Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Pemberdayaan penyedia lokal—termasuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), koperasi, dan unit usaha swakelola desa—merupakan ujung tombak keberlanjutan ekonomi daerah, pendorong penciptaan lapangan kerja, serta sarana penguatan kemandirian finansial komunitas. Namun di banyak daerah, penyedia lokal masih sering terpinggirkan dalam rantai pengadaan pemerintah karena keterbatasan kapasitas, modal, akses pasar, maupun regulasi yang kurang mendukung. Sebagai respons, pemerintah daerah perlu merancang “blueprint” komprehensif yang mengintegrasikan kebijakan, program, dan kemitraan strategis untuk memberdayakan penyedia lokal secara berkelanjutan. Artikel ini menguraikan kerangka pemikiran, landasan hukum, tantangan, best practices, dan strategi terperinci bagi pemerintah daerah untuk memberdayakan penyedia lokal sehingga dapat bersaing, berinovasi, dan tumbuh selaras dengan agenda pembangunan daerah.
Penyedia lokal, yang sebagian besar terdiri dari pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), merupakan fondasi dasar struktur ekonomi daerah. Mereka menjalankan fungsi vital dalam menyerap tenaga kerja lokal, menyebarkan nilai tambah ekonomi di dalam wilayah, serta memperkuat rantai pasok di sektor-sektor strategis seperti pangan, konstruksi ringan, tekstil, logistik, dan jasa. Dalam banyak kasus, penyedia lokal adalah pihak pertama yang merasakan dampak perubahan ekonomi nasional dan global—baik dalam bentuk tekanan maupun peluang.
Di sektor pertanian, misalnya, petani lokal yang tergabung dalam koperasi menjadi penyedia bahan pangan untuk sekolah-sekolah atau rumah sakit daerah. Di sektor manufaktur ringan, produsen lokal menyediakan seragam pegawai atau alat tulis kantor untuk OPD. Di sektor jasa, pelaku usaha lokal menawarkan katering, event organizer, hingga pelatihan peningkatan kapasitas ASN. Semua ini menunjukkan bahwa penyedia lokal tidak hanya berperan sebagai pelengkap, tetapi juga sebagai ujung tombak kemandirian ekonomi daerah.
Pentingnya mendukung penyedia lokal semakin nyata ketika dikaitkan dengan multiplier effect yang mereka hasilkan. Setiap rupiah yang dibelanjakan kepada penyedia lokal akan berputar kembali ke dalam perekonomian daerah melalui konsumsi lokal, investasi usaha, dan peningkatan daya beli masyarakat. Ini berbanding terbalik dengan belanja ke penyedia luar daerah atau nasional, yang sering kali menarik dana keluar dari wilayah tersebut dan tidak memberi efek ekonomi berkelanjutan secara lokal.
Komitmen Indonesia terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) memberi landasan kuat bagi pengarusutamaan penyedia lokal dalam pengelolaan belanja pemerintah. Pemberdayaan penyedia lokal secara langsung mendukung:
Dengan demikian, pengutamaan penyedia lokal bukan semata-mata kebijakan ekonomi, melainkan strategi pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan berdampak sistemik.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam mengelola urusan pembangunan ekonomi dan pengelolaan belanja daerah. Hal ini membuka ruang strategis bagi daerah untuk menyusun kebijakan afirmatif terhadap penyedia lokal.
Salah satu pilar penggeraknya adalah kebijakan pengadaan pemerintah. Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (yang telah mengalami beberapa perubahan hingga Perpres 46/2025) memberikan landasan hukum yang jelas dalam hal:
Dengan kata lain, pemerintah daerah tidak hanya berwenang, tetapi juga wajib memberdayakan penyedia lokal sebagai bagian dari tanggung jawab pembangunan daerah. Hal ini juga sejalan dengan semangat Nawacita dan Visi Indonesia 2045 yang menekankan pentingnya kemandirian ekonomi berbasis potensi lokal.
Ketika pemerintah daerah memilih penyedia lokal dalam setiap proses pengadaan, dampak berganda yang ditimbulkan sangat luas dan mendalam. Beberapa efek positif tersebut antara lain:
Efek-efek ini tidak akan tercapai secara maksimal jika pemerintah daerah hanya menjadi “penonton” dalam arena pengadaan, atau membiarkan belanja publik dikuasai oleh penyedia dari luar daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang terarah dan kolaboratif untuk menjadikan penyedia lokal sebagai mitra utama pembangunan.
Salah satu argumen yang kerap dilupakan dalam kebijakan pengadaan adalah bahwa mengutamakan penyedia lokal sebenarnya juga berkontribusi terhadap kesehatan fiskal daerah. Ketika penyedia lokal mendapatkan kontrak pengadaan, mereka akan membayar pajak daerah, retribusi, dan menciptakan aktivitas ekonomi yang menghasilkan PDRB dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sebaliknya, kontrak yang dimenangkan oleh penyedia dari luar daerah berisiko memperlebar defisit fiskal daerah karena pengeluaran tidak diimbangi oleh penerimaan lokal. Dalam jangka panjang, ketergantungan terhadap penyedia luar juga meningkatkan biaya ekonomi karena tingginya biaya logistik, waktu pengiriman, dan kompleksitas pengawasan.
Belanja publik yang strategis, inklusif, dan berbasis penyedia lokal adalah salah satu cara paling cepat dan konkret untuk memperkuat siklus fiskal yang sehat: dari belanja pemerintah → pertumbuhan penyedia lokal → peningkatan PAD → kapasitas fiskal daerah → pembangunan layanan publik.
Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP), yang telah mengalami beberapa revisi melalui Perpres No. 12 Tahun 2021 dan Perpres No. 46 Tahun 2025, menjadi tulang punggung reformasi pengadaan di Indonesia. Regulasi ini tidak hanya mengatur mekanisme teknis pengadaan, tetapi juga menjadi alat intervensi strategis untuk mendorong perekonomian nasional dan daerah, melalui keberpihakan terhadap Produk Dalam Negeri (PDN) dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Kewajiban untuk mengalokasikan belanja negara dan daerah kepada penyedia lokal tercermin dalam ketentuan terkait penggunaan produk ber-TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Dalam beberapa sektor strategis, nilai minimal TKDN ditetapkan sebesar 60–70% untuk barang dan 50–60% untuk jasa. Ini berarti pemerintah daerah harus mengutamakan produk dan jasa dari pelaku lokal yang memenuhi nilai kandungan dalam negeri. Tidak hanya itu, pengaturan metode pemilihan penyedia (misalnya penunjukan langsung, pengadaan langsung, tender cepat) juga telah disesuaikan agar lebih inklusif bagi UMKM lokal.
Selain itu, ada pula ketentuan tentang paket usaha kecil, yaitu paket pengadaan dengan nilai maksimal Rp15 miliar yang wajib diperuntukkan bagi pelaku usaha kecil dan koperasi kecil, kecuali untuk pengadaan yang memerlukan teknologi tinggi atau bersifat strategis. Perpres ini juga mendorong optimalisasi e-katalog lokal dan sektoral, membuka ruang seleksi penyedia berdasarkan lokasi usaha dan klasifikasi usaha.
Dengan demikian, pemerintah daerah tidak hanya berperan sebagai pelaksana regulasi, tetapi juga sebagai penggerak ekonomi lokal dengan cara menerjemahkan kebijakan nasional ke dalam strategi operasional yang konkret dan berpihak pada penyedia lokal.
Sejalan dengan kerangka desentralisasi, banyak daerah telah menyusun dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemberdayaan UMKM dan Koperasi, yang menjadi landasan formal pemberian dukungan fiskal, teknis, dan kelembagaan kepada penyedia lokal. Perda ini biasanya memuat ketentuan tentang:
Pemerintah daerah dapat memperkuat muatan Perda tersebut melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada) atau instruksi kepala daerah, yang bertujuan menyempurnakan pelaksanaan teknis PBJ di level daerah. Misalnya, beberapa kepala daerah menurunkan ambang batas penunjukan langsung bagi UMKM menjadi lebih rendah daripada batas nasional agar lebih banyak UMKM bisa berpartisipasi dalam pengadaan tanpa melalui tender.
Untuk mempercepat pemberdayaan penyedia lokal, diperlukan sinergi antara regulasi dan kebijakan operasional yang lebih spesifik. Instrumen-instrumen berikut menjadi katalis penting:
Sebagian besar penyedia lokal masih beroperasi secara informal atau semi-formal, tanpa memiliki sistem pembukuan yang memadai, SOP operasional, atau struktur organisasi yang profesional. Banyak yang belum familiar dengan dokumen penawaran, spesifikasi teknis, atau dokumen administrasi tender, seperti SIUP, NPWP, SPT tahunan, dan laporan keuangan.
Selain itu, pelaku usaha mikro dan kecil sering tidak mampu mengikuti prosedur audit atau verifikasi kelayakan, terutama jika proyek pengadaan memerlukan ketentuan ISO, TKDN, atau sertifikat mutu tertentu.
UMKM lokal umumnya memiliki modal kerja terbatas, dan kerap kesulitan memenuhi kebutuhan awal proyek, seperti pembelian bahan baku, pembayaran gaji pekerja, atau biaya operasional awal. Hal ini diperparah oleh:
Meskipun memiliki produk berkualitas, banyak penyedia lokal kesulitan menembus pasar pemerintah karena:
SPSE dan sistem e-procurement lainnya masih dianggap kompleks bagi pelaku usaha kecil. Banyak di antara mereka tidak memahami terminologi teknis (misalnya, HPS, LDP, LKPP), jadwal pengadaan, serta mekanisme evaluasi penawaran. Hal ini menyebabkan rendahnya partisipasi dan tingginya angka kegagalan administrasi tender.
Di sisi internal pemerintah, masih ada budaya birokrasi yang kurang suportif terhadap pelibatan UMKM, dengan alasan efisiensi atau kemudahan pelaksanaan proyek. Beberapa pejabat pengadaan menganggap penyedia lokal tidak profesional atau tidak bisa memenuhi standar mutu dan waktu. Stigma ini menurunkan motivasi UMKM untuk mencoba masuk ke pasar pengadaan pemerintah.
Masalah geografis dan infrastruktur menjadi hambatan tersendiri, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Keterbatasan akses jalan, distribusi logistik, serta jaringan internet berdampak langsung pada biaya operasional, kecepatan layanan, dan kapasitas UMKM lokal untuk melayani pengadaan dengan volume besar dan tenggat waktu ketat.
Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, diperlukan pendekatan terintegrasi yang mencakup pelatihan, kelembagaan, permodalan, dan regulasi afirmatif.
Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam menciptakan ekosistem pengadaan yang ramah dan berpihak pada penyedia lokal. Tujuan dari kebijakan afirmatif ini bukan semata mempercepat realisasi belanja daerah, tetapi juga untuk memastikan bahwa anggaran pemerintah mampu menjadi katalis pertumbuhan ekonomi lokal. Tiga pendekatan utama—preferensi dalam katalog, ambang batas pengadaan langsung, dan kuota UMKM dalam tender terbuka—merupakan tulang punggung kebijakan afirmatif yang patut terus dievaluasi dan disempurnakan.
Salah satu terobosan utama yang banyak dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengembangkan E‑Katalog Lokal, yakni katalog digital yang hanya menampilkan produk atau jasa dari penyedia yang berdomisili di wilayah tersebut. Ini menjadi solusi konkret untuk meningkatkan visibilitas dan daya saing UMKM lokal, terutama di tengah dominasi vendor besar dalam katalog nasional.
Halaman Khusus Produk Lokal—misalnya, “Produk Unggulan Jawa Barat” atau “UMKM Bali”—memungkinkan pejabat pengadaan menyaring secara otomatis penyedia yang relevan secara geografis. Ini mempercepat proses identifikasi dan pengambilan keputusan, sekaligus memastikan bahwa belanja pemerintah langsung berdampak pada perekonomian lokal.
Lebih lanjut, sistem SPSE atau e-Procurement yang telah terintegrasi dengan e‑Katalog bisa mengadopsi labelisasi “Lokal”, sebuah fitur kecil namun berdampak besar. Dengan label ini, evaluator atau PPK dapat dengan mudah membedakan penyedia lokal dari non-lokal. Dalam beberapa kasus, label tersebut disertai dengan badge tambahan, seperti “UMKM Lokal Berpengalaman” atau “Penyedia Lokal dengan Sertifikat Kualitas”.
Kebijakan ini juga perlu dibarengi dengan regulasi yang jelas, misalnya Peraturan Kepala Daerah yang menyatakan bahwa untuk pembelian barang konsumsi, ATK, atau jasa kebersihan, pejabat pengadaan harus memberikan preferensi 10–20% poin evaluasi bagi penyedia lokal—selama memenuhi persyaratan teknis minimal.
Pengadaan langsung merupakan pintu masuk paling realistis bagi UMKM lokal untuk belajar berkontrak dengan pemerintah. Namun, tingginya ambang batas nilai kadang membuat proyek-proyek kecil diambil oleh vendor besar yang sudah mapan. Oleh karena itu, beberapa daerah telah menerapkan penurunan ambang batas untuk pengadaan langsung bagi UMKM lokal, misalnya dari Rp 200 juta menjadi Rp 50 juta, untuk memastikan hanya usaha kecil yang relevan yang berpartisipasi.
Kebijakan afirmatif ini diperkuat dengan simplifikasi persyaratan administrasi, seperti tidak mewajibkan laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik untuk paket di bawah Rp 100 juta. Sebagai gantinya, cukup disertakan laporan kas sederhana atau neraca internal. Hal ini membuka ruang bagi UMKM mikro dan ultra mikro untuk tetap ikut serta tanpa beban administratif berlebihan.
Lebih lanjut, beberapa pemda telah mengintegrasikan tools verifikasi cepat, seperti integrasi dengan OSS dan Nomor Induk Berusaha (NIB), agar proses evaluasi administrasi berlangsung otomatis. Tujuannya: meminimalisir penolakan akibat dokumen yang tidak substansial.
Dalam pengadaan skala besar, UMKM lokal sering tertinggal dari segi kapasitas, modal, dan pengalaman. Untuk menjembatani ketimpangan ini, banyak pemerintah daerah mulai menerapkan kebijakan kuota partisipasi UMKM. Contohnya, mewajibkan bahwa dari seluruh peserta tender, minimal 30–50% berasal dari pelaku usaha lokal terverifikasi. Kebijakan ini disertai dengan ketentuan tentang pembagian paket kerja yang sesuai dengan skala UMKM.
Selain kuota, sistem evaluasi penawaran juga mulai diubah dari sekadar penawaran terendah menjadi evaluasi berbasis nilai (value for money). Salah satu instrumen yang dipakai adalah sistem poin tambahan. Misalnya, penyedia lokal yang memiliki sertifikat pelatihan dari lembaga resmi akan mendapatkan tambahan skor 5 poin pada aspek teknis.
Bentuk lain afirmasi adalah kewajiban subkontrak kepada UMKM lokal, yaitu perusahaan besar yang memenangkan tender harus menggandeng mitra lokal untuk pelaksanaan sebagian pekerjaan. Hal ini memastikan aliran dana dan pengalaman tetap menyentuh usaha kecil di daerah.
Di tingkat desa, strategi pemberdayaan penyedia lokal bisa lebih eksplisit dan langsung. Salah satu pendekatan efektif adalah mengembangkan Program Swakelola Desa, yang mendorong proyek-proyek infrastruktur dan sosial dikelola langsung oleh desa, dengan melibatkan BUMDes, kelompok usaha warga, dan UMKM setempat sebagai pelaksana kegiatan.
Untuk memastikan pelibatan ini berjalan efektif, dashboard seperti SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) dikembangkan untuk memantau realisasi belanja yang melibatkan penyedia lokal, termasuk nama pelaku usaha, jenis pekerjaan, dan besaran kontrak. Data ini menjadi alat kendali dan dasar evaluasi atas komitmen desa dan kecamatan terhadap penguatan ekonomi lokal.
Revolusi digital telah membuka peluang besar bagi UMKM untuk bersaing dalam dunia pengadaan. Pemerintah daerah yang visioner tak hanya menyediakan ruang offline, tetapi juga menciptakan ekosistem online dan berbasis data untuk menginkubasi penyedia lokal secara berkelanjutan.
Salah satu inovasi penting adalah membangun portal digital terpadu untuk UMKM, semacam one-stop-shop di mana semua kebutuhan informasi dan layanan terintegrasi. Portal ini tidak hanya berisi pengumuman paket pengadaan, tetapi juga mencakup fitur:
Lebih lanjut, aplikasi mobile dari portal tersebut memungkinkan notifikasi otomatis ketika tender lokal dibuka, bahkan menyediakan modul chatbot AI untuk menjawab pertanyaan umum terkait SPSE atau dokumen tender.
Data menjadi senjata utama dalam merancang kebijakan afirmatif yang tepat sasaran. Pemerintah daerah kini mulai menggunakan dashboard data analytics yang menampilkan kinerja UMKM lokal berdasarkan berbagai indikator:
Melalui informasi ini, pemda dapat mengidentifikasi kelemahan umum dan merancang pelatihan berbasis kebutuhan nyata. Misalnya, jika banyak penyedia gagal karena HPS terlalu rendah, maka dapat diadakan pelatihan penyusunan harga berbasis analisis biaya lokal atau menggunakan tools market intelligence.
Pemerintah daerah juga mulai membangun platform e-commerce lokal yang menghubungkan UMKM dengan konsumen, baik publik maupun sektor swasta. Platform ini berbeda dari marketplace nasional karena menyasar produk spesifik lokal, seperti makanan khas, kerajinan tangan, jasa kebersihan lokal, dan alat tulis kantor produksi daerah.
Lebih penting lagi, e-commerce ini berfungsi sebagai laboratorium UMKM untuk belajar e-marketing, logistik digital, dan manajemen transaksi online. Pemerintah dapat menyediakan modul pelatihan digital marketing, pengelolaan media sosial, serta pengiriman barang last-mile dengan mitra logistik lokal.
Pemberdayaan penyedia lokal tidak dapat dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri. Butuh orkestrasi banyak pihak—akademisi, sektor swasta, LSM, lembaga pembiayaan, hingga masyarakat sipil—agar intervensi kebijakan tidak bersifat sporadis atau sektoral, tetapi saling memperkuat secara ekosistemik.
Salah satu forum inovatif adalah Forum Koordinasi Pemberdayaan Ekonomi Lokal, yang melibatkan berbagai pihak dari OPD pengadaan, dinas koperasi, asosiasi pengusaha daerah, perguruan tinggi vokasi, dan LSM pendamping UMKM. Forum ini menjadi tempat penyusunan:
Di sisi lain, sektor swasta besar didorong melalui skema CSR Terpadu, misalnya perusahaan tambang atau manufaktur di daerah menyisihkan anggaran pelatihan, bantuan alat produksi, atau fasilitas logistik bagi UMKM yang ingin naik kelas.
Ketimpangan antarwilayah sering menjadi penghambat berkembangnya rantai pasok lokal. Oleh karena itu, lahir inisiatif Aliansi Daerah untuk Rantai Pasok Regional, yakni kerja sama antar kabupaten/kota untuk menyesuaikan potensi penyedia dengan kebutuhan pengadaan. Misalnya, daerah A penghasil bahan baku, daerah B pengolah, dan daerah C konsumen.
Praktik ini diperkuat melalui program studi tiru dan lokakarya antar-pemda, di mana keberhasilan satu daerah bisa direplikasi oleh yang lain, seperti sistem e-katalog lokal berbasis domain provinsi, penyusunan SOP pemberdayaan UMKM, atau platform pelaporan keterlibatan penyedia lokal.
Akses modal adalah hambatan klasik UMKM dalam pengadaan. Banyak vendor lokal yang tidak punya cukup kas untuk membiayai proyek sebelum pembayaran termin. Solusinya: kerjasama pemerintah daerah dengan lembaga pembiayaan alternatif, seperti:
Pemberdayaan penyedia lokal tidak cukup dilakukan sekali jalan. Agar hasilnya berdampak jangka panjang, pemerintah daerah harus membangun mekanisme monitoring dan evaluasi (M&E) yang sistematis. Evaluasi bukan hanya alat kontrol, tetapi menjadi kompas strategis untuk menjaga keberlanjutan dan akuntabilitas program.
Indikator kinerja utama adalah tolok ukur keberhasilan. Untuk program pemberdayaan penyedia lokal, indikator ini harus spesifik, terukur, dan konsisten dilacak secara berkala. Beberapa KPI yang relevan antara lain:
Audit bukan sekadar alat pemeriksaan keuangan, tetapi bagian dari ekosistem transparansi dan peningkatan kualitas tata kelola program.
M&E akan mandek jika tidak ditindaklanjuti. Oleh karena itu, perlu adanya sistem umpan balik dan perbaikan berkelanjutan.
Dengan kombinasi indikator kinerja, audit, dan feedback lapangan, program pemberdayaan penyedia lokal dapat terus disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika aktual.
Untuk memberi gambaran konkret, berikut adalah beberapa contoh nyata pemerintah daerah yang berhasil menjalankan strategi pemberdayaan penyedia lokal secara inovatif dan terukur.
Kabupaten X menciptakan food park sebagai kawasan kuliner terintegrasi yang dikhususkan untuk UMKM makanan. Lahan kosong milik pemerintah dimanfaatkan sebagai tempat permanen untuk tenant kuliner lokal, disertai infrastruktur dasar seperti air, listrik, dan Wi-Fi.
Strategi kebijakan:
Hasil:
Inisiatif ini menciptakan rantai pasok lokal yang berkelanjutan dan memperkuat kedaulatan ekonomi daerah.
Kota Y, yang memiliki potensi kerajinan tinggi, membangun portal “Made in Y”—e-marketplace lokal yang menampilkan produk UMKM kerajinan unggulan. Dinas UKM membentuk tim pendamping yang memberikan pelatihan khusus:
Untuk mendorong kepercayaan pasar, setiap produk mendapatkan QR code yang terhubung ke profil produsen.
Dampak:
Sentra ini menunjukkan bahwa dengan digitalisasi, penyedia lokal dapat naik kelas dan bersaing global.
Provinsi Z menginisiasi pembentukan konsorsium 100 BUMDes untuk mengolah singkong menjadi tepung mocaf. Fasilitasi dilakukan mulai dari penyuluhan teknis, pembangunan mesin pengolahan, hingga pembentukan badan hukum koperasi.
Pemprov kemudian memprioritaskan konsorsium ini untuk memenuhi kebutuhan tepung di sektor publik, terutama untuk:
Keberhasilan:
Studi ini menunjukkan bahwa intervensi strategis pemerintah dapat mendorong penyedia lokal menjadi motor ekonomi desa.
Untuk mereplikasi keberhasilan daerah-daerah tersebut, berikut adalah rekomendasi sistematis yang dapat diadopsi oleh pemerintah daerah lain:
Memberdayakan penyedia lokal adalah strategi win-win: meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat sekaligus memperkuat belanja publik yang tepat sasaran. Keberhasilan program pemberdayaan UMKM dan penyedia lokal tidak hanya diukur dari kuantitas—berapa banyak kontrak yang diberikan—tetapi juga kualitas—bagaimana mereka tumbuh, berinovasi, dan mampu menjaga kontinuitas. Kerangka kebijakan yang komprehensif, didukung regulasi yang peka pada kebutuhan UMKM, pendampingan teknis, akses pembiayaan, digitalisasi, dan kemitraan multi-stakeholder akan membentuk ekosistem pengadaan daerah yang inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah daerah yang konsisten menerapkan strategi ini akan menuai manfaat berlipat: peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), penurunan pengangguran, perbaikan daya saing industri lokal, dan terwujudnya kemandirian ekonomi berbasis komunitas yang kuat—membawa kemakmuran bagi seluruh lapisan masyarakat.