Kelemahan Sistem Tender Terbuka yang Sering Terjadi

Pendahuluan

Sistem tender terbuka sering dipandang sebagai cara yang adil untuk memilih penyedia barang atau jasa karena semua pihak yang memenuhi syarat bisa ikut bersaing. Namun dalam praktiknya, proses ini rentan mengalami berbagai kelemahan yang membuat tujuan awal—yaitu memperoleh produk atau layanan terbaik dengan harga wajar—kadang sulit tercapai. Artikel ini ditulis dengan bahasa sederhana agar bisa dipahami oleh banyak orang, termasuk yang bukan berlatar belakang teknis pengadaan. Kami akan menguraikan kelemahan-kelemahan yang sering muncul, memberikan contoh-contoh nyata yang mudah dibayangkan, serta menutup dengan saran-saran praktis untuk perbaikan.

Tujuan tulisan ini bukan menyudutkan sistem tender terbuka secara keseluruhan, melainkan menunjukkan di mana letak kelemahannya agar para pelaksana, pengambil kebijakan, dan publik bisa lebih waspada dan berupaya memperbaiki. Tender terbuka, walau ideal dalam teori, dapat terpapar masalah ketika pelaksanaannya tidak diikuti prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kompetisi yang sehat. Banyak kelemahan muncul bukan karena konsepnya salah, melainkan karena celah dalam praktik: aturan yang sulit diikuti, dokumen yang ruwet, proses evaluasi yang tidak konsisten, dan sumber daya manusia yang kurang memadai.

Di bagian-bagian berikut, setiap kelemahan akan dibahas secara panjang dan gamblang, dilengkapi analogi sederhana sehingga pembaca awam bisa membayangkan bagaimana masalah itu terjadi dan mengapa dampaknya merugikan. Setelah membahas kelemahan-kelemahan utama, artikel ini akan menutup dengan rekomendasi praktis—bukan teori tinggi—yang bisa dijalankan untuk memperbaiki sistem agar lebih adil, efisien, dan bermanfaat bagi publik.

1. Dokumen tender yang tidak jelas dan terlalu rumit

Salah satu masalah yang paling sering muncul adalah dokumen tender yang susah dipahami. Bayangkan Anda diminta mengikuti sebuah perlombaan yang aturan mainnya ditulis dalam bahasa yang berbelit-belit dan penuh singkatan. Untuk siapa pun yang baru pertama kali ikut, itu akan membuat bingung, bahkan mungkin membuat mereka menyerah. Dokumen tender idealnya menjelaskan apa yang diminta, bagaimana penilaian dilakukan, dan syarat administrasi yang diperlukan dengan bahasa sederhana dan langkah-langkah yang jelas. Namun kenyataan di lapangan seringkali berbeda.

Dokumen yang tidak jelas bisa punya beberapa bentuk: persyaratan teknis yang ditulis dengan istilah rumit atau terlalu detail sehingga menyulitkan calon peserta kecil; kriteria evaluasi yang samar sehingga membuka ruang interpretasi berbeda antarpenilai; hingga lampiran-lampiran yang saling bertentangan. Akibatnya, perusahaan yang sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan bisa saja tidak ikut karena takut salah memahami syarat, atau mereka menghabiskan waktu ekstra untuk menebak-nebak apa yang dimaksud panitia. Ini mempersempit kompetisi dan berpotensi menaikkan harga yang diajukan karena hanya sedikit peserta yang bersaing.

Selain itu, dokumen yang rumit cenderung menguntungkan pihak yang sudah berpengalaman atau memiliki tenaga khusus untuk mengurus administrasi tender. Perusahaan kecil atau UMKM, yang seringkali pilihan terbaik dari sisi biaya dan fleksibilitas, malah menjadi terpinggirkan. Ketimpangan ini membuat hasil tender tidak selalu mencerminkan penawaran terbaik secara keseluruhan.

Praktik buruk lain adalah perubahan dokumen di tengah proses tanpa alasan jelas atau pemberitahuan memadai. Ketika peraturan atau spesifikasi berubah, peserta yang sudah menyiapkan penawaran bisa jadi tidak sempat menyesuaikan, atau merasa dirugikan. Perubahan semacam ini memicu klaim, sanggahan, dan proses administrasi tambahan yang memperlambat pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, penyusunan dokumen yang jelas, singkat, dan logis menjadi fondasi penting untuk tender yang sehat.

2. Evaluasi yang subjektif dan inkonsistensi antar penilai

Evaluasi penawaran seharusnya berlangsung berdasarkan kriteria yang objektif dan terukur. Namun di banyak kasus, penilaian menjadi subjektif karena kriteria yang tidak konkret atau karena penilai menerapkan preferensi pribadi. Misalnya, dua penilai mungkin memberikan skor berbeda pada aspek yang sama karena interpretasi mereka berbeda terhadap dokumen tender. Ini terjadi ketika kriteria penilaian ditulis secara umum—seperti “pengalaman relevan” atau “kualitas teknis”—tanpa petunjuk jelas bagaimana membandingkannya.

Subjektivitas semakin muncul kalau proses evaluasi tidak memiliki mekanisme silang yang kuat. Dalam beberapa instansi, hanya satu atau dua orang yang melakukan penilaian tanpa verifikasi dari pihak lain. Ketika itu terjadi, potensi kesalahan atau kepentingan tertentu bisa memengaruhi hasil. Selain itu, konflik kepentingan pribadi—misalnya penilai yang pernah bekerja dengan salah satu peserta—bisa membuat keputusan tidak netral.

Dampaknya serius: penawaran yang secara objektif kurang layak bisa lolos, sementara penawaran yang lebih baik ditolak karena penilai menilai berdasarkan preferensi pribadi atau hubungan. Akhirnya, proyek dikerjakan oleh pihak yang tidak paling kompeten—yang bisa berujung pada kualitas pekerjaan menurun, keterlambatan, atau biaya tambahan. Hal lain yang sering terjadi adalah adanya penilaian “formalitas”; peserta memenuhi syarat administratif tapi sebenarnya tidak memenuhi kebutuhan substansial. Ketika kriteria fokus pada kelengkapan dokumen semata, kualitas teknis dan hasil akhir sering diabaikan.

Untuk mengurangi subjektivitas, perlu ada pedoman penilaian yang sangat jelas, pelatihan penilai, dan sistem penilaian berlapis di mana hasil satu penilai diverifikasi oleh tim lain. Selain itu, penggunaan nilai bobot yang eksplisit untuk setiap kriteria membantu memberikan perhitungan yang lebih objektif. Transparansi hasil penilaian—misalnya ringkasan alasan mengapa penawaran tertentu dipilih—juga sangat penting agar publik dan peserta dapat memahami prosesnya.

3. Potensi kolusi, penetapan pemenang, dan praktik tidak sehat lainnya

Sayangnya, tender terbuka tidak kebal terhadap praktik curang. Kolusi antara peserta atau antara panitia dan peserta bisa terjadi, mematikan kompetisi yang seharusnya terbuka. Bentuk kolusi bisa bermacam-macam: mulai dari pembagian pasar, peserta yang seakan-akan bersaing tapi sebenarnya bersepakat siapa yang akan menang, sampai panitia yang membantu salah satu peserta lewat informasi atau kelonggaran persyaratan.

Contoh sederhana: sekelompok perusahaan sepakat untuk mengajukan penawaran dengan harga tinggi, sementara satu perusahaan ditunjuk sebagai pemenang dengan harga yang tampak wajar dibandingkan tawaran tinggi lainnya. Atau panitia memberikan informasi teknis tertutup ke satu peserta agar mereka bisa menyesuaikan penawaran. Tindakan seperti ini merugikan publik karena harga menjadi tidak kompetitif dan kualitas tidak bisa dijamin.

Kolusi sering sulit dibuktikan karena pelakunya membuat transaksi dan komunikasi yang tersamar. Namun tanda-tandanya ada: jumlah peserta yang sedikit padahal pasar seharusnya cukup besar, pola harga yang mirip antara penawar, atau dokumen penawaran yang secara mengejutkan hampir sama. Selain itu, adanya pemenang berulang yang selalu mendapatkan proyek di satu instansi juga bisa menjadi sinyal peringatan.

Praktik tidak sehat lain yang sering muncul adalah terjadinya penetapan pemenang lebih dulu. Di beberapa kasus, keputusan pemenang sudah dibuat sebelum proses berakhir, dan sisa proses hanya formalitas. Ini mungkin terjadi karena tekanan politik, hubungan personal, atau karena keuntungan lain yang diharapkan dari pihak pemenang. Dampaknya: perusahaan lain yang seharusnya kompetitif enggan mengikuti tender karena menyadari proses tidak adil, sehingga korupsi berputar terus.

Untuk menghadapi masalah ini, perlu adanya pengawasan eksternal, sistem pelaporan dugaan kecurangan yang aman, dan audit independen. Publikasi data tender—siapa yang ikut, berapa tawaran yang masuk, serta alasan pemilihan pemenang—juga membantu mendeteksi pola-pola tidak wajar.

4. Hambatan partisipasi UMKM dan pelaku lokal

Sistem tender terbuka idealnya memberi kesempatan luas bagi semua penyedia, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Nyatanya, banyak UMKM yang sulit masuk ke dalam proses tender karena persyaratan yang berat, biaya partisipasi, atau kurangnya informasi. Persyaratan administrasi dan teknis yang tertulis rumit cenderung menguntungkan perusahaan besar yang punya tim khusus untuk mengurus dokumen, sementara UMKM tidak punya sumber daya serupa.

Selain itu, persyaratan pengalaman kerja atau nilai kontrak minimal seringkali membuat UMKM tidak memenuhi syarat. Padahal UMKM bisa menjadi penyedia yang efisien, kreatif, dan lebih adaptif terhadap kebutuhan lokal. Ketika UMKM dikucilkan, pemerintah atau instansi kehilangan kesempatan mendapatkan solusi yang lebih murah dan lebih sesuai kondisi setempat.

Biaya partisipasi juga menjadi masalah: persiapan dokumen, kunjungan lapangan, dan modal kerja untuk menunggu pembayaran membuat UMKM enggan ikut. Dalam beberapa kasus, syarat jaminan pelaksanaan atau jaminan bank yang tinggi menjadi hambatan utama. Modal yang terbatas membuat UMKM memilih tidak bertaruh mengikuti tender besar.

Kurangnya informasi dan akses juga memperparah situasi. Pengumuman tender yang hanya dipasang di situs resmi yang sulit diakses atau menggunakan bahasa teknis membuat UMKM tidak tahu kesempatan yang ada. Pelatihan dan pendampingan untuk membantu UMKM memahami proses tender masih terbatas di banyak daerah.

Untuk membuka peluang bagi UMKM, penyederhanaan dokumen, paket tender yang cocok untuk kapasitas UMKM, keringanan persyaratan jaminan, dan program pendampingan administrasi dapat membantu. Selain itu, segmentasi tender—membagi proyek besar menjadi paket-paket kecil yang bisa dijangkau UMKM—adalah langkah praktis yang sering direkomendasikan.

5. Kelemahan administrasi dan birokrasi yang memperlambat proses

Proses tender sering diwarnai oleh langkah-langkah administrasi yang panjang: verifikasi dokumen, klarifikasi penawaran, pemeriksaan kelengkapan, hingga mekanisme sanggahan. Semua itu penting untuk menjamin transparansi, tetapi bila dilaksanakan secara kaku tanpa efisiensi, justru memperlambat dan menambah biaya.

Birokrasi yang berbelit-belit membuat waktu pengadaan membengkak. Proyek yang seharusnya bisa mulai dalam beberapa minggu jadi molor berbulan-bulan karena menunggu penyelesaian administrasi. Keterlambatan ini berdampak pada manfaat publik yang tertunda—misalnya pembangunan fasilitas, layanan kesehatan, atau pengadaan alat yang dibutuhkan segera.

Selain itu, kelemahan administrasi sering muncul dari sumber daya manusia yang kurang memadai: petugas yang belum dilatih, sistem IT yang tidak mendukung, atau prosedur yang tidak sinkron antarunit. Ketika orang yang bertugas tidak memahami proses atau tidak punya pedoman yang jelas, keputusan administratif bisa salah, sehingga perlu koreksi dan proses ulang.

Sisi lain adalah biaya administrasi yang tidak kecil. Negara atau instansi harus menanggung biaya panjangnya proses, sementara penyedia juga menanggung biaya untuk memenuhi persyaratan. Ketika biaya ini tinggi, harga penawaran juga cenderung meningkat karena penyedia memasukkan biaya administrasi ke dalam perhitungan harga.

Solusi praktis termasuk digitalisasi yang tepat guna—bukan sekadar memindahkan dokumen kertas ke file tanpa menyederhanakan proses—pelatihan bagi petugas, dan pemangkasan langkah yang tidak esensial. Penggunaan sistem manajemen pengadaan yang terintegrasi bisa mengurangi duplikasi langkah dan mempersingkat waktu.

6. Kurangnya kapasitas dan integritas pelaksana tender

Pelaksana tender—mulai dari panitia evaluasi hingga pejabat yang menandatangani kontrak—memegang peran kunci. Namun di banyak tempat, kapasitas mereka belum optimal. Kurangnya pengalaman, pelatihan yang minim, dan tekanan dari atasan atau pihak luar dapat memengaruhi keputusan. Selain itu, integritas individu tetap menjadi penentu; tanpa etika kerja yang kuat, peluang penyimpangan terbuka lebar.

Kurangnya kapasitas terlihat dari kesalahan teknis pada dokumen, kelalaian dalam menilai penawaran, hingga ketidakmampuan menangani sengketa. Ketika pelaksana tidak punya pedoman yang jelas atau akses ke alat yang tepat (misalnya bank data penyedia atau template penilaian), mereka cenderung mengambil jalan aman dengan memilih peserta yang dikenal atau yang pernah bekerja sama sebelumnya.

Di sisi integritas, godaan uang, hadiah, atau tekanan politik bisa mengikis keputusan yang objektif. Bahkan bila motivasi bukan korupsi langsung, adanya imbalan tidak resmi atau hubungan dekat bisa mempengaruhi preferensi. Keberadaan sistem yang lemah—misalnya tidak ada rotasi tugas, pengawasan, atau hukuman nyata—membuat masalah ini berulang.

Untuk memperbaiki, diperlukan program pelatihan berkelanjutan, rotasi tugas, pembentukan unit audit internal yang kuat, serta mekanisme pelaporan pelanggaran yang aman bagi pelapor. Budaya kerja yang menghargai transparansi dan akuntabilitas harus dibangun sehingga keputusan tender lebih berbasis bukti dan logika bisnis.

7. Waktu proses yang panjang dan biaya tersembunyi

Tender terbuka sering memakan waktu lama. Ada banyak tahapan yang harus dilalui: pengumuman, pendaftaran, pemasukan dokumen, evaluasi, klarifikasi, sanggahan, hingga penetapan pemenang dan penandatanganan kontrak. Masing-masing tahapan memerlukan waktu dan sumber daya. Bagi penyedia, menunggu proses tender selesai berarti modal yang terikat, biaya operasional, dan ketidakpastian.

Selain waktu, ada biaya tersembunyi yang sering tidak diperhitungkan. Pengadaan dokumen, biaya konsultasi untuk menyiapkan penawaran, kunjungan lapangan, dan biaya jaminan merupakan beban yang ditanggung peserta. Bagi perusahaan kecil, biaya tersebut bisa sangat signifikan dan menjadi penghalang. Di sisi instansi, biaya pengelolaan proses tender—termasuk tenaga pegawai dan infrastruktur—juga tidak kecil.

Waktu yang panjang juga membuka celah bagi perubahan kebutuhan. Kebutuhan awal saat tender dibuka mungkin berubah karena kondisi di lapangan atau perkembangan teknis. Kalau perubahan tak ditangani dengan baik, kontrak bisa jadi tidak relevan atau menimbulkan sengketa. Selain itu, waktu yang panjang menimbulkan frustrasi bagi publik yang menunggu hasil proyek.

Upaya percepatan perlu dilakukan tanpa mengorbankan kualitas evaluasi. Salah satu langkah praktis: memperjelas tenggat waktu di setiap tahap dan menegakkan disiplin, menggunakan sistem elektronik yang mendukung kolaborasi, dan menetapkan batas waktu untuk sanggahan agar tidak disalahgunakan untuk menunda. Selain itu, mempertimbangkan mekanisme seleksi yang lebih cepat untuk pekerjaan yang bersifat mendesak bisa menjadi solusi.

Kesimpulan dan Rekomendasi Praktis

Tender terbuka adalah mekanisme penting untuk menjamin persaingan dan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa. Namun seperti alat apa pun, efektivitasnya bergantung pada bagaimana ia dirancang dan dijalankan. Dari pembahasan di atas terlihat banyak kelemahan yang sering muncul: dokumen yang tidak jelas, penilaian subjektif, potensi kolusi, hambatan bagi UMKM, birokrasi berbelit, kapasitas pelaksana yang kurang, serta waktu dan biaya yang panjang.

Untuk memperbaiki sistem, beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Menyederhanakan dokumen tender dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Hindari istilah teknis yang tidak perlu dan sediakan ringkasan persyaratan utama.
  2. Memperjelas kriteria penilaian dengan indikator yang terukur dan menerapkan penilaian berlapis serta verifikasi silang.
  3. Meningkatkan transparansi data tender, termasuk publikasi ringkasan evaluasi dan alasan pemilihan pemenang.
  4. Membuka akses bagi UMKM melalui paket tender yang sesuai, keringanan jaminan, dan program pendampingan administratif.
  5. Mengurangi birokrasi yang tidak perlu dengan digitalisasi proses yang benar-benar efisien, serta melatih petugas administrasi.
  6. Meningkatkan kapasitas dan integritas pelaksana melalui pelatihan, rotasi tugas, audit independen, serta mekanisme pelaporan yang melindungi pelapor.
  7. Menetapkan tenggat waktu yang tegas di setiap tahap dan mempertimbangkan metode seleksi cepat untuk pekerjaan darurat.

Penutup

Memperbaiki sistem tender terbuka bukan hanya tanggung jawab satu pihak. Diperlukan sinergi antara pembuat kebijakan, pelaksana pengadaan, peserta pasar, dan pengawas eksternal. Dengan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada—dengan langkah-langkah praktis, sederhana, dan konsisten—sistem tender dapat kembali menjalankan fungsinya: memperoleh barang dan jasa terbaik untuk kepentingan umum dengan cara yang adil dan efisien.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *