Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Perubahan batasan nilai pada Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) dalam Peraturan Presiden (Perpres) terbaru adalah langkah strategis yang diambil pemerintah untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengadaan publik. Dengan merevisi ambang batas nilai untuk berbagai metode pemilihan—tender, e-purchasing, dan penunjukan langsung—Perpres terbaru tidak hanya memberikan ruang kelonggaran, tetapi juga menuntut kesiapan administratif dan pengawasan lebih baik dari berbagai pihak. Dampak dari perubahan ini bersifat multi-dimensi: menyentuh aspek waktu, kualitas, pemberdayaan sektor usaha dalam negeri, tata kelola pemerintahan, hingga tingkat partisipasi pelaku usaha.
Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam bagaimana perubahan batasan nilai PBJ tersebut mempengaruhi seluruh ekosistem pengadaan negara, mulai dari pejabat pengadaan, penyedia barang/jasa, pelaku usaha kecil, hingga masyarakat pengguna layanan publik. Setiap aspek dijelaskan secara panjang dan rinci agar terbentuk gambaran menyeluruh terhadap dampak kebijakan ini—positif maupun tantangan yang harus diantisipasi agar tujuan reformasi pengadaan tidak hanya bersifat regulatif, tetapi juga realisasi di lapangan.
Pembaruan batas nilai PBJ merupakan respons terhadap berbagai dinamika yang terjadi sejak diberlakukannya Perpres 16/2018 dan Perpres 12/2021. Masing-masing regulasi tersebut memperkenalkan skema nilai ambang yang menjadi pemicu penting bagi pejabat pengadaan untuk memilih metode mana yang paling sesuai dalam suatu paket pekerjaan. Namun, berkembangnya situasi global seperti pandemi Covid‑19, perang dagang, hingga tekanan terhadap penyerap anggaran pada akhir tahun mendorong pemerintah untuk melakukan penyesuaian nilai agar proses pengadaan tidak terjebak dalam keruwetan administrasi.
Perubahan ini dilatarbelakangi oleh tiga faktor utama: pertama, kebutuhan menarik perhatian usaha mikro dan kecil melalui penurunan ambang nilai tender sehingga mereka memiliki peluang lebih besar dalam tender terbuka; kedua, mendukung percepatan program prioritas nasional melalui peningkatan nilai ambang penunjukan langsung dan e-purchasing; ketiga, menciptakan keseimbangan antara mendorong kompetisi sehat dan menjaga efisiensi waktu pelaksanaan proyek.
Melalui Perpres terbaru, pemerintah mencoba menyeimbangkan kebutuhan percepatan dengan prinsip-prinsip good governance dalam pengadaan, agar momentum pemulihan ekonomi dan pembangunan infrastruktur tidak terhambat oleh mekanisme birokrasi yang tidak efektif.
Salah satu poin terbesar dalam perubahan adalah peningkatan nilai ambang penunjukan langsung dari semula Rp 200 juta menjadi Rp 300 juta, serta ambang jasa konsultansi dari Rp 100 juta menjadi Rp 150 juta. Hal ini dibuat agar paket-paket bernilai kecil yang sebelumnya harus melalui tender, kini dapat diselesaikan lebih cepat dengan penunjukan langsung, khususnya untuk keperluan mendesak seperti pemeliharaan, logistik, atau kebutuhan mendadak.
Pada saat bersamaan, nilai batas e‑purchasing juga diperluas hingga Rp 300 juta, dengan konsistensi agar paket jasa konsultansi di batas yang sama juga melimpah ke skema ini. Tujuan utamanya adalah mempercepat belanja pemerintah, meminimalkan resiko administrasi yang menghambat, dan mendorong digitalisasi secara nyata pada level operasional unit pengadaan.
Sebagai konsekuensi dari penambahan nilai penunjukan langsung dan e‑purchasing, ambang batas nilai untuk tender terbuka otomatis menjadi lebih tinggi. Paket-paket pengadaan dengan nilai di atas Rp 300 juta—khususnya barang dan jasa non-konsultansi—baru wajib menggunakan tender terbuka. Beberapa kategori pekerjaan bernilai lebih besar, seperti konstruksi, multiyears contract, atau pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), tetap dikenai ambang nilai yang disesuaikan.
Tujuan penyesuaian tender terbuka adalah agar pelelangan lebih banyak dilakukan oleh pelaku usaha yang mampu berkompetisi di tingkat yang lebih tinggi, namun biaya dan waktu yang diperlukan terbagi lebih efektif antara paket kecil yang dapat dipercepat dan paket besar yang memerlukan tinjauan lebih mendalam
Kenaikan nilai ambang untuk penunjukan langsung dan e‑purchasing secara signifikan memperpendek jalannya proses pengadaan untuk paket bernilai kecil. Dalam skenario tradisional, paket di bawah Rp 300 juta—yang dulunya memerlukan persiapan dokumen tender lengkap, masa sanggahan, dan evaluasi teknis—bisa memakan waktu 4 hingga 6 minggu sebelum kontrak disepakati. Namun, dengan opsi digital atau mekanisme langsung, rentang waktu tersebut menyusut menjadi 1 hingga 2 minggu saja. Perubahan ini sangat krusial terutama di wilayah terpencil seperti daerah 3T atau desa, di mana urgensi kebutuhan (misalnya perbaikan infrastruktur kritikal, ketersediaan obat, atau peralatan penanggulangan bencana) tak memberi ruang bagi keterlambatan yang lama.
Lebih jauh lagi, efisiensi waktu ini bukan hanya soal kecepatan administratif, tetapi memberi kesempatan bagi unit pengadaan untuk lebih fokus pada aspek strategis program daripada tenggelam dalam beban birokrasi. Dalam jangka panjang, percepatan ini menunjang efektivitas pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik, serta membuka ruang nasional bagi respon cepat terhadap situasi darurat yang tidak bisa diprediksi dalam perencanaan awal.
Tender terbuka mengharuskan pejabat pengadaan menyiapkan rencana teknis, pengumuman lelang, klarifikasi dengan penyedia, dan penanganan sanggahan. Hanya untuk tahapan ini, bisa timbul biaya seperti cetak dokumen, biaya tenaga aparatur, honor komite evaluasi, hingga jasa pihak ketiga. Dengan beralih ke e‑purchasing atau penunjukan langsung, biaya-biaya tersebut bisa ditekan optimal sejak tahap awal.
Dampaknya signifikan: sekitar 10–15% penghematan biaya administrasi, yang secara langsung memanfaatkan anggaran belanja paket untuk pengadaan barang atau jasa. Model ini juga mengurangi risiko pembengkakan anggaran akibat biaya tak terduga yang sering diabaikan dalam perencanaan awal paket.
Meski efisiensi waktu dan biaya menjadi kelebihan utama, transformasi ini juga menuntut kesiapan tinggi dari SDM dan sistem manajemen instansi. Beberapa hambatan nyata antara lain:
Jika tantangan koordinasi ini tidak diatasi, percepatan sejatinya akan menjadi “bumerang”, karena kegagalan data, kesalahan dokumen, atau keterlambatan input elektronik bisa memperlambat kabinet proses dan pelaporan, serta meningkatkan beban administratif di tahap audit.
Perubahan ambang nilai memberikan ruang bagi unit pengadaan untuk memilih metode yang paling efisien, namun hal ini juga mengubah pola kompetisi. Paket kecil kini diarahkan ke e‑purchasing atau penunjukan langsung, sehingga volume tender terbuka berkurang. Dampaknya:
Dengan nilai ambang yang tinggi, risiko penyimpangan pun membesar apabila pengawasan internal tidak ditingkatkan. Paket langsung meskipun nilainya kecil, tetap memiliki potensi mark-up dan favoritisme jika inspektorat, APIP, dan pihak audit lainnya tidak melakukan verifikasi dokumen dan pengecekan lapangan. Untuk itu:
Dalam era digital, publikasi dokumentasi menjadi bagian integral dari akuntabilitas. Setiap paket yang menggunakan metode langsung wajib memuat:
Semua ini harus diunggah di portal pengadaan dan dapat diakses publik, sehingga komunitas, media, dan LSM bisa memantau tanpa hambatan. Sistem ini menjadi jaminan akuntabilitas dalam dua aspek: internal (audit instansi) dan eksternal (pengawasan publik).
Setiap perubahan ambang nilai pengadaan tentu membuka celah baru bagi penyimpangan. Dengan semakin banyak paket pengadaan menggunakan metode langsung, maka risiko praktik nepotisme, kolusi, dan mark-up harga tetap ada. Sistem SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) dan e-Katalog harus diperkuat agar setiap transaksi bisa ditelusuri dan dicegah sebelum masalah membesar.
Penguatan pengawasan bisa dilakukan melalui:
Saat ini pengadaan belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem lain seperti SIMDA, SIMAK-BMN, dan SIPD. Padahal, jika ketiga sistem ini terhubung dengan SPSE, maka pengawasan bisa dilakukan berbasis data otomatis, mendeteksi anomali harga, jumlah barang, dan waktu pelaksanaan. LKPP dan BPKP harus duduk bersama dengan Kementerian Dalam Negeri dan BPK untuk membangun platform lintas sistem yang bisa menangkal penyalahgunaan sejak awal.
Pemerintah Kota X berhasil melaksanakan pengadaan 12.000 tablet untuk program pembelajaran jarak jauh senilai Rp 2,9 miliar menggunakan mekanisme e-purchasing yang terbagi dalam 11 paket masing-masing senilai Rp 270 juta. Karena setiap paket di bawah ambang batas tender terbuka, pemilihan dapat dilakukan cepat dengan transparansi penuh di SPSE. Akibatnya, siswa bisa menerima perangkat tepat waktu sebelum tahun ajaran baru dimulai.
Keberhasilan ini terjadi karena unit pengadaan memahami metode, dokumentasi rapi, dan seluruh transaksi dilakukan lewat penyedia yang sudah terdaftar di e-Katalog. Audit internal pun menunjukkan tidak ada selisih harga, serta kualitas barang sesuai dengan spesifikasi.
Namun sebaliknya, di salah satu kabupaten Y, proyek pengadaan genset untuk puskesmas senilai Rp 290 juta dilakukan dengan penunjukan langsung tanpa dokumen DPP yang lengkap. Penyedia yang ditunjuk ternyata tidak memiliki izin usaha dan produk yang dikirim rusak sejak awal. Puskesmas tidak bisa beroperasi selama 3 minggu karena kekurangan daya listrik, dan audit inspektorat menemukan mark-up harga 20% lebih tinggi dibanding harga pasar.
Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun nilai berada dalam ambang yang diperbolehkan, ketidaksiapan administrasi dan pengawasan internal dapat menimbulkan kerugian publik dan kerusakan reputasi.
Agar perubahan nilai ambang dalam PBJ tidak justru menjadi celah penyimpangan, tetapi sebaliknya menjadi instrumen percepatan pembangunan yang efektif, berikut rekomendasi kebijakan dan operasional yang perlu dijalankan:
Perubahan batas nilai pengadaan barang/jasa dalam Perpres terbaru bukan sekadar revisi angka atau ambang administratif, tetapi merupakan fondasi perubahan paradigma dalam sistem pengadaan pemerintah Indonesia. Tujuannya jelas: mempercepat proses, mendorong pelibatan UMKM, memperluas efisiensi digital, dan menjaga akuntabilitas publik. Jika diimplementasikan dengan kehati-hatian dan didukung oleh pelatihan SDM serta pengawasan ketat, kebijakan ini akan menciptakan sistem pengadaan yang tidak hanya cepat dan hemat, tetapi juga adil, transparan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Namun, seperti halnya semua reformasi, keberhasilan implementasi sangat ditentukan oleh kesiapan ekosistem: mulai dari regulasi turunan, kapasitas SDM, dukungan teknologi informasi, hingga komitmen pimpinan instansi dalam membina pengadaan yang bersih dan melayani. Oleh karena itu, perubahan ini harus diikuti dengan evaluasi berkala, dialog lintas sektor, dan kemauan untuk terus belajar dari praktik baik maupun kegagalan agar sistem pengadaan Indonesia semakin maju, terpercaya, dan berkelanjutan.