Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Untuk menjawab tantangan membangun kemandirian industri nasional sekaligus memenuhi kewajiban regulasi, pemerintah Indonesia semakin menekankan pentingnya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam setiap proses Pengadaan Barang/Jasa (PBJ). Melalui kebijakan afirmatif, pemberian insentif, dan penyempurnaan regulasi, pelaku PBJ didorong untuk mengutamakan produk lokal agar menciptakan multiplier effect ekonomi domestik, memperkuat rantai pasok nasional, serta menambah nilai tambah bagi perekonomian. Artikel ini akan membahas secara panjang, terstruktur, dan mendalam bagaimana memaksimalkan TKDN dalam seluruh tahapan PBJ, mulai dari perencanaan hingga evaluasi paska-kontrak, termasuk rujukan kebijakan, metode perhitungan, strategi implementasi, tantangan, serta rekomendasi praktis.
Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) merupakan kebijakan strategis nasional yang dirancang untuk membangun kemandirian industri dalam negeri serta memperkuat struktur ekonomi nasional dari sisi produksi. Dalam konteks globalisasi dan keterbukaan perdagangan, kebijakan ini menjadi pilar utama untuk memperkuat daya saing produk lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap barang impor, khususnya dalam sektor-sektor strategis seperti konstruksi, manufaktur, teknologi informasi, alat kesehatan, dan energi.
Urgensi penguatan TKDN semakin nyata pascapandemi COVID-19, ketika berbagai negara—termasuk Indonesia—menyadari pentingnya memiliki sistem produksi dan rantai pasok yang tangguh secara domestik. Ketika impor terhambat oleh pembatasan logistik global, Indonesia mengalami kelangkaan barang tertentu karena tingginya ketergantungan terhadap bahan dan produk jadi dari luar negeri. Inilah momentum yang menguatkan kebijakan nasional untuk memperkuat produk dalam negeri melalui sistem pengadaan pemerintah, di mana belanja barang/jasa yang bernilai ratusan triliun rupiah setiap tahun dapat diarahkan menjadi motor penggerak ekonomi lokal.
Oleh karena itu, penerapan TKDN tidak hanya dimaknai sebagai alat administratif, tetapi juga sebagai strategi pembangunan jangka panjang yang berdampak luas. Pemerintah melalui UU Cipta Kerja dan instrumen turunannya seperti Perpres 16/2018, Perpres 12/2021, dan Perpres 46/2025 menjadikan TKDN sebagai instrumen utama dalam reformasi kebijakan pengadaan. Dalam dokumen-dokumen tersebut, disebutkan bahwa setiap proyek pengadaan oleh instansi pemerintah wajib memperhitungkan dan memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri sesuai ketersediaan dan tingkat kapasitas nasional.
Secara garis besar, ada lima dimensi strategis yang menjadi alasan utama mengapa TKDN menjadi perhatian serius:
Perlu dicatat bahwa dalam implementasinya, pemerintah telah menetapkan target capaian TKDN minimum, yakni 60% untuk barang dan 50% untuk jasa sebagaimana tercantum dalam Perpres 12/2021. Target ini kemudian ditingkatkan menjadi minimal 70% untuk barang strategis dan 60% untuk jasa dalam Perpres 46/2025. Kenaikan target ini tidak lepas dari hasil evaluasi atas rendahnya realisasi TKDN di sejumlah sektor selama lima tahun terakhir. Tantangan utamanya adalah masih banyak instansi pemerintah yang belum optimal dalam merancang spesifikasi teknis yang memfasilitasi produk lokal, serta minimnya pemahaman teknis pejabat pengadaan terhadap cara menghitung dan mengevaluasi TKDN.
Oleh karena itu, jika pemerintah serius ingin menjadikan PBJ sebagai instrumen penggerak industri nasional, maka penerapan TKDN tidak boleh berhenti pada dokumen perencanaan. TKDN harus menjadi dasar perumusan spesifikasi teknis, metode pemilihan penyedia, serta penilaian kinerja penyedia selama dan setelah pelaksanaan kontrak.
Agar penerapan TKDN tidak menimbulkan ambiguitas dalam pelaksanaannya, pemerintah telah menetapkan landasan hukum yang jelas, rinci, dan bertingkat. Regulasi ini mencakup pengaturan mulai dari tingkat nasional (Perpres), sektoral (Permen/LKPP), hingga teknis pelaksanaannya dalam proses pengadaan.
Kerangka hukum utama yang menjadi acuan TKDN dalam PBJ meliputi:
Implikasi regulatif yang penting untuk diperhatikan antara lain:
Dengan kerangka hukum ini, seluruh instansi pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan lembaga pengguna anggaran publik lainnya diharapkan memegang prinsip bahwa pengadaan bukan hanya transaksi ekonomi, tetapi juga kebijakan strategis industri nasional. Oleh karena itu, pelaksanaan TKDN dalam PBJ harus menjadi standar operasional, bukan pilihan sukarela.
Agar implementasi TKDN tidak sekadar bersifat administratif, tetapi mampu mendorong terciptanya nilai tambah domestik yang nyata, proses perhitungan nilai TKDN harus dilakukan dengan metodologi yang tepat, transparan, dan terstandarisasi. Hal ini menjadi krusial, terutama saat produk digunakan dalam kegiatan pengadaan pemerintah, karena seluruh pihak—baik penyedia, pejabat pengadaan, maupun auditor—harus memiliki pemahaman yang sama terkait bagaimana TKDN dihitung dan dibuktikan.
Dalam praktiknya, perhitungan TKDN terdiri dari dua komponen utama yang harus dikalkulasi secara proporsional, berdasarkan kontribusi nyata terhadap nilai akhir produk:
Rumus dasar TKDN yang umum digunakan adalah:
TKDN (%)=(Nilai Total ProdukNilai Komponen Lokal)×100%
Nilai total produk mencakup seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan satu unit produk atau layanan, termasuk bahan, jasa, biaya overhead, dan margin keuntungan. Sementara itu, nilai komponen lokal harus terverifikasi oleh Lembaga Sertifikasi TKDN (yang ditunjuk oleh Kementerian Perindustrian), agar dapat diakui secara legal.
Hal penting lainnya adalah keharusan sertifikasi resmi. TKDN yang digunakan sebagai dasar evaluasi pengadaan pemerintah tidak boleh berasal dari klaim sepihak penyedia, melainkan harus diverifikasi dan tercantum dalam Surat Keterangan TKDN yang diterbitkan oleh lembaga berwenang.
Penerapan TKDN tidak hanya berperan di tahap awal penyusunan spesifikasi teknis, tetapi juga menjadi bagian integral dalam proses evaluasi penyedia. Dalam sistem evaluasi teknis, dikenal istilah value scoring, yaitu metode penilaian komprehensif yang mempertimbangkan faktor kualitas, efisiensi, dan kontribusi lokal secara berimbang.
Dalam skema ini, TKDN diberi bobot tertentu (biasanya antara 10% hingga 20%) dalam perhitungan skor teknis. Semakin tinggi nilai TKDN suatu produk, maka semakin besar poin tambahan yang bisa diperoleh penyedia. Misalnya:
Dengan mekanisme ini, penyedia yang menawarkan produk dengan nilai TKDN tinggi tetap memiliki peluang menang meskipun harganya sedikit lebih mahal, karena total skor akhir lebih kompetitif. Kebijakan ini mendorong produsen nasional untuk meningkatkan nilai lokal produk mereka, bukan sekadar bersaing pada harga.
Penerapan sistem value scoring menjadikan TKDN bukan lagi sekadar syarat administratif, melainkan faktor strategis yang bisa memperkuat posisi tawar penyedia dalam proses pengadaan.
Keberhasilan implementasi TKDN tidak bisa hanya dibebankan kepada penyedia barang/jasa saja. Justru, peran krusial berada pada tahap perencanaan PBJ, di mana kebutuhan dirumuskan, spesifikasi teknis disusun, dan metode pemilihan ditentukan. Pada tahap inilah peluang penggunaan produk lokal bisa dibuka selebar-lebarnya atau justru tertutup karena spesifikasi terlalu sempit atau terlalu mengarah ke merek tertentu.
Langkah awal dalam merancang pengadaan berbasis TKDN adalah melakukan identifikasi awal atas potensi lokalisasi, baik dalam bentuk barang maupun jasa. Hal ini bisa dilakukan dengan:
Proses ini harus dilakukan secara sistematis dan terdokumentasi, karena menjadi dasar validasi jika pengadaan dengan preferensi produk lokal ditantang oleh pihak yang tidak setuju.
Salah satu penghambat utama penggunaan produk lokal dalam PBJ adalah penyusunan spesifikasi teknis yang terlalu rigid, mengacu pada satu merek atau produk luar negeri tertentu. Hal ini sering disebut dengan “closed specification” dan secara prinsip bertentangan dengan semangat kompetisi sehat.
Untuk memaksimalkan TKDN, instansi pemerintah disarankan menggunakan performance-based specification, yaitu:
Dengan pendekatan ini, produk lokal memiliki ruang untuk bersaing secara fungsional, bahkan mungkin dapat memberikan nilai tambah lebih melalui layanan purna jual yang lebih cepat dan biaya logistik yang lebih rendah.
Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam meningkatkan penerapan TKDN. Oleh karena itu, perlu dibangun ekosistem kolaboratif antara sektor publik, dunia usaha, dan lembaga akademik. Beberapa bentuk kolaborasi yang dapat dilakukan antara lain:
Kolaborasi seperti ini menciptakan lingkaran penguatan TKDN yang berkelanjutan, tidak hanya memperluas pangsa pasar produk lokal, tetapi juga meningkatkan kualitas, daya saing, dan kemandirian nasional di sektor strategis.
Meskipun pemerintah telah memberikan berbagai insentif regulatif untuk mempercepat peningkatan TKDN, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan yang cukup kompleks dan multidimensi. Tantangan ini bersifat struktural, teknis, dan kultural, sehingga dibutuhkan pendekatan sistemik dan kolaboratif untuk mengatasinya.
Tidak semua daerah memiliki ekosistem industri lokal yang siap menyuplai barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan PBJ. Masih banyak sektor pengadaan yang sangat tergantung pada produk impor karena belum ada substitusi lokal yang berkualitas setara atau cukup skala produksinya. Misalnya, untuk komponen elektronika presisi, alat kesehatan high-end, dan sistem digital, penyediaan dalam negeri masih sangat terbatas.
Solusi:
Masih banyak pejabat pengadaan, terutama di daerah, yang belum memahami secara menyeluruh urgensi TKDN, cara menghitungnya, dan pentingnya mencantumkan aspek lokalitas dalam dokumen perencanaan. Akibatnya, TKDN hanya dijadikan formalitas tanpa dampak nyata pada isi paket pengadaan.
Solusi:
Terdapat kasus di mana penyedia mengunggah dokumen TKDN palsu atau memanipulasi nilai perhitungan untuk mendapatkan bobot evaluasi lebih tinggi. Hal ini sangat membahayakan integritas proses PBJ dan merugikan penyedia lain yang benar-benar patuh.
Solusi:
Saat ini, data TKDN pada SPSE, e-Katalog, dan SIMAK BMN belum seluruhnya terintegrasi secara otomatis. Hal ini menyebabkan ketidaksinkronan pelaporan dan menyulitkan auditor dalam memverifikasi tingkat capaian penggunaan produk lokal di proyek-proyek strategis.
Solusi:
Agar kebijakan TKDN semakin terukur, akuntabel, dan berdampak nyata bagi perekonomian nasional, perlu dirumuskan sejumlah rekomendasi berbasis data yang memperkuat intervensi pemerintah ke depan:
Pemerintah sebaiknya tidak hanya menetapkan target nasional tunggal (misalnya 70% untuk barang), tetapi juga target sektoral per tahun. Contoh:
Dengan demikian, setiap kementerian/lembaga teknis memiliki roadmap implementasi TKDN masing-masing sesuai tantangan sektoralnya.
Banyak produk dalam e-Katalog yang belum mencantumkan informasi TKDN secara eksplisit atau masih belum terverifikasi oleh LSTK. Hal ini menyebabkan banyak penyedia dengan nilai lokal tinggi tidak mendapatkan insentif dalam kompetisi katalog.
Rekomendasi:
Dalam kontrak pengadaan strategis bernilai besar, pemerintah sebaiknya menambahkan komitmen TKDN sebagai deliverable kontrak. Artinya, penyedia tidak hanya diminta menyuplai barang, tetapi juga membuktikan realisasi nilai lokal dalam pelaksanaan.
Realisasi ini harus diverifikasi dan menjadi salah satu indikator keberhasilan proyek. Jika penyedia gagal mencapai nilai TKDN yang dijanjikan, dapat dikenakan penalti atau pemotongan pembayaran termin.
Pengawasan pelaksanaan TKDN tidak cukup hanya dari internal pemerintah. Perlu dibangun mekanisme partisipatif yang memungkinkan masyarakat, akademisi, jurnalis, dan LSM memantau sejauh mana proyek PBJ benar-benar menggunakan produk lokal.
Langkah-langkah seperti publikasi data TKDN proyek strategis, dashboard keterbukaan data PBJ daerah, serta pelibatan masyarakat sipil dalam musrenbang dapat menjadi sarana kontrol sosial yang mendorong ketaatan pada aturan.
Di tengah arus globalisasi dan dominasi produk impor, kebijakan TKDN dalam PBJ bukan hanya soal peningkatan kandungan lokal, tetapi merupakan bentuk strategi kedaulatan ekonomi nasional. Dengan memastikan bahwa setiap belanja negara berdampak langsung pada industri dalam negeri, pemerintah secara perlahan membangun ketahanan ekonomi dari sisi produksi.
Penerapan TKDN yang maksimal akan menciptakan ekosistem industri nasional yang:
Namun keberhasilan ini sangat tergantung pada integritas sistem pengadaan, kompetensi pejabat, kesiapan penyedia, serta sinergi antarsektor. Pemerintah, penyedia, akademisi, dan masyarakat perlu berjalan beriringan dalam mendorong realisasi TKDN bukan hanya sebagai angka, melainkan sebagai kontrak moral untuk memajukan bangsa melalui belanja negara.
Dengan memperkuat landasan regulasi, merancang kebijakan berbasis data, serta mendorong perubahan perilaku birokrasi dan penyedia, Indonesia tidak hanya akan sukses dalam mencapai target TKDN, tetapi juga dalam memperkuat fondasi ekonomi nasional berbasis produksi dan inovasi domestik.