Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memegang peranan sentral dalam perekonomian Indonesia, menyerap lebih dari 97% tenaga kerja dan memberikan kontribusi sekitar 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah mendorong agar UMKM tidak hanya menjadi pemain utama di sektor informal maupun ritel, melainkan juga ikut serta dalam rantai pasokan pemerintah melalui proses tender atau lelang. Namun, pada kenyataannya, tingkat partisipasi UMKM dalam tender pemerintah masih relatif rendah. Banyak UMKM yang kesulitan memenuhi berbagai persyaratan teknis, administratif, dan keuangan sehingga peluang untuk memenangkan tender menjadi sangat tipis. Artikel ini akan menguraikan secara panjang lebar hambatan-hambatan utama yang dihadapi UMKM dalam mengikuti tender pemerintah, menganalisis akar masalahnya, serta memberikan rekomendasi kebijakan dan praktis untuk memperbaiki akses UMKM ke proses pengadaan publik.
Kompleksitas administrasi dalam proses pengadaan pemerintah merupakan tantangan utama yang menghambat partisipasi aktif UMKM. Persyaratan administratif dalam dokumen lelang sering kali menuntut pelaku usaha untuk menyerahkan berbagai dokumen legal dan teknis yang lengkap dan valid, seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), laporan keuangan yang diaudit, sertifikasi teknis, hingga referensi pekerjaan sejenis.
Permasalahan muncul karena sebagian besar UMKM masih bergerak di sektor informal atau semi-formal. Mereka belum mengintegrasikan sistem manajemen internal yang mampu menghasilkan dokumen resmi sesuai dengan format yang disyaratkan. Banyak pelaku UMKM bahkan tidak memiliki divisi administrasi khusus, sehingga proses pemenuhan dokumen sepenuhnya bergantung pada pemilik usaha yang juga harus menangani produksi, pemasaran, dan operasional harian. Dalam kondisi demikian, kelengkapan dan akurasi dokumen sering diabaikan.
Proses perizinan yang berbelit, belum tersedianya satu pintu digital secara nasional yang mengintegrasikan semua data legalitas usaha, dan kurangnya sosialisasi tentang pentingnya legalitas, menambah panjang daftar kendala. Bahkan untuk UMKM yang memiliki dokumen lengkap, sistem pendaftaran elektronik kadang masih mensyaratkan unggahan dalam format khusus seperti PDF terkunci, scan resolusi tinggi, atau file yang telah diberi watermark—hal teknis yang sering kali di luar jangkauan keterampilan digital UMKM kecil.
Sebagai solusi jangka menengah, pemerintah perlu menyederhanakan proses verifikasi legalitas melalui integrasi sistem perizinan dan pengadaan. Misalnya, dokumen legal seperti SIUP dan NIB dapat diverifikasi langsung melalui API dari OSS (Online Single Submission) dan tidak perlu diunggah ulang oleh pelaku usaha. Jangka panjangnya, pelaku UMKM juga perlu diberikan pelatihan berkelanjutan dan akses ke tenaga administrasi bersama—misalnya melalui koperasi atau inkubator UMKM—yang dapat membantu menyiapkan dokumen tender secara profesional.
UMKM memiliki keterbatasan inheren dalam hal kapasitas produksi, baik dari sisi jumlah tenaga kerja, kapasitas mesin produksi, luas fasilitas, maupun kemampuan logistik dan distribusi. Ketika pemerintah membuka tender dalam jumlah besar, misalnya pengadaan 10.000 seragam sekolah atau 1.000 unit komputer untuk dinas pendidikan, UMKM cenderung tidak dapat memenuhi volume tersebut dalam waktu yang ditentukan.
Situasi ini diperparah oleh permintaan spesifikasi seragam atau produk yang seragam dan presisi. UMKM rumahan biasanya memiliki standar produksi yang bervariasi antarunit kerja, karena proses produksi masih dilakukan secara manual atau setengah otomatis. Akibatnya, banyak UMKM memilih mundur dari tender berskala besar karena khawatir akan gagal memenuhi kuantitas dan kualitas, yang bisa berdampak pada sanksi penalti, keterlambatan pembayaran, atau bahkan blacklist dari sistem LPSE.
Namun, tidak semua tantangan ini tidak dapat diatasi. Salah satu pendekatan strategis adalah mendorong pembentukan konsorsium atau koperasi penyedia pengadaan barang/jasa. Beberapa UMKM dapat bekerja sama dalam satu entitas usaha baru atau menjadi subkontraktor dari UMKM lain yang lebih besar. Dengan demikian, produksi dapat dibagi ke beberapa lokasi namun tetap dikoordinasikan secara sistemik agar konsistensi kualitas terjaga.
Pemerintah daerah dan Kementerian Koperasi dan UKM perlu aktif memfasilitasi platform agregasi ini. Regulasi juga harus mendukung pengadaan melalui kelompok usaha bersama, misalnya dengan mengizinkan pendaftaran tender atas nama konsorsium atau koperasi. Fasilitasi dalam bentuk pelatihan manajemen rantai pasok, sistem pelaporan konsorsium, dan penggunaan teknologi kolaboratif (seperti software ERP sederhana) juga diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan skala produksi.
Permasalahan modal dan likuiditas menjadi salah satu kendala paling kritis yang dihadapi UMKM ketika hendak mengikuti tender pemerintah. Dalam banyak kasus, penyedia harus menanggung sendiri seluruh biaya produksi atau pengadaan barang hingga proses serah terima selesai dan pembayaran dilakukan. Proses ini dapat berlangsung hingga 2 bulan sejak penandatanganan kontrak, sehingga UMKM harus memiliki modal kerja yang cukup besar untuk bertahan selama periode tersebut.
Masalahnya, banyak UMKM tidak memiliki akses pada pembiayaan bank konvensional karena dianggap tidak bankable. Ketiadaan agunan, tidak adanya laporan keuangan terstruktur, atau riwayat kredit yang buruk membuat lembaga keuangan ragu memberikan pinjaman. Solusi dari lembaga pembiayaan nonbank pun tidak ideal karena suku bunga tinggi justru dapat menggerus margin keuntungan dari kontrak yang dimenangkan.
Skema pembiayaan berbasis Purchase Order (PO financing) sebenarnya dapat menjadi jalan keluar, namun masih sangat terbatas diakses oleh UMKM. Di sisi lain, skema kredit dengan jaminan pemerintah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) masih belum spesifik diarahkan untuk kebutuhan tender, sehingga proses pengajuannya tetap panjang dan tidak sinkron dengan waktu pengadaan.
Pemerintah dapat membentuk instrumen keuangan baru seperti Dana Penyangga Modal Kerja Tender UMKM yang dikelola oleh bank milik negara, dengan kriteria khusus bagi UMKM yang telah lolos evaluasi administrasi tender. Selain itu, LKPP dapat bekerja sama dengan lembaga keuangan untuk membuat pre-approval scheme—di mana UMKM yang telah lulus uji kelayakan tender secara otomatis mendapatkan hak mengakses pinjaman modal kerja. Kemitraan dengan fintech P2P lending yang berbasis invoice juga dapat membuka kanal pembiayaan alternatif.
Masalah teknis dan mutu menjadi tantangan serius bagi UMKM, terutama yang bergerak dalam sektor manufaktur dan jasa konstruksi. Banyak UMKM masih menggunakan metode produksi konvensional dan belum memiliki standar mutu terdokumentasi. Padahal, dokumen pengadaan sering menyebutkan persyaratan teknis secara rinci, seperti ketahanan produk, bahan baku bersertifikat, atau harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau ISO tertentu.
Sebagai contoh, dalam pengadaan peralatan sekolah, panitia lelang dapat mensyaratkan kursi dan meja harus tahan beban 150 kg dan menggunakan material berstandar E1 (ramah lingkungan). Tanpa data uji laboratorium atau sertifikat bahan, UMKM tidak bisa membuktikan kesesuaian ini. Akibatnya, mereka gugur dalam evaluasi teknis meskipun harga dan kapasitas produksinya kompetitif.
Solusi untuk mengatasi hal ini adalah menyediakan program sertifikasi kolektif bagi UMKM, bekerja sama dengan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dan laboratorium pengujian. Pemerintah daerah bisa memfasilitasi pelatihan dan pengujian bersama dalam satu batch, sehingga biaya sertifikasi dapat ditanggung bersama dan lebih terjangkau. Selain itu, perlu dikembangkan Technical Assistance Unit di dinas terkait yang dapat membantu UMKM memahami dokumen spesifikasi teknis dan menyusun penawaran dengan argumen teknis yang kuat.
Program inkubasi teknis oleh politeknik negeri atau balai teknologi juga dapat dijadikan mitra pembinaan, di mana UMKM tidak hanya memperoleh sertifikat, tetapi juga dibantu dalam menyusun sistem manajemen mutu internal (misalnya 5S, Kaizen, atau standar ISO 9001 skala mikro). Pendekatan ini akan memperkuat daya saing teknis UMKM dalam jangka panjang.
Prosedur pengadaan pemerintah yang sepenuhnya berbasis digital melalui Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) sebenarnya dimaksudkan untuk mendorong transparansi dan efisiensi. Namun, dari perspektif pelaku UMKM yang sebagian besar belum melek teknologi secara menyeluruh, sistem ini bisa terasa seperti hambatan baru yang sangat teknis dan membingungkan.
Banyak UMKM mengalami kendala pada tahap awal seperti pembuatan akun LPSE, pengunggahan dokumen dalam format PDF/A, penggunaan tanda tangan digital, atau pengisian formulir penawaran harga secara online. Kesalahan teknis sederhana, seperti salah nama file atau ukuran file yang melebihi batas, bisa menyebabkan diskualifikasi otomatis karena sistem tidak menerima berkas.
Selain kendala teknis, pemahaman konseptual tentang tahapan pengadaan juga rendah. Istilah-istilah seperti Harga Perkiraan Sendiri (HPS), evaluasi dua sampul, post bidding, hingga kriteria pembobotan teknis sering tidak dipahami secara menyeluruh. Akibatnya, banyak UMKM membuat penawaran yang kurang kompetitif atau tidak sesuai spesifikasi yang diminta.
Pemerintah perlu membangun sistem pelatihan berbasis praktik dan berbasis komunitas. Pendekatan pelatihan digital tidak cukup jika hanya berbentuk modul PDF atau video panjang. Harus ada learning center berbasis lokal, misalnya di kantor kecamatan atau gedung UMKM setempat, yang menyediakan fasilitas komputer dan pendampingan. Tutorial harus sederhana, berbasis studi kasus lokal, dan disampaikan dalam bahasa daerah jika perlu.
Selain itu, LKPP dan instansi daerah bisa membentuk “Klinik Pengadaan UMKM” yang bertugas mendampingi pelaku UMKM selama proses tender, mulai dari pendaftaran hingga unggah dokumen. Kolaborasi dengan asosiasi UMKM dan akademisi juga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan mentor pengadaan dari kalangan praktisi.
Masalah akses informasi merupakan tantangan laten yang masih sering dihadapi oleh pelaku UMKM, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Di era digital seperti sekarang, memang sebagian besar informasi pengadaan sudah tersedia secara daring melalui portal LPSE nasional maupun daerah. Namun kenyataannya, tidak semua pelaku UMKM memiliki kebiasaan atau kemampuan untuk memantau secara berkala platform tersebut. Beberapa bahkan tidak mengetahui keberadaan website LPSE dan belum pernah membuka dokumen tender sama sekali.
Tantangan akses ini berkaitan erat dengan keterbatasan infrastruktur digital, seperti sinyal internet yang lemah, belum meratanya literasi digital, dan rendahnya pemanfaatan perangkat teknologi informasi oleh pelaku usaha mikro. UMKM di desa-desa sering kali lebih mengandalkan informasi dari mulut ke mulut atau pengumuman fisik di kantor desa, dan tidak aktif dalam memantau platform daring pemerintah.
Akibatnya, banyak UMKM tidak mengetahui adanya peluang tender yang sebenarnya bisa mereka penuhi. Mereka kehilangan kesempatan untuk mendaftar hanya karena tidak mendapatkan informasi pada waktunya. Padahal dalam sistem pengadaan, waktu pendaftaran sangat ketat dan tidak bisa diperpanjang.
Solusi yang dapat ditempuh antara lain dengan membuat sistem early warning system atau pemberitahuan otomatis melalui SMS, WhatsApp blast, atau e-mail yang terdaftar oleh pelaku usaha. Pemerintah daerah juga dapat menggunakan pendekatan lokal—misalnya memasang papan pengumuman tender di kantor kecamatan atau desa, menyiarkan informasi pengadaan melalui radio komunitas, hingga menyebarkan brosur melalui koperasi atau BUMDes.
Inisiatif seperti “Kios Tender Desa” juga dapat dikembangkan, yaitu pojok digital di kantor desa atau kelurahan yang difungsikan untuk memantau tender UMKM-friendly di wilayahnya. Dengan pendekatan multipola—baik online maupun offline—akses informasi tender akan semakin inklusif dan menjangkau UMKM di akar rumput.
Selain hambatan teknis dan struktural, terdapat pula kendala yang sifatnya psikologis dan budaya. Banyak pelaku UMKM merasa bahwa dunia pengadaan pemerintah terlalu “formal”, “berat”, atau “tidak cocok” untuk usaha mereka. Stigma bahwa hanya perusahaan besar yang bisa menang tender telah tertanam cukup dalam di benak pelaku usaha kecil.
Tak jarang, rasa rendah diri muncul karena mereka belum pernah ikut tender sebelumnya dan takut gagal. Rasa khawatir terhadap proses hukum, takut tersangkut masalah audit, atau bahkan takut jika kalah tender akan dianggap sebagai aib atau kerugian besar juga ikut membentuk persepsi negatif. Dalam banyak kasus, ketidaktahuan memunculkan asumsi yang keliru dan membuat UMKM semakin jauh dari proses pengadaan formal.
Kondisi ini menciptakan ekosistem pasif, di mana hanya sedikit UMKM yang mencoba masuk ke pengadaan pemerintah, sementara yang lain tetap bertahan di pasar lokal atau menjadi subkontraktor dari perusahaan besar. Padahal justru keberanian untuk mencoba dan pengalaman langsung dalam proses tender akan menjadi batu loncatan penting bagi UMKM untuk naik kelas.
Membangun kepercayaan diri ini tidak bisa hanya melalui pelatihan teknis semata. Dibutuhkan pendekatan psikososial seperti penguatan role model—misalnya melalui testimoni dan kisah sukses UMKM lokal yang berhasil memenangkan tender. Forum sharing session, talkshow dengan pelaku UMKM pemenang tender, atau program “UMKM Menginspirasi” yang difasilitasi oleh pemerintah daerah dapat menanamkan semangat “kalau mereka bisa, saya juga bisa.”
Program mentoring dari pelaku UMKM yang sudah sukses juga sangat penting. Dengan adanya pendamping sejawat (peer mentoring), pelaku UMKM pemula bisa mendapatkan bimbingan langsung dari orang yang mereka percaya dan pahami bahasanya. Pendekatan ini lebih membumi dan membangun solidaritas sesama pelaku usaha kecil.
Salah satu contoh keberhasilan konkret dalam mengatasi hambatan skala usaha dan permodalan adalah studi kasus dari Jawa Tengah, khususnya program “Konsorsium UMKM Pengadaan” yang dikelola oleh Dinas Koperasi dan UKM provinsi. Program ini diluncurkan sebagai respons terhadap minimnya keterlibatan UMKM dalam proyek pengadaan berskala menengah ke atas di lingkungan pemerintah daerah.
Sekitar 50 UMKM dari berbagai subsektor—termasuk katering, percetakan, pengadaan alat tulis kantor, dan produksi seragam—dihimpun menjadi satu konsorsium berbadan hukum koperasi. Melalui proses pendampingan intensif, mereka diberikan pelatihan mengenai prosedur LPSE, penyusunan dokumen penawaran, hingga manajemen proyek pasca-menang tender.
Salah satu keberhasilan signifikan dari konsorsium ini adalah memenangkan proyek pengadaan barang untuk satu kabupaten dengan nilai kontrak lebih dari Rp 2 miliar. Nilai ini sebelumnya di luar jangkauan satuan UMKM individu. Namun, melalui penggabungan kapasitas dan sumber daya, konsorsium dapat memenuhi volume, standar mutu, serta persyaratan legal yang ditentukan.
Kunci sukses dari program ini antara lain:
Salah satu anggota konsorsium, Minh dari sektor katering, mengungkapkan bahwa kolaborasi ini tidak hanya memberikan akses pasar yang lebih besar, tapi juga meningkatkan kepercayaan diri dan kredibilitas usahanya di mata pelanggan lain.
Mengatasi hambatan UMKM dalam tender tidak cukup hanya dengan satu pendekatan. Dibutuhkan kombinasi kebijakan struktural, pendampingan teknis, dan reformasi digitalisasi yang berpihak pada pelaku usaha kecil. Beberapa rekomendasi konkret meliputi:
a. Simplifikasi Persyaratan Administratif
b. Skema Konsorsium dan Kemitraan UMKM
c. Fasilitas Pembiayaan dan Jaminan
d. Sertifikasi Kolektif dan Pelatihan Teknis
e. Akses Informasi dan Pendampingan
f. Penguatan Mentorship dan Budaya Kompetitif
Hambatan yang dihadapi UMKM dalam mengikuti tender pemerintah sangatlah kompleks dan multidimensional. Mulai dari faktor administratif, keterbatasan produksi, kekurangan modal kerja, hingga kendala teknis dan psikis menjadi penghalang nyata. Namun, semua hambatan ini dapat diurai dan diatasi jika ada kesungguhan kolektif dari pemerintah, pelaku usaha, lembaga pembiayaan, dan komunitas lokal.
Mendorong partisipasi UMKM dalam pengadaan bukan hanya soal inklusi ekonomi, tetapi juga efisiensi dan pemerataan pembangunan. Ketika UMKM dilibatkan secara aktif dalam belanja negara, mereka tidak hanya mendapatkan pasar yang lebih luas, tetapi juga terdorong untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas usahanya.
Upaya pemberdayaan UMKM dalam tender harus berakar pada prinsip keadilan akses, kesederhanaan proses, dan kolaborasi strategis. Melalui kebijakan afirmatif, fasilitas pendampingan, dan reformasi sistem pengadaan yang lebih adaptif terhadap kondisi UMKM, maka dunia pengadaan pemerintah dapat menjadi lahan pertumbuhan ekonomi rakyat yang sesungguhnya.
Partisipasi UMKM dalam tender bukan sekadar peluang usaha, tetapi juga wujud nyata kedaulatan ekonomi nasional.