Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah, masyarakat sering kali dipandang hanya sebagai penerima manfaat akhir, padahal mereka memiliki peran strategis sebagai pemantau, pemberi masukan, dan penjamin akuntabilitas proses pengadaan. Keterlibatan masyarakat—yang dalam konteks ini mencakup kelompok warga, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), asosiasi profesi, media, dan komunitas pengguna layanan publik—membuka ruang bagi prinsip transparansi dan akuntabilitas yang lebih kokoh, menurunkan risiko korupsi dan kolusi, serta meningkatkan legitimasi keputusan pengadaan. Tanpa upaya melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan hingga evaluasi akhir, proses pengadaan berpotensi menjadi tertutup, gagal mencerminkan kebutuhan riil pengguna, dan menyisakan ketidakpuasan yang pada akhirnya dapat mengganggu pelaksanaan program pembangunan. Memahami urgensi keterlibatan masyarakat dalam pengadaan menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap rupiah anggaran yang dikeluarkan benar-benar menghasilkan nilai tambah optimal bagi hajat hidup orang banyak.
Partisipasi masyarakat dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tidak hanya merupakan praktik idealis, tetapi sudah mendapatkan legitimasi kuat melalui berbagai instrumen hukum yang berlaku di Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan titik awal yang mengafirmasi hak warga negara atas informasi yang relevan dengan penyelenggaraan negara. Pasal-pasal dalam undang-undang ini menegaskan bahwa setiap badan publik—termasuk Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ)—wajib menyediakan informasi yang lengkap, benar, dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, termasuk informasi mengenai pengadaan barang/jasa, proses perencanaan, dan hasil pelaksanaan.
Kemudian, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahan-perubahannya (Perpres No. 12/2021 dan No. 46/2024) memperkuat semangat tersebut dengan mencantumkan prinsip dasar keterbukaan, efisiensi, dan akuntabilitas, yang menempatkan partisipasi publik sebagai bagian penting dari proses pengadaan yang bersih dan profesional. Dalam pasal-pasal kunci disebutkan bahwa Rencana Umum Pengadaan (RUP), dokumen pemilihan, dan hasil evaluasi harus dipublikasikan secara daring sehingga dapat diakses oleh siapa saja tanpa terkecuali.
Di level teknis, regulasi pendukung seperti Permendagri tentang perencanaan pembangunan daerah dan Surat Edaran LKPP mengenai keterbukaan informasi pengadaan mendorong pelibatan publik melalui forum musrenbang, forum konsultasi publik, atau media digital berbasis LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). Lebih jauh lagi, Instruksi Presiden tentang Aksi Pencegahan Korupsi mendorong partisipasi LSM, media massa, dan masyarakat sipil dalam memantau proses tender sebagai bagian dari strategi nasional pencegahan korupsi (Stranas PK). Keseluruhan regulasi ini membentuk kerangka legal yang menyatakan dengan tegas bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui, menilai, serta memengaruhi jalannya pengadaan publik secara konstruktif dan legal.
Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan proses yang kompleks dan melibatkan banyak tahapan, yang masing-masing membuka ruang untuk keterlibatan masyarakat bila difasilitasi dengan baik. Lima tahapan utama yang umum dalam siklus pengadaan meliputi perencanaan, pemilihan penyedia, penandatanganan kontrak, pelaksanaan kontrak, dan evaluasi hasil.
Pada tahap perencanaan, keterlibatan masyarakat dapat diwujudkan melalui forum konsultasi publik atau Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan kelompok-kelompok warga, tokoh masyarakat, akademisi, hingga asosiasi profesi untuk membahas kebutuhan riil dan menyusun prioritas proyek. Keluaran dari proses ini adalah Rencana Umum Pengadaan (RUP) yang tidak hanya mencerminkan rencana internal pemerintah, tetapi juga hasil interaksi dengan kebutuhan publik.
Masuk ke tahap pemilihan penyedia, masyarakat diberi akses untuk membaca dan memberikan masukan terhadap dokumen pemilihan seperti Kerangka Acuan Kerja (KAK), Term of Reference (TOR), serta Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Forum daring seperti Vendor Forum atau e-consultation dapat digunakan sebagai ruang tanya jawab yang interaktif dan transparan.
Setelah proses evaluasi selesai dan pemenang tender diumumkan, masyarakat tetap bisa memantau dokumen kontrak yang seharusnya tersedia di situs LPSE, mencakup nilai kontrak, masa pelaksanaan, dan syarat teknis yang menjadi dasar pelaksanaan.
Dalam tahap pelaksanaan, masyarakat dapat dilibatkan secara aktif melalui pemantauan lapangan (citizen monitoring), pelaporan digital melalui aplikasi, hingga penyampaian keluhan jika ditemukan ketidaksesuaian. Pada tahap evaluasi, masyarakat dapat memberikan umpan balik yang bersifat kuantitatif (melalui survei) maupun kualitatif (melalui dialog komunitas atau forum warga), yang sangat berguna untuk penyusunan program dan pengadaan tahun berikutnya.
Pelibatan masyarakat dalam pengadaan membawa berbagai manfaat strategis yang tidak hanya berdampak pada efisiensi pengelolaan anggaran, tetapi juga pada aspek tata kelola pemerintahan secara keseluruhan.
Agar partisipasi tidak berhenti pada konsep atau slogan, diperlukan mekanisme konkret dan alat pendukung yang dapat digunakan oleh pemerintah dan masyarakat. Salah satu instrumen yang sudah cukup dikenal adalah vendor forum, di mana masyarakat, penyedia, dan pemerintah dapat berdiskusi sebelum tender dimulai. Forum ini menjadi arena untuk menyempurnakan dokumen pemilihan dan menjawab keraguan penyedia terhadap kriteria atau metode evaluasi.
Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) sektor pengadaan juga dapat dimodifikasi menjadi ruang untuk mengusulkan kegiatan berbasis kebutuhan lokal. Pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga dapat menyediakan aplikasi e-consultation yang memungkinkan masyarakat memberikan saran atau sanggahan atas dokumen pemilihan dan pelaksanaan proyek.
Aplikasi pelaporan masyarakat berbasis crowdsourcing juga merupakan solusi inovatif. Warga dapat mengunggah foto kondisi proyek di lapangan, memberi skor progres fisik, dan menyampaikan laporan kendala atau kecurigaan. Laporan ini kemudian diverifikasi oleh tim internal pengadaan atau oleh APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah).
Selain itu, kanal digital seperti media sosial resmi pengadaan (misalnya Twitter, Facebook, atau Instagram OPD terkait) dapat dimanfaatkan sebagai media interaktif yang murah, luas jangkauannya, dan cepat dalam respons. Helpdesk LPSE juga harus dimodernisasi agar mampu menanggapi pertanyaan dan sanggahan secara digital dan real-time. Dengan berbagai mekanisme ini, partisipasi publik dapat menjangkau masyarakat lintas wilayah, generasi, dan latar belakang sosial.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktiknya, pelibatan masyarakat dalam pengadaan dihadapkan pada berbagai tantangan yang memerlukan solusi sistematis dan multi-sektoral.
Salah satu tantangan utama adalah rendahnya tingkat literasi masyarakat terhadap proses dan istilah teknis dalam pengadaan. Banyak warga masih belum memahami dokumen seperti KAK, HPS, dan kriteria evaluasi sehingga sulit memberi masukan yang bermakna.
Tantangan kedua berkaitan dengan kesenjangan akses teknologi. Di beberapa daerah, khususnya wilayah terpencil, koneksi internet yang lambat dan infrastruktur digital yang terbatas membuat akses terhadap informasi pengadaan menjadi tidak merata. Hal ini dapat menciptakan ketimpangan partisipasi antara warga kota dan desa.
Ketiga, resistensi birokrasi sering muncul dari internal pemerintah, yang merasa proses partisipasi memperlambat atau mengganggu ritme kerja, apalagi jika masukan publik bersifat kritis.
Keempat, forum-forum partisipatif rentan disusupi kepentingan politik atau kelompok tertentu yang memanipulasi aspirasi untuk tujuan pribadi.
Tantangan kelima adalah perlindungan data. Ketika informasi publik dibuka, ada risiko informasi pribadi penyedia atau pelapor bocor ke pihak tidak berwenang. Terakhir, tidak semua daerah memiliki panduan teknis atau regulasi turunan tentang bagaimana partisipasi masyarakat harus difasilitasi, sehingga praktiknya sangat bervariasi dan tidak terstandar.
Agar tantangan tersebut dapat diatasi dan partisipasi masyarakat menjadi lebih kuat dan inklusif, maka strategi penguatan harus mencakup intervensi kebijakan, pendidikan masyarakat, dan inovasi teknologi. Pelatihan literasi pengadaan dapat dilaksanakan dalam bentuk workshop singkat atau modul daring, dengan melibatkan LSM, universitas, dan LPSE. Materi pelatihan dapat difokuskan pada pengenalan siklus pengadaan, pembacaan KAK dan HPS, serta cara menyampaikan sanggahan.
Pemerintah daerah dapat mendirikan pusat informasi publik di tingkat kecamatan atau kelurahan yang menyediakan data pengadaan dalam bentuk infografis, lembar fakta, atau video singkat. Di daerah yang belum tersentuh internet, radio komunitas dan papan pengumuman desa masih sangat efektif untuk menyampaikan informasi pengadaan.
Mitra lokal seperti organisasi masyarakat sipil, komunitas jurnalis warga, atau kelompok penggerak desa dapat dijadikan agen pelopor untuk menyosialisasikan program pengadaan dan mengajak warga berpartisipasi. Insentif, seperti sertifikat penghargaan atau kesempatan mengikuti pelatihan lanjutan, dapat memotivasi partisipasi berkelanjutan.
Terakhir, platform digital seperti LPSE, SiRUP, dan SPSE harus terus ditingkatkan agar menjadi sistem yang user-friendly, responsif, dan bisa diakses dari perangkat seluler. Kombinasi strategi ini akan membuka peluang partisipasi seluas-luasnya dan memperkuat keterlibatan publik sebagai pilar utama pengadaan yang berintegritas.
Beberapa daerah telah mempraktekkan partisipasi publik dengan hasil positif.
Di Kabupaten X, misalnya, panitia pengadaan mengadakan musrenbang pengadaan khusus yang melibatkan perwakilan 50 desa untuk menentukan prioritas prasarana desa. Hasilnya, 85% proyek yang terlaksana mendapat dukungan warga sekaligus terhindar dari penolakan lapangan.
Di Provinsi Y, pemprov mengembangkan aplikasi pengaduan proyek berbasis telepon seluler yang memungkinkan warga mengirim laporan lokasi proyek bermasalah, lengkap dengan foto geotag. Dalam satu tahun, lebih dari 300 laporan masuk, 70% di antaranya segera ditindaklanjuti dan diperbaiki.
Contoh lain di Kota Z menunjukkan keberhasilan vendor forum yang mengundang 200 penyedia lokal dan LSM memverifikasi dokumen KAK sehingga spesifikasi menjadi lebih realistis dan mengurangi kegagalan tender hingga 40%. Studi kasus ini menegaskan bahwa, dengan mekanisme keterlibatan yang tepat, warga dapat berperan aktif memperbaiki kualitas proses pengadaan.
Berdasarkan refleksi dari berbagai studi kasus di tingkat nasional maupun daerah, serta hasil evaluasi pelaksanaan program partisipasi masyarakat dalam sektor pengadaan barang dan jasa, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan dan praktik terbaik yang dapat diadopsi untuk meningkatkan efektivitas dan kesinambungan keterlibatan publik. Langkah-langkah berikut tidak hanya bersifat normatif, melainkan juga dirancang agar aplikatif dan menyesuaikan dengan konteks tata kelola pemerintahan Indonesia yang beragam:
1. Formalisasi Partisipasi melalui Regulasi Turunan
Agar keterlibatan masyarakat tidak bergantung pada inisiatif personal pejabat atau kepala daerah, perlu dilakukan institusionalisasi melalui regulasi turunan dari Perpres 16/2018. Salah satunya adalah mewajibkan konsultasi publik terbuka untuk setiap proyek pengadaan dengan nilai kontrak di atas ambang tertentu (misalnya Rp5 miliar). Aturan ini sebaiknya mencakup panduan teknis seperti waktu pelaksanaan, metode konsultasi (tatap muka atau daring), serta kewajiban dokumentasi dan pelaporan hasil konsultasi.
2. Pengembangan dan Standarisasi Platform Partisipasi Digital
Keterbukaan data dan partisipasi publik akan sulit dicapai jika platform pengaduan atau forum publik tidak tersedia atau tidak user-friendly. Oleh karena itu, pemerintah pusat—melalui LKPP dan Kementerian Kominfo—perlu mengembangkan template platform digital partisipasi yang dapat diadopsi oleh seluruh Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah. Fitur wajib dalam platform ini meliputi: modul input aspirasi, sistem polling atau voting prioritas proyek, kanal pelaporan (whistleblowing), serta mekanisme notifikasi progres proyek kepada masyarakat. Selain itu, harus dipastikan bahwa platform ini dapat diakses melalui perangkat seluler dan kompatibel dengan sistem LPSE/SPSE yang ada.
3. Pelatihan Literasi Pengadaan dan Edukasi Berkelanjutan
Upaya meningkatkan keterlibatan masyarakat tidak akan berhasil tanpa peningkatan pemahaman publik tentang proses dan istilah teknis pengadaan. Oleh karena itu, setiap instansi perlu menyisihkan anggaran khusus untuk menyelenggarakan pelatihan rutin mengenai literasi pengadaan. Pelatihan ini dapat dilakukan dalam format workshop, e-learning, atau kolaborasi bersama universitas dan LSM. Modul yang diajarkan harus mencakup pemahaman dasar tentang RUP, KAK, HPS, serta hak-hak masyarakat dalam mengawasi dan memberi umpan balik atas pelaksanaan proyek.
4. Integrasi Indikator Partisipasi dalam Evaluasi Kinerja Pejabat
Mendorong partisipasi masyarakat juga memerlukan insentif birokrasi. Salah satu mekanisme efektif adalah dengan memasukkan indikator partisipasi publik dalam sistem evaluasi kinerja pejabat daerah dan pejabat pengadaan. Misalnya, tingkat respons terhadap aduan masyarakat, jumlah konsultasi publik yang difasilitasi, atau kualitas laporan keterlibatan masyarakat dapat menjadi komponen dalam SKP atau Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
5. Pembentukan Forum Multi-Pihak untuk Pengawasan Kolaboratif
Pengadaan yang partisipatif menuntut kerja sama lintas sektor. Pemerintah dapat memfasilitasi terbentuknya Forum Pengadaan Terbuka di tingkat nasional maupun daerah, yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat sipil, media, asosiasi penyedia, dan perwakilan masyarakat. Forum ini berfungsi sebagai wadah berbagi informasi, mendiskusikan isu etika dan transparansi, serta mengevaluasi kebijakan pengadaan yang sedang berjalan. Keberadaan forum ini juga memperluas jangkauan pengawasan non-formal terhadap proses tender yang rawan penyimpangan.
6. Pengawasan dan Evaluasi Partisipasi Secara Berkala
Sebagaimana kegiatan pengadaan itu sendiri diawasi melalui audit BPK atau SPI, keterlibatan masyarakat juga perlu diaudit dan dievaluasi secara sistematis. Hal ini dapat dilakukan melalui survei tahunan yang mengukur persepsi masyarakat terhadap keterbukaan pengadaan di daerahnya, tingkat akses informasi, serta efektivitas kanal partisipasi yang tersedia. Hasil survei ini sebaiknya dipublikasikan dan digunakan sebagai masukan untuk penyempurnaan kebijakan keterbukaan dan perbaikan sistem pengaduan publik.
Melalui rangkaian kebijakan dan praktik terbaik tersebut, keterlibatan masyarakat dalam proses pengadaan dapat diposisikan sebagai elemen sistemik dalam tata kelola pemerintahan yang partisipatif, bukan sekadar kegiatan tambahan yang bersifat reaktif atau simbolik.
Partisipasi masyarakat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu pilar penting dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, efektif, dan responsif. Artikel ini telah menguraikan bahwa keterlibatan masyarakat tidak hanya memberikan jaminan moral terhadap proses pengadaan yang lebih transparan, tetapi juga memberikan manfaat konkret seperti peningkatan efisiensi anggaran, penguatan kepercayaan publik, dan peningkatan kualitas output pengadaan itu sendiri. Dengan memberi ruang bagi publik untuk terlibat sejak tahap perencanaan hingga evaluasi, pemerintah memastikan bahwa proyek yang dibiayai dengan uang rakyat benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Namun, mewujudkan partisipasi yang bermakna dan sistemik tidaklah mudah. Tantangan kapasitas masyarakat, kesenjangan infrastruktur, resistensi dari birokrasi, serta ketidakpastian teknis dan hukum masih menjadi hambatan yang signifikan. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi multi-level dan multi-aktor, yang mencakup reformasi kebijakan, penguatan kelembagaan, pengembangan teknologi, serta edukasi publik yang berkelanjutan. Inovasi seperti platform digital keterbukaan pengadaan, vendor forum, hingga crowdsourcing data lapangan adalah contoh konkret bagaimana partisipasi bisa difasilitasi dengan cara yang inklusif dan efisien.
Ke depan, untuk menjadikan keterlibatan masyarakat sebagai norma baru dalam pengadaan, diperlukan kepemimpinan yang pro-transparansi, kolaborasi lintas sektor, serta komitmen politik yang kuat dari pusat hingga daerah. Di sinilah peran pengambil kebijakan, aparatur pengadaan, penyedia, dan warga negara bertemu dalam satu simpul: membangun pengadaan publik yang bukan hanya sah secara administratif, tetapi juga adil, inklusif, dan dipercaya oleh seluruh lapisan masyarakat. Bila hal ini tercapai, maka pengadaan bukan hanya menjadi proses teknis belanja pemerintah, tetapi akan menjelma sebagai instrumen transformasi sosial dan pembangunan yang berkeadilan.
Dengan menjadikan keterlibatan masyarakat sebagai bagian integral dari sistem pengadaan nasional, Indonesia dapat melangkah lebih mantap menuju tata kelola pemerintahan yang terbuka, partisipatif, dan bebas dari praktik-praktik koruptif yang merugikan masa depan bangsa.