Memaksimalkan TKDN dalam Proses PBJ

Untuk menjawab tantangan membangun kemandirian industri nasional sekaligus memenuhi kewajiban regulasi, pemerintah Indonesia semakin menekankan pentingnya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam setiap proses Pengadaan Barang/Jasa (PBJ). Melalui kebijakan afirmatif, pemberian insentif, dan penyempurnaan regulasi, pelaku PBJ didorong untuk mengutamakan produk lokal agar menciptakan multiplier effect ekonomi domestik, memperkuat rantai pasok nasional, serta menambah nilai tambah bagi perekonomian. Artikel ini akan membahas secara panjang, terstruktur, dan mendalam bagaimana memaksimalkan TKDN dalam seluruh tahapan PBJ, mulai dari perencanaan hingga evaluasi paska-kontrak, termasuk rujukan kebijakan, metode perhitungan, strategi implementasi, tantangan, serta rekomendasi praktis.

1. Latar Belakang dan Urgensi TKDN

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) merupakan kebijakan strategis nasional yang dirancang untuk membangun kemandirian industri dalam negeri serta memperkuat struktur ekonomi nasional dari sisi produksi. Dalam konteks globalisasi dan keterbukaan perdagangan, kebijakan ini menjadi pilar utama untuk memperkuat daya saing produk lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap barang impor, khususnya dalam sektor-sektor strategis seperti konstruksi, manufaktur, teknologi informasi, alat kesehatan, dan energi.

Urgensi penguatan TKDN semakin nyata pascapandemi COVID-19, ketika berbagai negara—termasuk Indonesia—menyadari pentingnya memiliki sistem produksi dan rantai pasok yang tangguh secara domestik. Ketika impor terhambat oleh pembatasan logistik global, Indonesia mengalami kelangkaan barang tertentu karena tingginya ketergantungan terhadap bahan dan produk jadi dari luar negeri. Inilah momentum yang menguatkan kebijakan nasional untuk memperkuat produk dalam negeri melalui sistem pengadaan pemerintah, di mana belanja barang/jasa yang bernilai ratusan triliun rupiah setiap tahun dapat diarahkan menjadi motor penggerak ekonomi lokal.

Oleh karena itu, penerapan TKDN tidak hanya dimaknai sebagai alat administratif, tetapi juga sebagai strategi pembangunan jangka panjang yang berdampak luas. Pemerintah melalui UU Cipta Kerja dan instrumen turunannya seperti Perpres 16/2018, Perpres 12/2021, dan Perpres 46/2025 menjadikan TKDN sebagai instrumen utama dalam reformasi kebijakan pengadaan. Dalam dokumen-dokumen tersebut, disebutkan bahwa setiap proyek pengadaan oleh instansi pemerintah wajib memperhitungkan dan memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri sesuai ketersediaan dan tingkat kapasitas nasional.

Secara garis besar, ada lima dimensi strategis yang menjadi alasan utama mengapa TKDN menjadi perhatian serius:

  1. Meningkatkan nilai tambah lokal
    Dengan menggunakan bahan baku dari dalam negeri, melibatkan tenaga kerja lokal, dan memanfaatkan jasa domestik, setiap proyek PBJ akan menciptakan efek ekonomi yang menyebar ke berbagai sektor. Uang rakyat yang dibelanjakan oleh pemerintah akan kembali ke masyarakat dalam bentuk gaji, keuntungan usaha lokal, dan penguatan kapasitas produksi.
  2. Mempercepat alih teknologi dan know-how
    Dalam skema TKDN, penyedia besar (termasuk multinasional) didorong untuk bermitra dengan industri lokal. Kerja sama ini memungkinkan terjadinya transfer teknologi, perbaikan standar produksi, dan peningkatan kapabilitas teknis industri dalam negeri.
  3. Membangun ekosistem industri dan rantai pasok
    Kebijakan TKDN mendorong terciptanya suplai yang terorganisir di dalam negeri. Perusahaan besar akan terdorong untuk mencari subkontraktor lokal, memesan bahan baku dari produsen nasional, hingga membangun pabrik dan gudang di wilayah-wilayah pengadaan.
  4. Mendorong UMKM naik kelas
    Dengan keberpihakan kepada produk lokal, UMKM yang semula hanya menjadi penyedia informal dapat masuk ke pasar formal PBJ. Mereka berkesempatan menjadi subkontraktor, bahkan kontraktor utama, selama memenuhi kriteria TKDN dan persyaratan teknis.
  5. Mendukung pembangunan berkelanjutan
    Penyerapan tenaga kerja lokal dan penguatan kapasitas produksi domestik akan menekan kesenjangan regional, mengurangi pengangguran, dan mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terutama pada aspek pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (Goal 8).

Perlu dicatat bahwa dalam implementasinya, pemerintah telah menetapkan target capaian TKDN minimum, yakni 60% untuk barang dan 50% untuk jasa sebagaimana tercantum dalam Perpres 12/2021. Target ini kemudian ditingkatkan menjadi minimal 70% untuk barang strategis dan 60% untuk jasa dalam Perpres 46/2025. Kenaikan target ini tidak lepas dari hasil evaluasi atas rendahnya realisasi TKDN di sejumlah sektor selama lima tahun terakhir. Tantangan utamanya adalah masih banyak instansi pemerintah yang belum optimal dalam merancang spesifikasi teknis yang memfasilitasi produk lokal, serta minimnya pemahaman teknis pejabat pengadaan terhadap cara menghitung dan mengevaluasi TKDN.

Oleh karena itu, jika pemerintah serius ingin menjadikan PBJ sebagai instrumen penggerak industri nasional, maka penerapan TKDN tidak boleh berhenti pada dokumen perencanaan. TKDN harus menjadi dasar perumusan spesifikasi teknis, metode pemilihan penyedia, serta penilaian kinerja penyedia selama dan setelah pelaksanaan kontrak.

2. Kerangka Hukum dan Kebijakan TKDN dalam PBJ

Agar penerapan TKDN tidak menimbulkan ambiguitas dalam pelaksanaannya, pemerintah telah menetapkan landasan hukum yang jelas, rinci, dan bertingkat. Regulasi ini mencakup pengaturan mulai dari tingkat nasional (Perpres), sektoral (Permen/LKPP), hingga teknis pelaksanaannya dalam proses pengadaan.

Kerangka hukum utama yang menjadi acuan TKDN dalam PBJ meliputi:

  1. Perpres No. 16 Tahun 2018
    Ini adalah peraturan dasar pengadaan barang/jasa pemerintah yang pertama kali menekankan prinsip penggunaan produk dalam negeri sebagai bagian dari asas pengadaan. Dalam Pasal 26–28, dinyatakan bahwa instansi wajib menggunakan produk dalam negeri yang memiliki nilai TKDN sesuai batas minimal yang ditetapkan, kecuali jika produk tersebut tidak tersedia atau tidak memenuhi spesifikasi teknis.
  2. Perpres No. 12 Tahun 2021
    Perpres ini merupakan perubahan dari Perpres 16/2018 yang menambahkan mekanisme insentif bagi penyedia yang menawarkan produk lokal dengan nilai TKDN tinggi. Di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pemberian bobot nilai TKDN dalam evaluasi teknis, pemberlakuan relaksasi metode pemilihan, serta pemberian kesempatan lebih besar kepada UMKM dan Koperasi.
  3. Perpres No. 46 Tahun 2025
    Peraturan ini menyempurnakan regulasi sebelumnya dengan menambahkan detail baru terkait kewajiban penyampaian dokumen TKDN yang terverifikasi, memperketat sanksi administratif terhadap penyedia yang memalsukan dokumen, serta mempertegas posisi TKDN dalam evaluasi tender sebagai faktor penentu. Perpres ini juga memperluas kewajiban TKDN pada sektor jasa profesional dan pekerjaan konstruksi.
  4. Peraturan LKPP dan Peraturan Menteri terkait
    LKPP sebagai otoritas PBJ nasional telah menerbitkan berbagai aturan teknis seperti mekanisme e-purchasing berbasis TKDN, sistem penilaian TKDN dalam e-catalogue, serta tata cara penghitungan dan pelaporan TKDN oleh penyedia. Di sisi lain, Kementerian Perindustrian menetapkan kebijakan mengenai Lembaga Sertifikasi TKDN (LSTK) yang berwenang menerbitkan sertifikat TKDN resmi bagi barang dan jasa produksi lokal.

Implikasi regulatif yang penting untuk diperhatikan antara lain:

  • Setiap paket PBJ yang melebihi nilai tertentu wajib mencantumkan Surat Perhitungan TKDN sebagai bagian dari dokumen administrasi dalam proses tender atau penunjukan langsung.
  • Tanpa dokumen TKDN yang sah, proses evaluasi dianggap tidak lengkap, dan penyedia dapat didiskualifikasi.
  • Dalam hal pengadaan melalui e-Katalog, produk dengan label “Produk Dalam Negeri” dan sertifikat TKDN akan mendapatkan peran prioritas, terutama untuk pembelanjaan APBN/APBD.
  • Insentif yang ditawarkan meliputi:
    • Tambahan skor teknis dalam evaluasi penawaran.
    • Akses relaksasi metode pemilihan, seperti penunjukan langsung atau tender cepat.
    • Perpanjangan otomatis kontrak (rolosing) jika kinerja penyedia sesuai spesifikasi dan target TKDN.
  • Sanksi administratif mencakup diskualifikasi, pencantuman dalam daftar hitam penyedia (blacklist), pencabutan sertifikasi, dan bahkan tuntutan hukum jika terjadi penyimpangan data TKDN.

Dengan kerangka hukum ini, seluruh instansi pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan lembaga pengguna anggaran publik lainnya diharapkan memegang prinsip bahwa pengadaan bukan hanya transaksi ekonomi, tetapi juga kebijakan strategis industri nasional. Oleh karena itu, pelaksanaan TKDN dalam PBJ harus menjadi standar operasional, bukan pilihan sukarela.

3. Metode Perhitungan TKDN

Agar implementasi TKDN tidak sekadar bersifat administratif, tetapi mampu mendorong terciptanya nilai tambah domestik yang nyata, proses perhitungan nilai TKDN harus dilakukan dengan metodologi yang tepat, transparan, dan terstandarisasi. Hal ini menjadi krusial, terutama saat produk digunakan dalam kegiatan pengadaan pemerintah, karena seluruh pihak—baik penyedia, pejabat pengadaan, maupun auditor—harus memiliki pemahaman yang sama terkait bagaimana TKDN dihitung dan dibuktikan.

3.1. Komponen Nilai TKDN

Dalam praktiknya, perhitungan TKDN terdiri dari dua komponen utama yang harus dikalkulasi secara proporsional, berdasarkan kontribusi nyata terhadap nilai akhir produk:

  • a. Komponen Nilai Bahan Baku dan Bahan Penolong Lokal
    Ini mencakup seluruh bahan fisik yang berasal dari dalam negeri, baik yang diproduksi langsung oleh penyedia maupun dibeli dari produsen lokal. Termasuk dalam komponen ini adalah:
    • Material utama (contoh: baja, kayu, plastik lokal)
    • Suku cadang dan komponen elektronika buatan lokal
    • Bahan penolong (lem, pelarut, zat pelapis, dll.) yang diproduksi oleh industri dalam negeri
    Komponen ini akan diakui sebagai bagian dari TKDN apabila dapat dibuktikan dengan dokumen pendukung yang sah, seperti faktur pembelian dari perusahaan lokal, sertifikat asal barang, atau dokumen distribusi resmi.
  • b. Komponen Nilai Jasa Lokal
    Nilai jasa meliputi kontribusi tenaga kerja dalam negeri yang digunakan untuk produksi, fabrikasi, perakitan, instalasi, pengujian, serta layanan purna jual. Selain itu, nilai jasa subkontraktor lokal juga masuk dalam komponen ini. Misalnya, jika suatu produk dirakit oleh tenaga kerja lokal dengan seluruh proses perakitan dilakukan di Indonesia, maka seluruh biaya upah dan operasional kerja dianggap sebagai bagian dari TKDN. Sama halnya dengan biaya jasa pengujian mutu, instalasi perangkat, hingga pelatihan yang dilakukan oleh vendor lokal.

Rumus dasar TKDN yang umum digunakan adalah:

TKDN (%)=(Nilai Total ProdukNilai Komponen Lokal​)×100%

Nilai total produk mencakup seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan satu unit produk atau layanan, termasuk bahan, jasa, biaya overhead, dan margin keuntungan. Sementara itu, nilai komponen lokal harus terverifikasi oleh Lembaga Sertifikasi TKDN (yang ditunjuk oleh Kementerian Perindustrian), agar dapat diakui secara legal.

Hal penting lainnya adalah keharusan sertifikasi resmi. TKDN yang digunakan sebagai dasar evaluasi pengadaan pemerintah tidak boleh berasal dari klaim sepihak penyedia, melainkan harus diverifikasi dan tercantum dalam Surat Keterangan TKDN yang diterbitkan oleh lembaga berwenang.

3.2. Value Scoring dalam Evaluasi Teknis

Penerapan TKDN tidak hanya berperan di tahap awal penyusunan spesifikasi teknis, tetapi juga menjadi bagian integral dalam proses evaluasi penyedia. Dalam sistem evaluasi teknis, dikenal istilah value scoring, yaitu metode penilaian komprehensif yang mempertimbangkan faktor kualitas, efisiensi, dan kontribusi lokal secara berimbang.

Dalam skema ini, TKDN diberi bobot tertentu (biasanya antara 10% hingga 20%) dalam perhitungan skor teknis. Semakin tinggi nilai TKDN suatu produk, maka semakin besar poin tambahan yang bisa diperoleh penyedia. Misalnya:

  • Produk A dengan TKDN 75% mendapat bobot maksimal (misalnya 20 poin),
  • Sementara Produk B dengan TKDN hanya 40% hanya mendapat 10 poin.

Dengan mekanisme ini, penyedia yang menawarkan produk dengan nilai TKDN tinggi tetap memiliki peluang menang meskipun harganya sedikit lebih mahal, karena total skor akhir lebih kompetitif. Kebijakan ini mendorong produsen nasional untuk meningkatkan nilai lokal produk mereka, bukan sekadar bersaing pada harga.

Penerapan sistem value scoring menjadikan TKDN bukan lagi sekadar syarat administratif, melainkan faktor strategis yang bisa memperkuat posisi tawar penyedia dalam proses pengadaan.

4. Strategi Memaksimalkan TKDN pada Tahap Perencanaan

Keberhasilan implementasi TKDN tidak bisa hanya dibebankan kepada penyedia barang/jasa saja. Justru, peran krusial berada pada tahap perencanaan PBJ, di mana kebutuhan dirumuskan, spesifikasi teknis disusun, dan metode pemilihan ditentukan. Pada tahap inilah peluang penggunaan produk lokal bisa dibuka selebar-lebarnya atau justru tertutup karena spesifikasi terlalu sempit atau terlalu mengarah ke merek tertentu.

4.1. Identifikasi Komponen Lokal yang Potensial

Langkah awal dalam merancang pengadaan berbasis TKDN adalah melakukan identifikasi awal atas potensi lokalisasi, baik dalam bentuk barang maupun jasa. Hal ini bisa dilakukan dengan:

  • Membuat basis data pemasok lokal
    Instansi pengadaan perlu memiliki daftar penyedia lokal yang telah tersertifikasi TKDN, termasuk kapasitas produksi, jenis produk yang dihasilkan, dan lokasi distribusi. Basis data ini bisa diperoleh dari e-Katalog, Lembaga Sertifikasi TKDN, atau asosiasi industri.
  • Melakukan kunjungan lapangan dan verifikasi teknis
    Tim perencana dapat melakukan studi teknis ke produsen dalam negeri untuk memastikan bahwa barang yang dibutuhkan tersedia secara lokal dan memenuhi spesifikasi minimum.
  • Mengintegrasikan informasi harga lokal dalam perhitungan HPS
    Harga Perkiraan Sendiri (HPS) harus mencerminkan potensi harga lokal, bukan hanya mengacu pada harga produk impor yang selama ini mendominasi pasar. Jika tidak, penyedia lokal akan sulit bersaing karena nilai HPS sudah menekan margin mereka.

Proses ini harus dilakukan secara sistematis dan terdokumentasi, karena menjadi dasar validasi jika pengadaan dengan preferensi produk lokal ditantang oleh pihak yang tidak setuju.

4.2. Penyusunan Spesifikasi Berbasis Kinerja, Bukan Merek

Salah satu penghambat utama penggunaan produk lokal dalam PBJ adalah penyusunan spesifikasi teknis yang terlalu rigid, mengacu pada satu merek atau produk luar negeri tertentu. Hal ini sering disebut dengan “closed specification” dan secara prinsip bertentangan dengan semangat kompetisi sehat.

Untuk memaksimalkan TKDN, instansi pemerintah disarankan menggunakan performance-based specification, yaitu:

  • Menyusun parameter kinerja teknis seperti daya tahan, efisiensi energi, kemampuan output, dimensi maksimal/minimal, dan sebagainya, tanpa menyebutkan merek.
  • Memberikan toleransi atas variasi desain dan fitur sepanjang fungsi utama dan hasil akhir tetap terpenuhi.
  • Menyertakan klausul opsional yang mendorong penggunaan produk lokal, misalnya: “Diutamakan produk dengan TKDN minimal 60% dan didukung surat verifikasi resmi dari LSTK.”

Dengan pendekatan ini, produk lokal memiliki ruang untuk bersaing secara fungsional, bahkan mungkin dapat memberikan nilai tambah lebih melalui layanan purna jual yang lebih cepat dan biaya logistik yang lebih rendah.

4.3. Kolaborasi dengan Industri dan Akademisi

Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam meningkatkan penerapan TKDN. Oleh karena itu, perlu dibangun ekosistem kolaboratif antara sektor publik, dunia usaha, dan lembaga akademik. Beberapa bentuk kolaborasi yang dapat dilakukan antara lain:

  • Forum diskusi sektor industri
    Unit kerja pengadaan dan Bappenas dapat mengadakan forum tahunan bersama asosiasi industri seperti Gapensi (konstruksi), AISI (otomotif), atau AKLI (kelistrikan) untuk memetakan potensi lokal, hambatan implementasi TKDN, dan merancang solusi konkret.
  • Kemitraan riset dan pengembangan (R&D)
    Universitas teknik dan politeknik lokal dapat dilibatkan untuk membantu penyedia lokal dalam mendesain ulang produk agar memenuhi spesifikasi pemerintah sekaligus meningkatkan komponen lokal di dalamnya.
  • Pengembangan cluster industri berbasis pengadaan pemerintah
    Jika pengadaan berskala besar dan berulang (seperti e-catalog kendaraan dinas, alat kesehatan, atau peralatan sekolah), pemerintah dapat mendorong terbentuknya pusat produksi regional yang melibatkan produsen, distributor, dan lembaga pelatihan lokal.

Kolaborasi seperti ini menciptakan lingkaran penguatan TKDN yang berkelanjutan, tidak hanya memperluas pangsa pasar produk lokal, tetapi juga meningkatkan kualitas, daya saing, dan kemandirian nasional di sektor strategis.

5. Tantangan dan Solusi Implementasi TKDN

Meskipun pemerintah telah memberikan berbagai insentif regulatif untuk mempercepat peningkatan TKDN, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan yang cukup kompleks dan multidimensi. Tantangan ini bersifat struktural, teknis, dan kultural, sehingga dibutuhkan pendekatan sistemik dan kolaboratif untuk mengatasinya.

5.1. Keterbatasan Kapasitas Industri Lokal

Tidak semua daerah memiliki ekosistem industri lokal yang siap menyuplai barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan PBJ. Masih banyak sektor pengadaan yang sangat tergantung pada produk impor karena belum ada substitusi lokal yang berkualitas setara atau cukup skala produksinya. Misalnya, untuk komponen elektronika presisi, alat kesehatan high-end, dan sistem digital, penyediaan dalam negeri masih sangat terbatas.

Solusi:

  • Pemerintah perlu memfasilitasi skema insentif fiskal dan non-fiskal bagi produsen dalam negeri yang bersedia melakukan alih teknologi dan ekspansi kapasitas produksi.
  • Penguatan program industrial deepening melalui kemitraan BUMN dan UMKM setempat juga penting agar tercipta rantai pasok lokal yang lebih kompetitif.

5.2. Rendahnya Tingkat Kesadaran dan Kompetensi Pejabat Pengadaan

Masih banyak pejabat pengadaan, terutama di daerah, yang belum memahami secara menyeluruh urgensi TKDN, cara menghitungnya, dan pentingnya mencantumkan aspek lokalitas dalam dokumen perencanaan. Akibatnya, TKDN hanya dijadikan formalitas tanpa dampak nyata pada isi paket pengadaan.

Solusi:

  • LKPP dan Kementerian Teknis harus lebih masif dalam menyelenggarakan pelatihan tematik tentang TKDN berbasis studi kasus nyata.
  • Perlu dibuat dashboard evaluasi kepatuhan TKDN di tiap daerah, agar kepala daerah dan inspektorat dapat memantau capaian target secara transparan.

5.3. Manipulasi Dokumen TKDN

Terdapat kasus di mana penyedia mengunggah dokumen TKDN palsu atau memanipulasi nilai perhitungan untuk mendapatkan bobot evaluasi lebih tinggi. Hal ini sangat membahayakan integritas proses PBJ dan merugikan penyedia lain yang benar-benar patuh.

Solusi:

  • Semua dokumen TKDN harus divalidasi langsung secara digital oleh sistem LKPP, bekerja sama dengan Kemenperin dan Lembaga Sertifikasi TKDN.
  • Penerapan sanksi administratif dan pidana terhadap penyedia nakal harus ditegakkan secara konsisten, termasuk blacklist nasional dan pencabutan izin.

5.4. Hambatan Teknis Integrasi Data dan Pelaporan

Saat ini, data TKDN pada SPSE, e-Katalog, dan SIMAK BMN belum seluruhnya terintegrasi secara otomatis. Hal ini menyebabkan ketidaksinkronan pelaporan dan menyulitkan auditor dalam memverifikasi tingkat capaian penggunaan produk lokal di proyek-proyek strategis.

Solusi:

  • Pengembangan sistem e-TKDN terintegrasi perlu diprioritaskan, agar proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pelaporan TKDN dapat dilakukan secara end-to-end melalui sistem tunggal yang saling terhubung antar platform nasional.

6. Rekomendasi Kebijakan Berbasis Data

Agar kebijakan TKDN semakin terukur, akuntabel, dan berdampak nyata bagi perekonomian nasional, perlu dirumuskan sejumlah rekomendasi berbasis data yang memperkuat intervensi pemerintah ke depan:

6.1. Tetapkan Target TKDN Sektoral Tahunan

Pemerintah sebaiknya tidak hanya menetapkan target nasional tunggal (misalnya 70% untuk barang), tetapi juga target sektoral per tahun. Contoh:

  • Sektor alat kesehatan → target TKDN 55% pada 2025
  • Sektor konstruksi jalan → target TKDN 75%
  • Sektor telekomunikasi → target TKDN 50%

Dengan demikian, setiap kementerian/lembaga teknis memiliki roadmap implementasi TKDN masing-masing sesuai tantangan sektoralnya.

6.2. Perluas Pencantuman TKDN dalam e-Katalog

Banyak produk dalam e-Katalog yang belum mencantumkan informasi TKDN secara eksplisit atau masih belum terverifikasi oleh LSTK. Hal ini menyebabkan banyak penyedia dengan nilai lokal tinggi tidak mendapatkan insentif dalam kompetisi katalog.

Rekomendasi:

  • LKPP wajibkan pencantuman nilai TKDN sebagai atribut utama dalam setiap produk di e-Katalog.
  • Sistem pemeringkatan produk berdasarkan TKDN juga bisa diterapkan agar penyedia termotivasi meningkatkan nilai lokalnya.

6.3. Tambahkan Komponen TKDN dalam Standar Kinerja Kontrak

Dalam kontrak pengadaan strategis bernilai besar, pemerintah sebaiknya menambahkan komitmen TKDN sebagai deliverable kontrak. Artinya, penyedia tidak hanya diminta menyuplai barang, tetapi juga membuktikan realisasi nilai lokal dalam pelaksanaan.

Realisasi ini harus diverifikasi dan menjadi salah satu indikator keberhasilan proyek. Jika penyedia gagal mencapai nilai TKDN yang dijanjikan, dapat dikenakan penalti atau pemotongan pembayaran termin.

6.4. Libatkan Masyarakat dan LSM dalam Pengawasan TKDN

Pengawasan pelaksanaan TKDN tidak cukup hanya dari internal pemerintah. Perlu dibangun mekanisme partisipatif yang memungkinkan masyarakat, akademisi, jurnalis, dan LSM memantau sejauh mana proyek PBJ benar-benar menggunakan produk lokal.

Langkah-langkah seperti publikasi data TKDN proyek strategis, dashboard keterbukaan data PBJ daerah, serta pelibatan masyarakat sipil dalam musrenbang dapat menjadi sarana kontrol sosial yang mendorong ketaatan pada aturan.

7. Penutup: TKDN sebagai Pilar Kedaulatan Ekonomi

Di tengah arus globalisasi dan dominasi produk impor, kebijakan TKDN dalam PBJ bukan hanya soal peningkatan kandungan lokal, tetapi merupakan bentuk strategi kedaulatan ekonomi nasional. Dengan memastikan bahwa setiap belanja negara berdampak langsung pada industri dalam negeri, pemerintah secara perlahan membangun ketahanan ekonomi dari sisi produksi.

Penerapan TKDN yang maksimal akan menciptakan ekosistem industri nasional yang:

  • Mandiri secara teknologi
  • Terhubung dalam rantai pasok antar daerah
  • Menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal
  • Meningkatkan devisa melalui substitusi impor

Namun keberhasilan ini sangat tergantung pada integritas sistem pengadaan, kompetensi pejabat, kesiapan penyedia, serta sinergi antarsektor. Pemerintah, penyedia, akademisi, dan masyarakat perlu berjalan beriringan dalam mendorong realisasi TKDN bukan hanya sebagai angka, melainkan sebagai kontrak moral untuk memajukan bangsa melalui belanja negara.

Dengan memperkuat landasan regulasi, merancang kebijakan berbasis data, serta mendorong perubahan perilaku birokrasi dan penyedia, Indonesia tidak hanya akan sukses dalam mencapai target TKDN, tetapi juga dalam memperkuat fondasi ekonomi nasional berbasis produksi dan inovasi domestik.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *