Mudahkah Belanja Pengadaan untuk Produk Dalam Negeri

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya pemerintah Indonesia untuk mengutamakan Produk Dalam Negeri (PDN) dalam setiap proses pengadaan barang/jasa telah semakin menguat seiring dengan diterbitkannya sejumlah regulasi dan kebijakan afirmatif. Dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018, amandemennya—Perpres 12/2021 dan Perpres 46/2025—hingga berbagai kebijakan turunan di tingkat kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, seluruhnya menegaskan komitmen melakukan “belanja PDN” demi mendukung perekonomian lokal, meningkatkan daya saing manufaktur nasional, dan menciptakan lapangan kerja. Namun, menilik realitas di lapangan, pertanyaan besar muncul: Mudahkah belanja pengadaan untuk produk dalam negeri? Artikel ini akan membedah secara mendalam kerangka hukum, insentif, hingga tantangan teknis dan budaya yang memengaruhi implementasi PDN dalam pengadaan, serta menyajikan rekomendasi praktis agar dorongan beli PDN benar-benar terwujud secara konsisten dan efektif.

1. Dasar Regulasi dan Kebijakan PDN dalam Pengadaan

Pemerintah Indonesia telah membentuk fondasi regulatif yang kuat dalam mendorong penggunaan Produk Dalam Negeri (PDN) melalui sistem pengadaan barang/jasa. Perjalanan regulasi ini tidak berlangsung singkat. Dimulai dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kemudian diperbaharui oleh Perpres Nomor 16 Tahun 2018, hingga revisi mutakhir melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2021 dan Perpres Nomor 46 Tahun 2025, semua menunjukkan konsistensi dan penguatan komitmen untuk mendorong kemandirian industri nasional.

1.1 Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)

TKDN menjadi ukuran utama dalam menentukan sejauh mana sebuah produk dikategorikan sebagai produk dalam negeri. TKDN adalah persentase kandungan lokal dalam suatu produk, baik dari sisi bahan baku, tenaga kerja, hingga proses produksi yang dilakukan di Indonesia.

  • Dalam Perpres 16/2018 Pasal 26–28, pemerintah mewajibkan minimal TKDN 60% untuk barang dan 50% untuk jasa dalam pengadaan pemerintah.
  • Di bawah Perpres 46/2025, ambang ini ditingkatkan menjadi 70% untuk barang strategis (seperti alat kesehatan, mesin industri, dan teknologi informasi), serta 60% untuk jasa, terutama jasa konstruksi dan konsultansi.

Peningkatan ini bukan hanya administratif, melainkan menunjukkan bahwa pemerintah menginginkan sektor industri lokal naik kelas dan mampu bersaing dalam sistem pengadaan yang lebih transparan dan kompetitif. Sertifikat TKDN, yang harus dikeluarkan oleh lembaga terakreditasi seperti Sucofindo, Surveyor Indonesia, atau B4T, menjadi dokumen wajib dalam proses evaluasi pengadaan.

Nilai TKDN juga kini digunakan dalam sistem evaluasi berbasis value scoring. Artinya, meskipun harga penawaran lebih tinggi dari pesaing impor, produk dalam negeri dapat tetap menang tender jika nilai TKDN tinggi, karena bobot teknisnya diperhitungkan—misalnya, tambahan 15% bobot teknis jika nilai TKDN melebihi ambang minimal.

1.2 Syarat Administratif

Paket-paket pengadaan bernilai menengah hingga besar saat ini diwajibkan menyertakan dokumen Perhitungan TKDN sejak tahap perencanaan hingga pelaporan. Tanpa dokumen ini, sebuah penawaran akan gugur di tahap evaluasi administrasi, tidak peduli sebaik apapun penawaran lainnya.

Selain itu, terdapat beberapa bentuk insentif administratif dan finansial yang dirancang untuk mendorong implementasi PDN:

  • Kontrak jangka panjang atau perpanjangan otomatis dapat diberikan kepada penyedia yang menggunakan PDN dengan TKDN tinggi.
  • Penilaian kinerja unit kerja pengadaan turut mempertimbangkan tingkat penggunaan PDN, dan capaian target PDN akan tercermin dalam sistem e-monitoring seperti SiRUP dan SIKaP.

1.3 Kebijakan Turunan dan Inisiatif Pendukung

Tak hanya di tingkat nasional, kebijakan afirmatif untuk PDN juga dijabarkan dalam bentuk surat edaran dan program turunan di tingkat kementerian dan daerah:

  • Kementerian Dalam Negeri mendorong seluruh SKPD memasukkan porsi PDN dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) serta pengalokasian di APBD melalui SE Mendagri.
  • Kementerian Koperasi dan UKM menyediakan skema pembiayaan murah, pelatihan, serta pendampingan UMKM agar mampu memenuhi standar pengadaan pemerintah.
  • LKPP mengembangkan modul e-purchasing khusus PDN yang menampilkan prioritas produk lokal di katalog elektronik. Pengguna SPSE kini bisa memfilter dan membandingkan produk berdasarkan nilai TKDN.

Dengan infrastruktur hukum dan kelembagaan yang semakin lengkap ini, prioritas terhadap PDN bukan lagi wacana, melainkan keharusan normatif dalam setiap proses pengadaan pemerintah. Namun demikian, tanpa dukungan implementasi yang kuat dan perubahan pola pikir di tingkat pelaksana, regulasi ini masih berisiko tidak sepenuhnya terinternalisasi dalam praktik pengadaan harian.

2. Insentif dan Manfaat Utama Belanja PDN

Kebijakan belanja PDN tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan volume produksi dalam negeri, tetapi juga membawa dampak ekonomi dan sosial jangka panjang yang signifikan. Manfaat ini tidak hanya dirasakan oleh penyedia, tetapi juga masyarakat luas dan negara secara keseluruhan.

2.1 Penguatan Rantai Pasok Lokal

Dengan menyerap produk dari industri lokal, pemerintah secara tidak langsung mendukung pengembangan ekosistem industri nasional. Dampaknya tidak hanya terjadi di ujung produksi, tetapi juga menjalar ke hulu:

  • Petani bahan baku, seperti karet, kelapa, atau logam, akan merasakan peningkatan permintaan karena industri lokal memperoleh pasar yang lebih pasti.
  • UMKM penyedia komponen, seperti packaging, spare part, dan subkontraktor, juga tumbuh karena industri besar lebih memilih pasokan lokal untuk memenuhi TKDN.

Proses ini memperpendek rantai distribusi, mengurangi ketergantungan pada importir, serta menurunkan biaya logistik nasional yang selama ini menjadi salah satu penghambat daya saing produk Indonesia.

2.2 Penyerapan Tenaga Kerja

Industri lokal—khususnya sektor manufaktur, tekstil, kerajinan, dan jasa konstruksi—bersifat padat karya, artinya menyerap banyak tenaga kerja.

  • Setiap peningkatan belanja PDN Rp 1 triliun dapat menyerap hingga 10.000–15.000 tenaga kerja baru, terutama di wilayah dengan tingkat pengangguran tinggi.
  • Sebaliknya, pembelian barang impor hampir tidak berdampak langsung pada penciptaan pekerjaan dalam negeri.

Hal ini menjadikan belanja PDN sebagai alat redistribusi pertumbuhan ekonomi yang adil dan inklusif.

2.3 Transfer Teknologi dan Peningkatan Kapasitas

Kolaborasi dengan produsen asing yang membuka cabang atau pabrik di Indonesia mendorong:

  • Transfer teknologi dan alih keahlian kepada tenaga kerja lokal.
  • Pelatihan teknis, pengembangan laboratorium pengujian, dan sertifikasi ISO/SNI.
  • Peningkatan mutu produk agar sesuai dengan standar internasional.

Dengan kata lain, program PDN menjadi insentif bagi pelaku industri untuk terus melakukan inovasi dan meningkatkan kapasitas produksi agar tidak hanya kompetitif di pasar lokal, tapi juga siap ekspor.

2.4 Mendorong Inovasi dan Daya Saing

Jika pasar dalam negeri didominasi oleh produk impor, maka UMKM lokal tidak memiliki dorongan untuk berkembang. Namun jika pemerintah menjadi pembeli utama PDN:

  • UMKM dan industri lokal akan mulai berinvestasi dalam riset dan pengembangan (R&D).
  • Terjadi peningkatan kualitas dan efisiensi produksi karena ada kepastian permintaan.

