Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) pemerintah merupakan tulang punggung pelaksanaan fungsi negara dalam pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur. Dalam era transparansi dan akuntabilitas, setiap tahapan PBJ dituntut berjalan sesuai prinsip-prinsip yang ditetapkan—efisiensi, transparansi, persaingan sehat, serta pemerataan kesempatan. Namun pada praktiknya, masih terdapat berbagai celah hukum yang dapat dimanfaatkan oknum untuk keuntungan pribadi atau golongan, sehingga mengancam integritas dan efektivitas proses pengadaan. Artikel ini akan mengulas secara mendalam enam aspek utama di mana celah hukum biasa muncul, dilengkapi dengan rekomendasi pencegahan dan perbaikan. Dengan memahami titik-titik rawan tersebut, pelaku PBJ—ASN, penyedia, dan pemangku kepentingan—dapat mengambil langkah proaktif untuk menghindari potensi maladministrasi, penyalahgunaan anggaran, dan risiko hukum yang merugikan negara.
Pengadaan Barang dan Jasa di Indonesia diatur melalui beberapa instrumen utama, yakni:
Meskipun regulasi tersebut komprehensif, kompleksitas kerangka hukum kerap menciptakan interpretasi beragam, sehingga membuka peluang bagi pihak tak bertanggung jawab untuk memanipulasi prosedur. Misalnya, perbedaan penafsiran istilah “kebutuhan mendesak” atau “kriteria teknis” terkadang dijadikan alasan pelemahan persaingan. Untuk meminimalkan interpretasi keliru, setiap unit pengadaan dituntut memiliki tim ahli hukum dan pengadaan yang memahami seluk-beluk regulasi secara holistik.
Dokumen Pengadaan (Rencana Umum Pengadaan/RUP atau dokumen tender) yang memuat spesifikasi teknis secara berlebihan atau dirancang agar hanya satu penyedia tertentu yang memenuhi syarat berpotensi melanggar prinsip persaingan sehat. Contohnya, menetapkan merek dagang spesifik atau parameter teknis eksklusif tanpa alasan teknis objektif.
Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau Owner’s Estimate yang tidak berdasarkan survei pasar terkini menimbulkan dua risiko: harga ditetapkan terlalu tinggi memberi ruang mark-up, atau terlalu rendah memicu pembatalan tender dan perpanjangan kontrak di luar mekanisme yang sah. HPS seharusnya disusun dengan kolaborasi antara tim tekhnik, anggaran, dan analis pasar, serta didukung data harga historis dan survei penawaran.
Pemangkasan durasi tahapan lelang (misalnya waktu pengumuman undangan dan waktu penawaran) untuk kepentingan target waktu tertentu membuka peluang kurangnya partisipasi penyedia. Kurangnya waktu memadai akan mengurangi jumlah penawar potensial, sehingga mengarah pada proses yang kurang kompetitif. Sebaliknya, jadwal yang terlalu panjang tanpa pengawasan bisa menjadi celah sogokan untuk menunda proses.
Rekomendasi Pencegahan:
Pejabat Pengadaan atau panitia lelang yang memiliki hubungan keluarga, bisnis, atau politik dengan peserta tender berisiko memanipulasi hasil evaluasi teknis dan harga. Selain itu, penggunaan “nilai bobot kriteria” yang kurang transparan atau tidak diumumkan sebelumnya dapat menimbulkan tuduhan intervensi.
Perpres 12/2021 mengatur berbagai metode pemilihan: tender umum, seleksi langsung, penunjukan langsung, dan e-catalog. Namun, seringkali metode penunjukan langsung disalahgunakan untuk proyek bernilai di atas batas maksimal tanpa alasan urgensi yang dibuktikan. Hal ini memotong proses persaingan dan mengurangi akuntabilitas.
Penyedia yang menawarkan harga sangat jauh di bawah HPS kerap dicurigai akan melakukan penghematan kualitas atau menambah biaya di masa kontrak. Meskipun sistem SPSE mewajibkan klarifikasi terhadap ALP, praktik klarifikasi yang tidak tuntas atau dokumen pendukung yang setengah jadi masih terjadi.
Rekomendasi Pencegahan:
Addendum kontrak sering menjadi pintu masuk penambahan nilai kontrak di luar persetujuan awal. Tanpa perencanaan matang, perubahan ini dapat digunakan untuk memperbesar anggaran tanpa prosedur pengadaan ulang.
Dokumen Berita Acara Serah Terima (BAST) yang tidak dilengkapi Laporan Hasil Uji (LHU) atau laporan uji kinerja menciptakan peluang penyelesaian barang/jasa yang tidak sesuai spesifikasi. Tanda tangan langsung tanpa inspeksi lapangan oleh tim teknis berkontribusi pada kualitas pekerjaan yang buruk.
Penyedia terkadang mengeluhkan lambatnya proses pencairan termin sebagai taktik memaksa penurunan harga post-contract atau pemangkasan volume. Hal ini tidak hanya merugikan soliditas keuangan penyedia, tetapi juga potensi klaim denda dan arbitrase yang memakan waktu dan biaya.
Rekomendasi Pencegahan:
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat, dan Kejaksaan memiliki kewenangan berbeda dalam pengawasan PBJ. Kelemahan kolaborasi dan tumpang tindih kewenangan sering menyebabkan kasus korupsi atau maladministrasi tidak ditindaklanjuti secara tuntas.
Meski mekanisme whistleblowing telah diatur dalam Peraturan LKPP, perlindungan saksi dan kejelasan proses tindak lanjut masih minim, sehingga banyak pelapor enggan menggunakan saluran resmi.
Perpres 12/2021 membuka opsi penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Badan Arbitrase. Namun, biaya dan waktu arbitrase cenderung tinggi, sehingga pihak terdampak sering mengalah dan tidak menuntut haknya.
Rekomendasi Pencegahan:
Implementasi SPSE telah meningkatkan transparansi, namun pemanfaatan big data untuk mendeteksi anomali harga, pola kolusi, dan risiko fraud masih terbatas. Penerapan algoritma machine learning dapat menganalisis ratusan ribu transaksi PBJ dan memberikan peringatan dini.
Pelatihan berkelanjutan bagi pejabat pengadaan, inspektur internal, dan aparat penegak hukum diperlukan untuk memperbarui pengetahuan regulasi, metode investigasi digital, dan etika profesi. Sertifikasi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dan LKPP harus diintegrasikan ke dalam kriteria jabatan.
Masyarakat sipil, asosiasi usaha, serta akademisi dapat membentuk forum independen yang memantau jalannya PBJ, meneliti tren korupsi, dan menyusun rekomendasi kebijakan. Dialog reguler antara pemerintah dan sektor swasta meminimalkan miskomunikasi spesifikasi dan kriteria teknis.
Regulasi PBJ harus dievaluasi setiap dua tahun untuk menyesuaikan dengan dinamika pasar, perkembangan teknologi, dan temuan praktik terbaik (best practices) internasional. Uji publik dan konsultasi lintas sektor menjadi prasyarat sebelum perubahan diundangkan.
Celah hukum dalam PBJ tumbuh subur akibat tumpang tindih regulasi, kelemahan pengawasan, dan minimnya pemanfaatan teknologi. Dari perencanaan hingga penyelesaian sengketa, terdapat titik-titik rawan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi. Untuk menutup celah tersebut, diperlukan pendekatan terpadu: penyederhanaan dan harmonisasi regulasi, digitalisasi proses, penguatan SDM, serta kolaborasi lintas lembaga dan sektor. Dengan langkah-langkah preventif dan inovatif, kita tidak hanya menghindari penyimpangan, tetapi juga meningkatkan efisiensi, kualitas, dan akuntabilitas PBJ, demi tercapainya layanan publik yang unggul dan pembangunan nasional yang berkelanjutan.