjang.
  • Unit pengawasan internal seperti SPI dan APIP adalah pengawal utama etika internal. Tugas mereka tidak hanya melakukan audit keuangan, tetapi juga audit integritas: menilai pola pengambilan keputusan, transparansi dokumen, dan potensi penyimpangan yang tidak terlihat dalam laporan formal. Mereka juga perlu melaporkan temuan secara berkala dan menyusun rekomendasi konkret yang ditindaklanjuti oleh manajemen.
  • Penyedia barang dan jasa juga tidak luput dari tanggung jawab etika. Mereka harus menolak memberikan gratifikasi dalam bentuk apa pun, tidak menjanjikan hadiah kepada panitia, dan menjaga obyektivitas dalam proses klarifikasi dan negosiasi. Penyedia profesional justru harus menjadi bagian dari gerakan penguatan integritas—misalnya dengan melaporkan indikasi penyimpangan melalui kanal yang disediakan.
  • Masyarakat dan media massa berperan sebagai watchdog atau pengawas eksternal yang bisa melihat sisi-sisi tersembunyi dari proses pengadaan. Melalui laporan investigatif, forum komunitas, atau media sosial, masyarakat bisa mendorong transparansi, mengangkat dugaan pelanggaran, dan menekan lembaga pengadaan untuk berbenah.

Kerjasama lintas pemangku kepentingan inilah yang menjadikan pengadaan publik bukan sekadar urusan administrasi, tetapi ruang moral dan sosial yang harus dijaga bersama.

6. Studi Kasus: Pelanggaran Etika dan Dampaknya

Kasus nyata sering menjadi cermin yang tajam untuk menggambarkan bagaimana pelanggaran etika bisa berdampak luas dan berlapis, tidak hanya pada kerugian anggaran, tetapi juga pada kerusakan reputasi lembaga, kepercayaan publik, dan semangat kerja internal.

Kasus A: Gratifikasi dalam Tender Konstruksi
Sebuah kabupaten di wilayah timur Indonesia menghadapi sorotan nasional setelah pejabat pembuat komitmen (PPK) terbukti menerima komisi tersembunyi sebesar 5% dari nilai kontrak proyek jembatan, yang diserahkan dalam bentuk hadiah perjalanan dan uang tunai. Modusnya adalah menyusun dokumen lelang sedemikian rupa sehingga hanya satu penyedia yang bisa lolos—penyedia yang sudah “berkomitmen” secara diam-diam. Kasus ini terbongkar setelah audit investigatif BPK menemukan bahwa harga kontrak 20% lebih tinggi dari HPS riil dan pelaksanaan proyek tidak sesuai spesifikasi. Ombudsman RI merekomendasikan pembatalan proyek, dan KPK turun tangan untuk memeriksa lebih lanjut. Akibatnya, reputasi lembaga anjlok, masyarakat kehilangan kepercayaan, dan kepala daerah terpaksa merombak struktur tim pengadaan.

Kasus B: Konflik Kepentingan dalam Swakelola Desa
Di sebuah desa yang baru menerima Dana Desa tahap kedua, tim swakelola menunjuk rekanan untuk pembangunan jalan desa. Ternyata, perusahaan tersebut adalah milik kakak kandung kepala desa. Walaupun proses ini dibungkus dengan dokumentasi formal, hasil pekerjaan buruk dan tidak memenuhi standar. BPKP mencatat kerugian dari sisi nilai manfaat dan administrasi, dan kepala desa dijatuhi sanksi berupa pemotongan dana insentif. Kasus ini menunjukkan bahwa etika harus ditegakkan hingga ke level terbawah pemerintahan, dan sistem swakelola bukan berarti bebas dari prinsip profesionalitas dan akuntabilitas.

7. Implikasi Pelanggaran Etika dalam Pengadaan

Ketika prinsip-prinsip etika diabaikan dalam pengadaan, efeknya tidak terbatas pada satu paket proyek saja, tetapi dapat merusak fondasi keuangan negara, kualitas pelayanan publik, hingga daya saing penyedia yang sehat. Kerugian finansial menjadi dampak paling kasat mata, mulai dari pemborosan anggaran, mark-up harga, pembayaran untuk pekerjaan fiktif, hingga kegagalan kontrak yang mengakibatkan keterlambatan layanan kepada masyarakat.

Namun yang lebih berbahaya adalah kerusakan kepercayaan publik, di mana masyarakat mulai meragukan integritas instansi dan merespon negatif terhadap program pemerintah secara keseluruhan. Ketidakpercayaan ini berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat dan penyedia profesional dalam proses pengadaan, yang pada gilirannya memicu penurunan kualitas kompetitor di pasar.

Selain itu, implikasi hukum dan administratif juga sangat berat. ASN yang terbukti melanggar bisa dikenai sanksi disiplin, dicopot dari jabatan, bahkan dituntut pidana korupsi. Penyedia yang terlibat bisa diblacklist dan dikenai denda sesuai ketentuan kontrak. Dalam jangka panjang, organisasi yang memiliki reputasi buruk akan kesulitan mendapatkan mitra kredibel.

8. Rekomendasi Praktis dalam Implementasi Etika

Untuk memperkuat pelaksanaan etika secara nyata dalam pengadaan, berikut sejumlah rekomendasi implementatif yang dapat dilakukan oleh instansi pemerintah:

  • Audit Etika Rutin: Integrasikan indikator etika ke dalam Key Performance Indicator (KPI) pengadaan, seperti kepatuhan SOP, jumlah sanggahan yang masuk, dan efektivitas penanganan pelanggaran.
  • Pelatihan Simulatif: Selenggarakan pelatihan berbasis simulasi, seperti permainan peran (role-play) dalam kasus gratifikasi, tekanan politik, atau konflik kepentingan, sehingga pejabat terbiasa merespon secara etis dalam situasi nyata.
  • Sistem Pelaporan Terintegrasi: Gabungkan fitur whistleblowing, helpdesk, dan audit trail dalam sistem SPSE atau platform pengadaan digital lainnya, dengan keamanan data yang kuat dan pelaporan yang responsif.
  • Rotasi Pejabat Pengadaan: Terapkan rotasi PPK, Pokja, dan tim teknis secara berkala untuk mencegah terbangunnya relasi tidak sehat dengan penyedia tertentu.
  • Dialog Publik: Adakan forum penyedia (vendor forum) dan pertemuan publik (town hall) secara rutin untuk menjelaskan kinerja pengadaan, menerima masukan, dan membangun budaya transparansi dua arah.
  • Sanksi yang Tegas dan Adil: Terapkan sanksi etik dan hukum secara konsisten tanpa pandang jabatan. Ini penting untuk menunjukkan bahwa etika bukan sekadar wacana, melainkan bagian dari sistem yang harus ditegakkan.

Kesimpulan

Etika profesi adalah fondasi mutlak bagi setiap individu yang terlibat dalam proses pengadaan barang/jasa. Tanpa integritas, transparansi, dan akuntabilitas, proses pengadaan mudah disalahgunakan untuk kepentingan sempit, merugikan keuangan negara, dan menggerus kepercayaan masyarakat. Untuk itu, penerapan etika harus dilakukan secara menyeluruh: dari penyusunan kode etik dan pelatihan, dukungan manajemen puncak, penguatan SPI/APIP, hingga keterlibatan masyarakat sebagai pengawas eksternal.

Menjaga etika bukanlah beban tambahan, melainkan investasi strategis yang menjamin keberlangsungan dan keberhasilan pengadaan bagi kepentingan publik. Dengan menegakkan prinsip-prinsip etika secara konsisten—mulai dari self-assessment, audit internal, hingga kolaborasi lintas stakeholder—Procurement Specialist dapat menjadi garda terdepan dalam mewujudkan pengadaan yang bersih, efisien, dan akuntabel, memberikan manfaat nyata bagi pemerintahan dan masyarakat luas.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *