Masih Adakah Celah Korupsi di Pengadaan?

Pendahuluan

Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu jantung dari pembangunan nasional. Di dalamnya tersimpan dana publik yang sangat besar dan memiliki dampak signifikan terhadap kualitas layanan publik dan pembangunan infrastruktur negara. Namun, ironisnya, sektor pengadaan juga menjadi ladang subur bagi praktik korupsi. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai reformasi, termasuk digitalisasi proses pengadaan dan penguatan regulasi, pertanyaan yang terus menggantung adalah: masih adakah celah korupsi di pengadaan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengupas secara sistematis bagaimana sistem pengadaan bekerja, di mana letak titik rawan korupsi, serta bagaimana celah tersebut dimanfaatkan. Dengan memahami pola dan modus operandi korupsi dalam pengadaan, kita bisa menilai sejauh mana sistem saat ini telah mampu menutup celah-celah tersebut—dan apa yang masih perlu diperbaiki.

1. Sejarah dan Evolusi Sistem Pengadaan di Indonesia

Sebelum menelusuri celah korupsi, penting untuk meninjau sejarah pengadaan di Indonesia. Sistem pengadaan kita telah mengalami transformasi signifikan, dari sistem konvensional berbasis manual menuju sistem elektronik terintegrasi (e-Procurement). Perjalanan ini dimulai sejak reformasi tahun 1998 yang membuka kesadaran akan perlunya akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan.

Berdirinya Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada tahun 2008 menandai tonggak penting dalam reformasi pengadaan. LKPP bertugas mengembangkan kebijakan dan sistem pengadaan yang transparan dan efisien. Sejak saat itu, regulasi pengadaan diatur dalam Perpres yang terus diperbarui, termasuk Perpres No. 12 Tahun 2021 yang menjadi regulasi pengadaan terbaru.

Namun, meskipun sistem pengadaan telah berevolusi, praktik korupsi belum sepenuhnya hilang. Evolusi sistem ternyata tidak secepat evolusi modus korupsi.

2. Modus-Modus Korupsi dalam Pengadaan: Dari yang Tradisional hingga yang Canggih

Korupsi dalam pengadaan tidak selalu tampak secara kasat mata. Ia bisa tersembunyi dalam dokumen tender, dalam komunikasi informal antar pelaku, atau bahkan dalam sistem elektronik yang tampak sempurna. Berikut adalah beberapa modus yang masih ditemukan:

a. Pengaturan Tender (Tender Arrangement)

Salah satu modus paling klasik adalah pengaturan tender, di mana penyedia yang dimenangkan sudah ditentukan sebelum proses dimulai. Ini bisa terjadi melalui pengondisian spesifikasi teknis, pemecahan paket pekerjaan agar jatuh ke vendor tertentu, atau melalui kolusi antar peserta tender.

b. Mark-up dan Penggelembungan Harga

Modus ini terjadi ketika nilai kontrak dinaikkan dari nilai sebenarnya. Pelaku bisa memanfaatkan kekosongan dalam perhitungan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau melakukan manipulasi spesifikasi teknis agar harga menjadi tidak wajar.

c. Fiktif dan Barang Tidak Sesuai

Pada tahap pelaksanaan, penyedia bisa tidak menyuplai barang sesuai kontrak, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Bahkan, dalam beberapa kasus ekstrem, pengadaan bisa benar-benar fiktif—tidak ada barang atau jasa yang diterima, hanya dokumen yang menunjukkan seolah-olah sudah ada kegiatan.

d. Gratifikasi dan Suap

Suap masih menjadi modus utama. Pelaku pengadaan bisa menerima imbalan dari penyedia sebagai kompensasi atas “bantuan” memenangkan tender. Dalam dunia birokrasi, praktik ini sering dibungkus dengan istilah “uang terima kasih” atau “fee proyek”, seolah menjadi hal wajar.

3. Celah Sistemik: Di Mana Letak Kerentanannya?

Jika kita ingin menghapus korupsi, kita harus melihat bukan hanya pelaku, tetapi juga sistem yang memungkinkan mereka beroperasi. Beberapa celah sistemik yang masih terbuka antara lain:

a. Lemahnya Perencanaan dan Identifikasi Kebutuhan

Korupsi bisa dimulai sejak tahap perencanaan. Ketika kebutuhan barang atau jasa tidak dirancang dengan baik, maka muncul peluang manipulasi spesifikasi. Penyedia tertentu bisa “membisikkan” desain kebutuhan agar sesuai dengan produk atau jasa yang mereka miliki.

b. Tidak Transparannya Proses Penunjukan Langsung

Meskipun penunjukan langsung hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu (misalnya keadaan darurat), praktik ini sering disalahgunakan. Karena tidak melalui proses tender terbuka, kontrol publik pun menjadi lemah. Celah ini bisa menjadi jalur pintas yang menghindari proses kompetitif.

c. Peran Konsultan dan Rekanan yang Tidak Netral

Dalam pengadaan besar, peran konsultan pengawas atau konsultan perencana sangat penting. Namun, dalam beberapa kasus, konsultan justru menjadi perpanjangan tangan penyedia. Mereka bisa mengondisikan laporan pengawasan atau menyetujui hasil pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi.

d. Konflik Kepentingan yang Tak Terlacak

Konflik kepentingan terjadi ketika pejabat pengadaan atau pejabat pembuat komitmen memiliki hubungan dengan penyedia. Ini bisa berupa hubungan keluarga, kepemilikan saham, atau afiliasi politik. Dalam sistem yang tidak terbuka, konflik ini sulit dideteksi.

4. Digitalisasi: Solusi atau Sekadar Ilusi?

Salah satu langkah besar dalam upaya menutup celah korupsi adalah digitalisasi proses pengadaan. Sistem seperti SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik), e-Katalog, dan e-Kontrak diharapkan mampu menciptakan transparansi dan jejak digital.

Namun, apakah digitalisasi telah menjadi solusi yang tuntas?

a. Keunggulan Digitalisasi

Dengan sistem digital, setiap proses dapat ditelusuri. Data pengadaan bisa dianalisis untuk mendeteksi pola tidak wajar. Sistem juga membatasi interaksi fisik antar pelaku, mengurangi peluang kolusi informal.

b. Celah dalam Sistem Elektronik

Sayangnya, sistem digital tetap bisa dimanipulasi. Pegawai yang memiliki akses ke sistem bisa mengatur pemenang tender dengan rekayasa dokumen. Beberapa kasus bahkan menunjukkan sistem diakses oleh oknum dari luar instansi. Selain itu, jika database pengadaan tidak terbuka untuk publik, maka transparansi hanya ilusi.

5. Mengapa Korupsi di Pengadaan Sulit Diberantas?

Meski berbagai instrumen pencegahan telah diterapkan, mengapa korupsi di pengadaan masih terjadi? Beberapa faktor yang menjadi penyebab utama:

a. Budaya Organisasi yang Tidak Mendukung Integritas

Korupsi bisa terjadi karena dianggap sebagai “tradisi”. Jika lingkungan kerja tidak menumbuhkan etika dan integritas, maka pelanggaran dianggap sebagai hal biasa. Bahkan, ASN yang ingin bekerja jujur bisa dianggap tidak “kooperatif”.

b. Lemahnya Pengawasan Internal dan Eksternal

Pengawasan internal seringkali hanya formalitas. Sementara pengawasan eksternal (misalnya BPK atau KPK) bersifat reaktif, yakni setelah terjadi masalah. Ketika pengawasan tidak berjalan simultan, maka pelanggaran bisa lepas dari perhatian.

c. Tidak Optimalnya Perlindungan Whistleblower

Pegawai yang mengetahui adanya pelanggaran sering enggan melapor karena takut mengalami intimidasi atau dikucilkan. Tanpa perlindungan yang kuat, informasi awal atas pelanggaran tidak bisa muncul ke permukaan.

6. Celah Hukum dan Penegakan yang Belum Tegas

Regulasi pengadaan memang terus diperbarui, tetapi tidak selalu diiringi dengan penegakan hukum yang efektif. Banyak kasus korupsi pengadaan yang penanganannya lambat, atau pelaku utamanya tidak tersentuh hukum.

Sebagian pelaku bahkan bisa kembali ke jabatan strategis setelah bebas dari hukuman. Hal ini menciptakan efek jera yang lemah, bahkan memperkuat persepsi bahwa korupsi bisa menjadi jalan pintas dengan risiko minimal.

7. Upaya dan Inovasi untuk Menutup Celah

Walaupun tantangan besar, bukan berarti tidak ada harapan. Sejumlah inisiatif baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil telah terbukti efektif dalam memperkecil ruang korupsi:

a. Peningkatan Partisipasi Publik

Transparansi akan lebih bermakna jika masyarakat ikut mengawasi. Beberapa daerah mulai melibatkan LSM dan akademisi dalam proses evaluasi pengadaan. Portal LPSE yang terbuka juga memungkinkan jurnalis dan warga memantau proyek.

b. Integrasi Data dan Analitik Forensik

Dengan integrasi data antar instansi (misalnya data NPWP, data keuangan, dan data tender), potensi konflik kepentingan bisa dideteksi secara otomatis. Penggunaan data mining dan AI juga mulai diterapkan untuk mendeteksi pola penyimpangan.

c. Reformasi Pengadaan Berbasis Risiko

Sistem manajemen risiko dalam pengadaan memungkinkan instansi fokus pada area paling rentan. Misalnya, proyek infrastruktur bernilai tinggi harus memiliki pengawasan ekstra dibandingkan pengadaan rutin.

8. Refleksi: Apakah Celah Itu Akan Selalu Ada?

Dalam dunia ideal, pengadaan adalah proses rasional berbasis kebutuhan dan efisiensi. Namun dalam realitas, pengadaan adalah titik temu antara uang publik, kekuasaan, dan kepentingan bisnis. Dalam titik temu inilah korupsi menemukan ruangnya.

Akan selalu ada pelaku yang mencari cara untuk memanfaatkan celah. Maka tugas kita bukan hanya memperbaiki sistem, tetapi juga menanamkan integritas sebagai nilai yang hidup dalam birokrasi. Celah mungkin tidak bisa ditutup seratus persen, tapi bisa dipersempit hingga pelakunya tidak lagi leluasa.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Pengadaan Bersih

Jadi, masih adakah celah korupsi dalam pengadaan? Jawabannya adalah ya. Namun, celah itu bisa terus dipersempit jika sistem, pengawasan, dan budaya organisasi bekerja bersinergi.

Pengadaan yang bersih bukan hanya soal sistem yang baik, tetapi juga soal keberanian individu untuk melawan arus korupsi. Dibutuhkan kepemimpinan yang berintegritas, ASN yang profesional, dan masyarakat yang aktif mengawasi. Inovasi teknologi perlu didukung dengan etika birokrasi yang kuat.

Masa depan pengadaan Indonesia akan sangat ditentukan oleh keseriusan kita hari ini. Mari terus bertanya, mengawasi, dan memperbaiki—hingga celah itu benar-benar menyempit, dan korupsi kehilangan ruangnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *