Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Dalam era digital yang semakin maju dan tuntutan masyarakat akan akuntabilitas pengelolaan anggaran publik yang kian meningkat, konsep Open Contracting muncul sebagai salah satu inovasi paling progresif dalam tata kelola pengadaan barang dan jasa (PBJ). Open Contracting, atau keterbukaan kontrak, bukan sekadar membuka dokumen kontrak kepada publik, melainkan membangun ekosistem data pengadaan yang terintegrasi, dapat diakses, dan dapat dianalisis oleh berbagai pemangku kepentingan—mulai dari instansi pemerintah, LSM, media, hingga masyarakat sipil. Dengan demikian, Open Contracting diharapkan mampu menjadi fondasi bagi transparansi menyeluruh, meminimalkan potensi kolusi, korupsi, dan nepotisme, serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pengadaan. Artikel ini akan menguraikan pengertian, manfaat, landasan hukum, implementasi teknis, tantangan, dan contoh aplikasi nyata Open Contracting di Indonesia, sekaligus menyajikan rekomendasi praktis untuk menjadikan keterbukaan kontrak sebagai norma baku dalam PBJ.
Open Contracting adalah pendekatan reformasi yang mengubah paradigma pengadaan dari sistem yang sebelumnya tertutup dan eksklusif, menjadi sistem yang inklusif, transparan, dan partisipatif. Esensinya bukan sekadar membuka data kontrak kepada publik, tetapi menciptakan proses pengadaan yang dapat diawasi bersama dan didukung oleh ekosistem data yang saling terhubung. Pendekatan ini mengakui bahwa pengadaan barang dan jasa menyangkut kepentingan publik secara langsung, karena berkaitan dengan penggunaan dana negara untuk layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, keterbukaan bukan hanya pilihan moral, melainkan kewajiban demokratis.
Open Contracting menekankan keterbukaan sejak tahap awal perencanaan hingga tahap akhir evaluasi pelaksanaan. Ruang lingkupnya mencakup lima pilar besar yang saling berkaitan dan membentuk siklus informasi yang utuh:
a. Publikasi Data Perencanaan (Planning)
Keterbukaan tahap awal dimulai dari publikasi Rencana Umum Pengadaan (RUP) yang mencakup rincian kebutuhan barang/jasa, alokasi anggaran yang direncanakan, serta justifikasi prioritas. Data ini tidak hanya penting bagi penyedia untuk bersiap mengikuti tender, tetapi juga bagi masyarakat sipil dan media untuk memahami fokus pembangunan pemerintah. Dengan keterbukaan ini, praktik “pengadaan dadakan” atau pengadaan yang sengaja dikondisikan menjadi lebih mudah dikenali dan dicegah.
b. Keterbukaan Data Tender (Bidding)
Pada tahap ini, semua dokumen yang digunakan dalam proses pemilihan penyedia—seperti Kerangka Acuan Kerja (KAK), spesifikasi teknis, dokumen pemilihan, dan jadwal tender—harus dipublikasikan secara daring. Tujuannya agar peserta tender mendapatkan informasi yang adil dan setara, serta untuk mencegah perubahan mendadak dalam dokumen yang merugikan peserta tertentu. Proses evaluasi pun bisa diaudit dan ditinjau ulang dengan lebih objektif.
c. Pengumuman Hasil Pemilihan (Award)
Tahap award menjadi sangat krusial karena menyangkut keputusan akhir: siapa pemenang tender, berapa nilai kontraknya, dan berapa lama durasi pelaksanaannya. Dalam banyak kasus penyimpangan pengadaan, ketidakterbukaan pada tahap ini menyebabkan kecurigaan publik meningkat. Dengan Open Contracting, masyarakat dapat membandingkan antara harga penawaran dan HPS, memverifikasi apakah pemenang benar-benar memenuhi kriteria, dan menganalisis kecenderungan dominasi penyedia tertentu dalam proyek pemerintah.
d. Pelaporan Pelaksanaan Kontrak (Implementation)
Salah satu keunggulan utama Open Contracting adalah menuntut keterbukaan tidak berhenti pada saat kontrak ditandatangani. Justru, pelaksanaan kontrak—mulai dari progres fisik, termin pembayaran, perubahan atau adendum kontrak, hingga hasil audit internal dan eksternal—harus dapat diakses. Dengan data ini, masyarakat dapat menilai efektivitas pelaksanaan proyek, dan pemerintah daerah dapat melakukan intervensi dini jika terdapat keterlambatan atau pelanggaran kontrak.
e. Evaluasi dan Umpan Balik (Feedback Mechanism)
Siklus pengadaan ditutup dengan keterbukaan pada tahap evaluasi. Pemerintah harus membuka diri terhadap masukan dari penyedia, LSM, warga terdampak, hingga auditor. Feedback ini bisa dikumpulkan melalui kanal digital (seperti form umpan balik di website), forum diskusi publik, atau pelaporan masyarakat secara anonim. Di sinilah prinsip partisipasi dan akuntabilitas benar-benar diwujudkan.
Dengan sistem data yang terbuka dan mengikuti Open Contracting Data Standard (OCDS), seluruh tahap ini tidak hanya terdokumentasi, tapi juga bisa dianalisis secara otomatis menggunakan algoritma atau aplikasi. Hasilnya, kebijakan pengadaan bisa diarahkan dengan berbasis data yang valid dan komprehensif.
Walau pendekatan Open Contracting terbilang baru sebagai istilah populer, prinsip-prinsip dasarnya sudah termuat dalam sejumlah regulasi pengadaan di Indonesia. Kebijakan ini tidak datang tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari rangkaian reformasi panjang untuk menata ulang sistem pengadaan publik yang dulunya kerap dianggap tidak efisien, rentan penyalahgunaan, dan minim akuntabilitas.
a. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 dan amandemennya—Perpres No. 12 Tahun 2021 dan Perpres No. 46 Tahun 2024—menjadi kerangka dasar hukum pelaksanaan PBJ Pemerintah. Dalam pasal-pasalnya ditegaskan bahwa pengadaan harus dilakukan secara transparan, akuntabel, efisien, dan terukur, serta mendorong partisipasi masyarakat. Ini adalah fondasi normatif dari prinsip Open Contracting.
b. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) juga memberi arah pelaksanaan teknis, termasuk kewajiban memublikasikan RUP melalui portal SiRUP, mengumumkan tender di SPSE, dan menyediakan akses publik terhadap dokumen lelang.
c. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) adalah payung hukum yang menjamin hak masyarakat untuk mengetahui informasi publik, termasuk pengadaan. Dengan UU ini, pejabat publik berkewajiban memberi informasi secara cepat, tepat, dan transparan.
d. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2017 tentang Aksi Pencegahan Korupsi juga mempertegas perlunya sistem pengadaan digital dan keterbukaan data kontrak sebagai strategi antikorupsi nasional.
Selain kerangka hukum domestik, Indonesia juga terlibat dalam kerja sama internasional. Pemerintah telah menggandeng Open Contracting Partnership (OCP) dan Bank Dunia untuk mengadopsi Open Contracting Data Standard (OCDS). Ini memungkinkan data pengadaan Indonesia bisa disandingkan dengan data negara lain, menciptakan benchmarking global.
Dengan dasar hukum dan komitmen politik yang terus menguat, Open Contracting tidak hanya bisa diposisikan sebagai inovasi administratif, tetapi sebagai bagian dari agenda besar transparansi fiskal dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di Indonesia.
Implementasi Open Contracting bukan hanya soal membuka file PDF dokumen pengadaan. Ia berdampak luas pada berbagai dimensi—dari efisiensi anggaran, integritas proses, hingga kualitas layanan publik. Jika dilaksanakan dengan konsisten dan menyeluruh, Open Contracting dapat menjadi game changer dalam pengelolaan keuangan publik di Indonesia.
a. Meningkatkan Transparansi
Keterbukaan informasi pengadaan memecah dinding kabut yang selama ini menyelimuti proses pemilihan penyedia. Ketika semua dokumen pengadaan dapat diakses dan diperiksa publik, potensi manipulasi atau pengondisian pemenang menjadi lebih kecil. Pejabat pengadaan pun akan lebih berhati-hati karena tahu setiap keputusan bisa ditelusuri.
b. Memperkuat Persaingan Usaha
Keterbukaan menciptakan level playing field bagi semua penyedia, termasuk pelaku UMK-Koperasi. Penyedia yang dulu merasa “tidak punya akses” kini bisa melihat peluang pengadaan secara real time dan menyiapkan diri. Hal ini akan meningkatkan jumlah peserta tender, memperluas kompetisi, dan menekan praktik kartel serta harga tidak wajar.
c. Meningkatkan Akuntabilitas dan Etika Publik
Open Contracting memungkinkan masyarakat dan media mengawal setiap tahapan. Ketika proses diawasi banyak mata, pejabat dan penyedia cenderung akan lebih patuh pada aturan. Ini menciptakan iklim etika dan tanggung jawab yang lebih tinggi.
d. Mempercepat Respons dan Keputusan Pemerintah
Dengan data yang terkumpul secara real-time dan terstruktur, pimpinan daerah atau kementerian dapat langsung mengetahui jika suatu proyek terlambat, bermasalah, atau tidak sesuai spesifikasi. Ini mempermudah pengambilan tindakan korektif sebelum masalah membesar.
e. Memfasilitasi Inovasi dan Analisis Kebijakan Publik
Data terbuka memungkinkan pengembang aplikasi, peneliti, dan organisasi masyarakat sipil melakukan analisis data besar (big data). Mereka bisa membuat dashboard visual pengadaan, mendeteksi anomali harga, hingga membuat rekomendasi kebijakan berbasis data. Pemerintah pun bisa mengambil keputusan berdasarkan bukti (evidence-based policy).
f. Membangun Kepercayaan Publik dan Kredibilitas Pemerintah
Masyarakat akan lebih percaya kepada pemerintah jika bisa melihat bahwa anggaran digunakan dengan benar, tidak ada praktik suap atau nepotisme, dan proyek dijalankan sesuai kontrak. Kepercayaan ini penting sebagai modal sosial dan politik untuk program-program pemerintah berikutnya.
Secara keseluruhan, Open Contracting bukan sekadar alat teknokratis. Ia adalah pendekatan transformasional yang memadukan teknologi, regulasi, dan partisipasi publik dalam satu sistem yang transparan dan berkelanjutan. Implementasinya secara serius akan membawa Indonesia lebih dekat pada tata kelola pengadaan yang bersih, efisien, dan berorientasi pada pelayanan publik yang berkualitas.
Agar Open Contracting dapat berjalan efektif, dibutuhkan standar teknis yang jelas serta platform teknologi yang mendukung:
Keberhasilan Open Contracting tidak hanya ditentukan oleh semangat transparansi, tetapi juga sangat bergantung pada fondasi teknis yang kokoh. Tanpa infrastruktur teknologi yang tepat dan standar data yang seragam, inisiatif ini dapat terjebak dalam sekadar formalitas tanpa dampak nyata. Oleh karena itu, implementasi Open Contracting memerlukan ekosistem digital yang mendukung, mulai dari struktur data, sistem pengelolaan, hingga antarmuka pengguna publik.
a. Open Contracting Data Standard (OCDS)
OCDS merupakan tulang punggung teknis dari Open Contracting. Dikembangkan oleh Open Contracting Partnership (OCP), standar ini menyusun format data pengadaan menjadi struktur JSON (JavaScript Object Notation) atau CSV (Comma-Separated Values) yang dapat diproses mesin (machine-readable). Dalam OCDS, setiap tahap siklus pengadaan—dari perencanaan (planning), tender, award, kontrak, hingga implementasi—diwakili dalam elemen dan atribut data yang seragam. Dengan struktur ini, data dari berbagai instansi atau daerah menjadi interoperable, artinya bisa digabung, dibandingkan, dan dianalisis bersama.
b. Portal Data Terbuka (Open Data Portal)
Setiap lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah, disarankan memiliki portal data terbuka yang menyajikan dataset OCDS secara publik. Portal ini harus dilengkapi dengan fungsi pencarian, pengunduhan dataset dalam berbagai format, visualisasi grafik sederhana, dan metadata yang menjelaskan isi data. Beberapa daerah bahkan telah mengembangkan fitur API publik untuk mengundang developer eksternal membangun inovasi berbasis data pengadaan.
c. API SPSE Terbuka dan Integratif
Salah satu terobosan paling strategis adalah membuka Application Programming Interface (API) dari sistem SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik). Dengan protokol API yang terbuka dan terdokumentasi, pihak ketiga seperti LSM, jurnalis data, peneliti, maupun pengembang startup dapat membangun dashboard pelaporan masyarakat, peta interaktif lokasi proyek, atau notifikasi kontrak bermasalah yang membantu pengawasan publik secara lebih tajam.
d. Dashboard Analitik Terpadu
Instansi pengadaan dapat memanfaatkan platform Business Intelligence (BI) seperti Superset, Power BI, atau Metabase untuk menyajikan laporan pengadaan secara visual dan real-time. Indikator yang dapat dimasukkan antara lain: jumlah paket tender per SKPD, nilai kontrak vs HPS, tingkat partisipasi penyedia lokal, dan waktu penyelesaian kontrak. Informasi ini penting sebagai alat pengambilan keputusan berbasis data di tingkat pimpinan.
e. Integrasi Lintas Sistem Pemerintahan
Keterbukaan kontrak menjadi semakin kuat jika data pengadaan terhubung dengan sistem lain seperti: SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) untuk anggaran dan pelaporan; SIMDA/BMN untuk aset; dan SIAP untuk pengawasan internal. Integrasi ini memastikan alur data tidak berhenti di silo, melainkan mengalir antarinstansi untuk memperkuat pengawasan, efisiensi, dan kontrol.
Dengan membangun infrastruktur teknis yang terstandarisasi, Open Contracting tidak lagi sekadar jargon, melainkan menjadi praktik kerja baru yang mempercepat transformasi pengadaan menuju era digital yang lebih akuntabel.
Seperti halnya inisiatif reformasi lainnya, penerapan Open Contracting juga menghadapi berbagai kendala, baik dari sisi teknis, kelembagaan, hingga budaya kerja. Tantangan-tantangan ini tidak boleh dianggap sebagai alasan untuk mundur, melainkan sebagai indikator area yang perlu diperkuat melalui pendekatan multi-strategi.
a. Kapasitas Teknis SDM Pengadaan
Banyak unit pengadaan di daerah menghadapi keterbatasan sumber daya manusia dalam bidang teknologi informasi. Staf PBJ belum dibekali keterampilan untuk memformat data OCDS, menyiapkan API, atau membangun dashboard visualisasi.
Solusi: Pemerintah pusat dan LKPP perlu mengadakan bootcamp teknis, program mentoring digital, dan membuka program magang terbuka untuk mahasiswa TI agar membantu daerah mengembangkan infrastruktur OCDS.
b. Kualitas Data yang Tidak Siap Digunakan
Data pengadaan masih banyak tersedia dalam format PDF, bahkan hasil scan, yang menyulitkan ekstraksi otomatis. Ini menghambat otomasi dan akurasi publikasi data terbuka.
Solusi: Terapkan kebijakan digital-first, mewajibkan penginputan langsung data terstruktur sejak awal, dan tinggalkan dokumen non-machine-readable untuk data pengadaan penting.
c. Resistensi Budaya Organisasi
Sebagian besar pejabat pengadaan masih terbiasa dengan sistem kerja tertutup dan merasa keterbukaan informasi menimbulkan risiko. Mereka khawatir jika data disalahgunakan atau menimbulkan “keributan”.
Solusi: Sosialisasi intensif perlu dilakukan, termasuk dengan menampilkan testimoni daerah sukses, workshop bersama KPK, dan pemberian insentif transparansi agar budaya tertutup berubah menjadi terbuka secara bertahap.
d. Masalah Infrastruktur Digital di Daerah
Tidak semua daerah memiliki koneksi internet yang memadai, apalagi server lokal yang andal untuk mendukung akses publik ke portal data.
Solusi: Gunakan layanan cloud hosting nasional, optimalkan penggunaan CDN (Content Delivery Network), dan sediakan pendamping teknologi lokal untuk pengelolaan rutin.
e. Keberlanjutan Inisiatif
Inisiatif Open Contracting yang lahir dari proyek donor atau kerja sama internasional seringkali berhenti setelah pendanaan habis, terutama di daerah.
Solusi: Harus ada komitmen kebijakan permanen, integrasi ke dalam anggaran APBD/APBN, serta pengawasan oleh Ombudsman dan KPK agar program ini terus berlanjut dan mendapat pengawalan bersama.
Dengan memetakan tantangan dan merumuskan solusi berbasis kontekstual, implementasi Open Contracting dapat ditingkatkan secara sistemik dan berkelanjutan, tidak hanya menjadi proyek jangka pendek.
Beberapa daerah dan kementerian telah mengadopsi prinsip Open Contracting dengan pendekatan yang berbeda-beda. Studi kasus berikut menunjukkan bahwa, ketika komitmen dan teknologi bersatu, dampak positif bisa langsung dirasakan:
a. Kabupaten X di Jawa Barat
Kabupaten ini meluncurkan portal pengadaan berbasis OCDS pada awal 2023. Mereka menggunakan API SPSE untuk menampilkan seluruh paket pengadaan secara terbuka, lengkap dengan dokumen tender, HPS, dan progres pelaksanaan. Dalam enam bulan pertama:
b. BPKD Yogyakarta
Mengintegrasikan data SPSE dan SIPD ke dalam dashboard monitoring real-time yang dapat dilihat langsung oleh kepala daerah. Ketika progres proyek terlambat, sistem akan mengirim notifikasi otomatis. Hasilnya, keterlambatan pembayaran kontrak menurun hingga 25%.
Fitur menarik lainnya adalah peta digital yang menunjukkan lokasi fisik proyek dan status penyelesaiannya—memudahkan pengawasan lapangan dan komunikasi dengan warga.
c. Kementerian PUPR dan Open Contracting Partnership
Kementerian ini menggandeng OCP untuk mengembangkan API terbuka yang bisa dimanfaatkan developer membuat aplikasi masyarakat. Dalam waktu dua tahun, muncul lebih dari 15 aplikasi pemantauan proyek, mulai dari pelaporan jalan rusak berbasis GPS, analisis kualitas air, hingga pelacakan progres jembatan.
Inisiatif ini memperlihatkan potensi crowdsourcing sebagai instrumen pengawasan proyek yang melibatkan publik secara langsung.
Studi-studi ini membuktikan bahwa Open Contracting bisa diterapkan bukan hanya di level nasional, tetapi juga di daerah dengan sumber daya terbatas, selama ada komitmen politik, kemitraan strategis, dan dukungan teknologi.
Agar Open Contracting tidak hanya menjadi “pilot project” di beberapa daerah, tetapi menjelma sebagai standar nasional pengadaan yang terbuka, beberapa langkah praktis perlu diambil secara sistemik:
a. Kebijakan Nasional yang Tegas dan Wajib
LKPP atau Kementerian PAN-RB dapat mengeluarkan Peraturan Menteri atau Surat Edaran Nasional yang mewajibkan publikasi data pengadaan dalam format OCDS bagi seluruh K/L/D. Ini menandai Open Contracting sebagai bagian dari reformasi birokrasi dan bukan sekadar inisiatif opsional.
b. Capacity Building yang Masif dan Terdesentralisasi
Program pelatihan pengadaan selama ini terlalu fokus pada regulasi dan teknis penginputan SPSE. Sudah saatnya dilakukan pelatihan khusus OCDS, open data governance, dan visualisasi data pengadaan, terutama di daerah 3T. Lokakarya bersama pengembang lokal juga penting untuk mendorong inovasi dari bawah.
c. Insentif dan Pengakuan Kinerja
Pemerintah dapat memberikan penghargaan “Open Contracting Champion” bagi daerah dengan keterbukaan terbaik, serta menyertakan indikator keterbukaan data dalam penilaian kinerja kepala daerah atau reformasi birokrasi.
d. Forum Kolaborasi Nasional
Dibutuhkan wadah diskusi terbuka antara pemerintah, sektor TI, media, akademisi, dan masyarakat sipil. Forum ini bisa berbentuk Open Contracting Network Indonesia (OCNI) yang aktif mengadakan pertemuan berkala, berbagi praktik baik, dan mengawal implementasi bersama.
e. Monitoring dan Evaluasi Berkala yang Diumumkan ke Publik
Setiap enam bulan, LKPP atau Ombudsman dapat merilis Laporan Keterbukaan Kontrak Nasional, yang berisi tingkat keterbukaan data, kualitas dokumen, dan indeks kepuasan publik terhadap pengadaan. Ini memberi tekanan moral dan politik agar daerah terus memperbaiki kinerjanya.
Dengan lima langkah tersebut, Open Contracting dapat ditransformasikan dari sekadar eksperimen teknis menjadi strategi nasional reformasi pengadaan yang berdampak luas bagi efisiensi anggaran dan kepercayaan publik.
Open Contracting membawa harapan baru bagi reformasi transparansi pengadaan barang dan jasa di Indonesia dengan menciptakan ekosistem data terbuka yang memungkinkan partisipasi publik, akuntabilitas pejabat, dan analisis independen. Dengan landasan regulasi yang kian lengkap, standar teknis OCDS, serta inisiatif percontohan yang menjanjikan, keterbukaan kontrak bisa menjadi norma baku. Meskipun menghadapi tantangan kapasitas, budaya, dan infrastruktur, solusi strategis—mulai dari kebijakan wajib, pelatihan skala besar, hingga insentif—dapat mendorong adopsi Open Contracting secara merata. Jika dijalankan konsisten, Open Contracting tidak hanya meminimalkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, tetapi juga mempercepat pengambilan keputusan, meningkatkan kualitas barang/jasa publik, serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan demikian, keterbukaan kontrak adalah langkah awal menuju tata kelola pengadaan yang lebih bersih, efisien, dan akuntabel bagi seluruh rakyat Indonesia.