Kebijakan PDN menciptakan lingkaran inovasi—permintaan memacu peningkatan kualitas, dan peningkatan kualitas menghasilkan permintaan yang lebih besar.

2.5 Stabilisasi Ekonomi Daerah

Belanja PDN juga berfungsi sebagai alat stabilisasi fiskal daerah:

  • Dana APBN dan APBD yang dibelanjakan di daerah kembali berputar dalam ekonomi lokal.
  • Mengurangi ketergantungan pada barang impor berdampak pada penurunan tekanan terhadap nilai tukar rupiah, mengingat impor menjadi salah satu penyumbang defisit neraca transaksi berjalan.

Dengan begitu, kebijakan PDN tidak hanya menjadi alat industrialisasi, tetapi juga kebijakan makroekonomi yang menyeluruh dan strategis.

3. Proses Teknis dan Mekanisme Belanja PDN

Di tengah tuntutan efisiensi dan transparansi, sistem pengadaan modern harus mampu mengakomodasi PDN tanpa menyulitkan proses. Saat ini, Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) telah mengadopsi banyak fitur yang memudahkan pembeli pemerintah untuk memilih PDN, tetapi pemahaman teknis dan keterampilan praktis pengguna di lapangan masih menjadi tantangan.

3.1 Perencanaan (RUP dan DIPA)

Tahap ini sangat menentukan keberhasilan PDN. Jika sejak awal tidak dimasukkan ke dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA/DIPA), maka akan sulit memaksakan belanja PDN di tahap akhir.

  • Penyusun RUP perlu memahami potensi pasar lokal dan mengevaluasi data produk bersertifikasi TKDN sebelum menetapkan spesifikasi.
  • Analisis kelayakan harus mencakup apakah produk PDN tersedia secara massal, harganya kompetitif, dan kualitasnya dapat memenuhi standar.

Koordinasi antara Perencana Pengadaan, PPK, dan Tim Anggaran menjadi kunci keberhasilan tahap ini.

3.2 Penyusunan Spesifikasi Berbasis Kinerja

Masalah klasik dalam pengadaan adalah penyusunan spesifikasi yang tertutup dan mengarah pada merek tertentu—kondisi ini sering menghambat PDN masuk ke dalam proses pengadaan.

  • Dengan menerapkan performance-based specification, pengadaan menjadi lebih inklusif.
  • Misalnya, dibanding menuliskan “Printer Merek X”, sebaiknya dituliskan “Printer dengan kecepatan minimal 20 ppm, resolusi 1200 dpi, dan kapasitas kertas 250 lembar”.

Spesifikasi berbasis kinerja memberi kesempatan bagi penyedia lokal yang dapat memenuhi kriteria teknis, tanpa harus memiliki merek global.

3.3 Evaluasi dan Scoring

Tahap ini sangat menentukan keberpihakan terhadap PDN.

  • Sistem value scoring memungkinkan penilaian lebih holistik, bukan hanya berdasarkan harga terendah.
  • Penawaran dengan TKDN tinggi dapat diberi tambahan skor hingga 20% dalam komponen teknis.
  • Kombinasi TKDN, garansi layanan, kemudahan distribusi, dan dukungan purna jual menjadi pertimbangan dalam pemilihan pemenang.

Namun, ini membutuhkan kapasitas evaluator yang mumpuni dan bebas konflik kepentingan.

3.4 Pengadaan Langsung (Direct E-Purchasing)

Pengadaan bernilai kecil sering kali menjadi sumber peluang bagi UMKM dan PDN. Pemerintah telah menyederhanakan proses ini:

  • Ambang pengadaan langsung untuk PDN (khusus UMKM) bisa turun hingga Rp 50 juta.
  • Proses pembelian cukup menggunakan e-katalog lokal atau nasional, tanpa harus melalui tender panjang.
  • LKPP juga menyediakan fitur “Toko Daring Pemerintah” bagi UMKM untuk langsung memasukkan produknya secara daring.

Langkah ini memberi akses luas bagi pelaku lokal untuk terlibat dalam pengadaan.

3.5 Kontrak dan Pasca-Penyelesaian

Tahap akhir sangat penting untuk menjamin komitmen penyedia dalam menggunakan komponen lokal.

  • Kontrak harus mencantumkan pasal tentang kewajiban TKDN, dengan mekanisme pelaporan berkala.
  • Monitoring dilakukan melalui laporan triwulanan, laporan pelaksanaan kontrak, hingga kunjungan lapangan.
  • Jika terjadi penyimpangan, seperti produk yang ternyata impor, maka dapat dikenakan sanksi administrasi hingga pemutusan kontrak.

Melalui sistem audit internal dan eksternal (oleh BPKP atau Inspektorat), realisasi PDN bisa dievaluasi secara menyeluruh.

4. Tantangan Utama di Lapangan

Meskipun kerangka regulasi dan mekanisme teknis untuk mendukung belanja Produk Dalam Negeri (PDN) sudah disusun secara komprehensif, realisasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan struktural, teknis, hingga budaya. Tantangan ini menjadi hambatan signifikan bagi instansi pengadaan yang ingin secara konsisten mengalokasikan anggaran kepada produk lokal berkualitas.

4.1. Keterbatasan Data dan Informasi Pasar Lokal

Salah satu akar masalah utama adalah ketimpangan informasi. Banyak unit kerja dan tim perencanaan pengadaan kesulitan dalam mengakses informasi yang akurat, terkini, dan terverifikasi mengenai ketersediaan produk lokal yang memenuhi kriteria pengadaan.

  • Minimnya Direktori Terpadu: Tidak semua pemerintah daerah memiliki basis data komprehensif mengenai penyedia lokal dan produk bersertifikasi TKDN. Akibatnya, proses perencanaan sering melewatkan opsi lokal yang sebenarnya tersedia.
  • Kurangnya Integrasi Data: Sistem informasi antara Kementerian, Pemda, dan platform SPSE belum sepenuhnya terhubung secara dinamis, sehingga data penyedia lokal yang aktif dan kompeten tidak mudah diakses lintas sektor.

4.2. Kapasitas Produksi dan Sertifikasi Penyedia Lokal

Banyak penyedia produk lokal, khususnya UMKM, menghadapi hambatan struktural dalam memenuhi standar yang dipersyaratkan dalam pengadaan pemerintah.

  • Rendahnya Tingkat Sertifikasi: Sertifikat TKDN, ISO, SNI, dan dokumen administratif lainnya masih menjadi beban berat bagi UMKM. Proses sertifikasi cenderung mahal dan berbelit, tanpa dukungan teknis yang memadai.
  • Keterbatasan Skala Produksi: UMKM lokal sering tidak memiliki kapasitas produksi besar atau sistem kontrol mutu profesional. Hal ini membuat tim pengadaan ragu terhadap konsistensi kualitas dan ketepatan waktu pengiriman.

4.3. Persepsi Harga yang Kurang Kompetitif

Penyedia lokal cenderung kalah dalam evaluasi harga karena biaya produksi mereka relatif lebih tinggi dibandingkan produk impor yang telah mencapai skala ekonomi.

  • Skala Produksi Kecil: Biaya satuan barang dari UMKM atau industri lokal lebih tinggi karena belum menikmati efisiensi skala besar.
  • Kurangnya Insentif Pembobotan TKDN: Dalam praktiknya, nilai tambah dari komponen lokal tidak selalu cukup untuk menutup selisih harga, membuat penyedia PDN tersingkir dalam evaluasi akhir.

4.4. Resistensi Budaya dan Praktik Lama

Budaya kerja yang mengandalkan vendor lama dan spesifikasi tertutup (closed specification) masih mendominasi sebagian besar proses pengadaan.

  • Ketakutan atas Risiko Kualitas: Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) lebih nyaman memilih vendor besar yang dianggap lebih aman dan sudah terbiasa dalam pengadaan sebelumnya.
  • Minimnya Pelatihan Inklusif: Banyak tim pengadaan tidak diberikan pelatihan khusus mengenai strategi spesifikasi berbasis kinerja atau penggunaan filter TKDN dalam SPSE.

4.5. Kendala Infrastruktur dan Logistik

Daerah terpencil dan kabupaten-kabupaten luar Jawa mengalami tantangan infrastruktur yang menghambat kelancaran pengadaan PDN.

  • Distribusi Tidak Merata: Produk lokal sulit menjangkau lokasi proyek karena kondisi jalan, minimnya jasa logistik profesional, serta keterbatasan jaringan digital.
  • Kesenjangan Akses SPSE: Beberapa pelaku usaha lokal kesulitan berpartisipasi karena konektivitas internet yang buruk atau keterbatasan perangkat digital.

4.6. Monitoring dan Penegakan Lemah

Sistem pengawasan atas implementasi TKDN dan belanja PDN masih bersifat administratif, belum menyentuh aspek substantif di lapangan.

  • Minimnya Audit Fisik: Verifikasi TKDN jarang mencakup kunjungan lapangan atau inspeksi produksi, membuka celah untuk manipulasi data atau klaim fiktif.
  • Sanksi Tidak Tegas: Tidak semua pelanggaran atau ketidaksesuaian spesifikasi mendapatkan tindak lanjut hukum atau administratif yang tegas.

5. Best Practices dan Inisiatif Berhasil

Meskipun tantangan cukup kompleks, sejumlah daerah telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan belanja PDN melalui strategi inovatif, kolaboratif, dan berbasis teknologi. Inisiatif-inisiatif ini bisa menjadi referensi praktis bagi daerah lain.

5.1. Program Inkubasi Berskala

Kabupaten A menggagas model inkubasi terpadu bagi UMKM lokal. Program ini berkolaborasi dengan perguruan tinggi, BUMD, dan asosiasi pengusaha.

  • Fokus Sertifikasi dan Legalitas: UMKM peserta diberikan bimbingan teknis untuk mendapatkan sertifikasi TKDN, SNI, serta dokumen legal formal seperti NIB, NPWP, dan rekening giro.
  • Pendampingan Tender Langsung: Fasilitator mendampingi peserta dalam proses penginputan penawaran di SPSE dan perancangan HPS.

Hasilnya, dari 50 peserta tahun pertama, 30 berhasil memenangkan tender dengan total kontrak melebihi Rp 5 miliar.

5.2. Katalog Lokal Terintegrasi

Kota B membangun sistem e-Katalog lokal yang memuat daftar penyedia dan produk dengan sertifikasi lengkap. Platform ini terhubung ke SPSE dan mempermudah proses evaluasi berbasis TKDN.

  • Fitur Skoring Otomatis: Sistem memberikan skor otomatis berdasarkan parameter TKDN, harga, dan riwayat performa penyedia.
  • Peringkat Penyedia: Katalog ini juga menampilkan rating penyedia dari pengalaman sebelumnya, menciptakan insentif bagi penyedia untuk menjaga kualitas.

Dalam setahun, kota ini berhasil menaikkan belanja PDN dari 15% menjadi 35%.

5.3. Model Agregator BUMD

Provinsi C menggunakan BUMD untuk menghimpun pesanan dari seluruh SKPD, kemudian mengelolanya dalam satu kontrak besar dengan kelompok UMKM mitra.

  • Peningkatan Skala Ekonomi: Pesanan gabungan memungkinkan harga menjadi lebih kompetitif, dan proses produksi bisa dijadwalkan secara kolektif.
  • Penguatan Rantai Pasok Daerah: UMKM tidak perlu bersaing sendiri-sendiri, melainkan menjadi bagian dari jaringan logistik dan distribusi terpadu.

5.4. Festival dan Ekspo “Beli Lokal”

Pemprov D menggelar event tahunan bertajuk “Beli Lokal” yang menggabungkan bazar, workshop, dan sesi pertemuan bisnis antara UMKM dan tim pengadaan.

  • Koneksi Langsung: Kegiatan ini menjembatani kesenjangan informasi dan membangun kepercayaan antara penyedia dan pemerintah.
  • Pameran Inovasi Produk: UMKM diberi ruang menampilkan inovasi produk lokal yang sesuai dengan kebutuhan pengadaan, mendorong adaptasi dan profesionalisme.

6. Rekomendasi Praktis untuk Mempermudah Belanja PDN

Berikut strategi-strategi praktis yang bisa diterapkan pemerintah daerah dan pusat untuk mempercepat dan mempermudah realisasi belanja produk dalam negeri.

6.1. Penguatan Sistem Informasi dan Database Lokal

  • Portal “Satu Pintu PDN”: Mengintegrasikan direktori penyedia, sertifikasi TKDN, katalog produk, dan track record dalam satu platform terstandarisasi.
  • Integrasi SPSE dan SIPD: Akses SPSE seharusnya dapat langsung menampilkan pilihan penyedia lokal yang relevan, dengan filter berdasarkan lokasi, TKDN, dan jenis produk.

6.2. Sertifikasi Kolektif dan Mentor PDN

  • Fasilitasi Sertifikasi Massal: Pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan lembaga sertifikasi untuk memberikan subsidi biaya dan pelatihan teknis bagi UMKM secara massal.
  • Mentor Alumni: UMKM yang sukses dalam pengadaan PDN dapat dilibatkan sebagai mentor bagi calon peserta baru, memperkuat jejaring lokal dan transfer pengalaman.

6.3. Skema Insentif Harga dan Evaluasi

  • Peningkatan Bobot Teknis TKDN: Evaluasi penawaran perlu memberikan bobot lebih besar (hingga 25%) bagi produk dengan TKDN tinggi.
  • Bonus Volume: Jika SKPD berhasil membeli PDN di atas ambang tertentu, penyedia dapat memberikan diskon harga atau insentif tambahan (free maintenance, pelatihan, dll).

6.4. Dukungan Infrastruktur dan Logistik

  • Distribusi Terpadu: Pemerintah dapat memfasilitasi warehouse regional untuk penyimpanan produk PDN agar distribusi ke unit kerja lebih cepat dan hemat biaya.
  • Kerja Sama Logistik Khusus PDN: Menjalin MoU dengan logistik lokal untuk tarif preferensial pengiriman antardaerah.

6.5. Sosialisasi, Pelatihan, dan Edukasi Massal

  • Modul E-Learning Terintegrasi: Dikembangkan oleh LKPP dan BPSDM, memuat studi kasus pengadaan PDN, strategi penyusunan spesifikasi, dan penggunaan SPSE.
  • Roadshow Daerah: Mengunjungi SKPD di berbagai wilayah dan membuka stand konsultasi bagi UMKM serta penyedia lokal.

6.6. Monitoring, Evaluasi, dan Sanksi Tegas

  • Laporan Kinerja PDN: Setiap SKPD diwajibkan mempublikasikan capaian belanja PDN per semester, mencantumkan rasio penggunaan produk lokal.
  • Sanksi atas Pelanggaran TKDN: Penerapan sanksi administratif atau retender wajib jika ditemukan penyedia yang tidak memenuhi komitmen TKDN yang dijanjikan.

7. Kesimpulan

Belanja pengadaan untuk produk dalam negeri pada dasarnya telah difasilitasi oleh kerangka regulasi yang kuat, mekanisme teknis yang memadai, dan berbagai insentif nyata. Namun, di lapangan kendala seperti keterbatasan kapasitas penyedia lokal, resistensi budaya pengadaan, dan masalah infrastruktur menuntut intervensi lebih proaktif dan terintegrasi. Melalui best practices dari beberapa daerah, terlihat bahwa kombinasi digitalisasi, kemitraan lintas sektor, serta skema insentif efektif memperbesar porsi beli PDN.

Untuk menjawab pertanyaan “Mudahkah belanja pengadaan untuk produk dalam negeri?” jawabannya masih bersyarat. Jika pemerintah—baik pusat maupun daerah—mampu menuntun dengan kebijakan afirmatif, membangun ekosistem informasi dan pembiayaan, serta menegakkan konsekuensi bagi yang tidak taat, maka belanja PDN bukan lagi sekadar kewajiban, melainkan kesempatan strategis untuk memicu pertumbuhan ekonomi lokal yang inklusif, inovatif, dan berkelanjutan. Dengan demikian, belanja PDN akan mudah bukan hanya diukur dari proses administratif, tetapi lebih jauh dari dampak ekonomi riil di masyarakat: peningkatan kapasitas industri lokal, penyerapan tenaga kerja, serta munculnya innovator-innovator baru yang mengokohkan kemandirian bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *