Mengenal Perpres 46/2025: Apa Dampaknya bagi Pengadaan?

Pendahuluan

Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 (“Perpres 46/2025”) ditetapkan pada tanggal 30 April 2025 dan mulai berlaku sejak saat itu. Perpres ini merupakan perubahan kedua atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebelumnya telah diubah oleh Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Inti dari perubahan ini adalah mengakomodasi berbagai dinamika dan tantangan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, antara lain percepatan pelaksanaan, peningkatan penggunaan produk dalam negeri, serta pengaturan yang lebih rinci terkait pengadaan di tingkat desa. Dengan cakupan yang meliputi Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa, Perpres 46/2025 diharapkan mampu menciptakan mekanisme pengadaan yang lebih efisien, transparan, serta mampu mendorong kemandirian ekonomi nasional melalui keterlibatan pelaku usaha lokal

Latar Belakang Penerbitan

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang kemudian diubah oleh Perpres Nomor 12 Tahun 2021, sejatinya telah menjadi tonggak penting dalam reformasi sistem pengadaan di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai dinamika, hambatan teknis, dan tantangan praktis muncul di berbagai tingkatan pemerintahan. Salah satu keluhan utama yang terus mengemuka adalah lambatnya proses lelang atau tender, terutama untuk pengadaan dengan nilai besar yang memerlukan evaluasi teknis komprehensif dan penyusunan dokumen yang kompleks. Proses ini, meskipun bertujuan untuk menjamin akuntabilitas dan kompetisi yang sehat, kerap kali justru memperlambat pelaksanaan program prioritas, terutama dalam konteks penyerapan anggaran yang dibatasi waktu tahun anggaran.

Selain itu, keterlibatan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) dalam sistem pengadaan pemerintah masih tergolong rendah. Banyak UKM kesulitan memenuhi persyaratan administratif, belum memiliki pengalaman proyek serupa, atau tidak mampu mengakses sistem elektronik yang menjadi tulang punggung proses pengadaan saat ini. Akibatnya, pasar pengadaan cenderung didominasi oleh penyedia besar yang memiliki kapasitas sumber daya, modal kerja, dan pengalaman yang lebih unggul. Ini bertolak belakang dengan semangat afirmatif yang terkandung dalam regulasi, di mana UKM seharusnya mendapat ruang khusus untuk berkembang melalui belanja pemerintah.

Masalah lain yang juga mengemuka adalah adanya celah dalam penggunaan mekanisme penunjukan langsung, terutama setelah adanya revisi pada Perpres 12/2021. Salah satu perubahan yang menjadi sorotan publik adalah perluasan kriteria pengadaan yang dapat dilakukan melalui penunjukan langsung, khususnya untuk kegiatan yang dikategorikan sebagai “program prioritas Presiden”. Ketentuan ini menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil, termasuk Indonesian Corruption Watch (ICW), karena membuka ruang subjektivitas yang besar. Dalam praktiknya, seorang menteri, kepala lembaga, atau kepala daerah dapat mengklasifikasikan suatu kegiatan sebagai program prioritas tanpa indikator obyektif yang ketat, sehingga memicu kekhawatiran akan praktik kolusi, nepotisme, dan konflik kepentingan.

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan internal di beberapa instansi, serta keterbatasan kapasitas inspektorat dalam memverifikasi kelayakan dan justifikasi penggunaan penunjukan langsung. Akibatnya, terjadi fenomena pelonggaran standar seleksi penyedia yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pengadaan, yaitu terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.

Oleh karena itu, muncul kebutuhan mendesak untuk menata ulang sistem pengadaan nasional dengan lebih cermat dan adaptif. Pemerintah menyadari bahwa efisiensi pelaksanaan tidak boleh mengorbankan integritas proses. Dalam kerangka inilah Perpres 46 Tahun 2025 diterbitkan, sebagai bentuk respons atas tantangan yang berkembang, serta sebagai penyeimbang antara kebutuhan untuk mempercepat pembangunan dan tuntutan untuk menjaga akuntabilitas serta pemerataan kesempatan usaha. Perpres ini diharapkan menjadi solusi komprehensif yang mampu mengakomodasi prinsip-prinsip good governance sekaligus merespons dinamika ekonomi nasional pasca pandemi dan tantangan geopolitik global yang memengaruhi rantai pasok dan harga barang/jasa.

Ruang Lingkup Perubahan

Perpres 46/2025 mengusung serangkaian perubahan mendasar dan teknis yang secara strategis ditujukan untuk memperbaiki tata kelola pengadaan barang/jasa pemerintah secara menyeluruh. Ruang lingkup perubahan yang tercantum dalam perpres ini tidak hanya sebatas revisi pasal-pasal yang bersifat prosedural, tetapi juga menyentuh pada aspek filosofi dasar dan paradigma pengadaan itu sendiri.

Pertama, pada tataran definisi dan prinsip dasar pengadaan, Perpres ini secara eksplisit menegaskan kembali nilai-nilai utama yang selama ini menjadi pedoman: efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Penegasan ini penting dalam konteks semakin meningkatnya tekanan terhadap aparat pengadaan untuk segera menyelesaikan proses belanja, terutama menjelang akhir tahun anggaran. Dalam tekanan waktu, sering kali aspek keterbukaan dan persaingan dikorbankan. Oleh karena itu, revisi ini ingin memastikan bahwa semangat awal reformasi pengadaan tetap menjadi pijakan utama dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan di semua level pemerintahan.

Kedua, Perpres 46/2025 mengubah ketentuan mengenai mekanisme pemilihan penyedia, dengan fokus pada penyesuaian nilai batasan untuk berbagai metode pemilihan. Salah satu poin penting adalah kenaikan batas nilai pengadaan langsung untuk pekerjaan konstruksi, dari Rp200 juta menjadi Rp400 juta. Ini memberikan ruang bagi unit kerja di daerah untuk lebih fleksibel dalam pengadaan infrastruktur berskala kecil tanpa perlu melalui tender terbuka, yang sering kali menghabiskan waktu cukup panjang. Namun di sisi lain, pemerintah tetap memberikan pagar agar tidak semua pengadaan kecil otomatis menggunakan penunjukan langsung, dengan menetapkan kewajiban analisis risiko dan validasi kebutuhan oleh pejabat pengadaan serta pengawasan internal.

Ketiga, dalam rangka memperkuat industri dalam negeri, perubahan besar dilakukan terhadap penggunaan Produk Dalam Negeri (PDN). Perpres ini menetapkan kewajiban minimal penggunaan komponen dalam negeri dalam setiap pengadaan barang/jasa, baik dalam bentuk barang jadi maupun bahan baku. Setiap penyedia wajib menyertakan dokumen TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri), dan panitia pengadaan harus memberikan bobot nilai tertentu bagi produk dengan komposisi lokal tinggi dalam evaluasi penawaran. Pemerintah bahkan menyiapkan sistem pelaporan kinerja PDN melalui aplikasi SIMAPRO (Sistem Informasi Manajemen Produk Dalam Negeri), yang akan menjadi dasar evaluasi kinerja pejabat pengadaan dan pimpinan unit kerja.

Keempat, perubahan juga menyasar pada penyederhanaan proses dan percepatan pelaksanaan pengadaan, melalui integrasi sistem elektronik terbaru yang mengusung prinsip interoperabilitas antar aplikasi. Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) versi 5.0 yang mulai diterapkan pada 2025 akan mendukung fitur auto-verifikasi dokumen, e-audit, serta koneksi langsung ke sistem perencanaan anggaran dan monitoring pelaksanaan kegiatan (e-planning dan e-monitoring). Langkah ini akan memangkas proses administratif yang redundan, serta meminimalkan kesalahan input dan keterlambatan lelang akibat kelalaian manual.

Kelima, Perpres 46/2025 secara eksplisit memasukkan ketentuan khusus tentang pengadaan di desa, yang sebelumnya hanya diatur melalui Permendagri dan regulasi sektoral lainnya. Dalam revisi ini, pemerintah pusat memberikan pedoman standar untuk pengadaan desa, termasuk nilai ambang batas, metode pemilihan penyedia, serta mekanisme pelaporan. Tujuannya adalah menyatukan standar pengadaan agar lebih terkontrol, meningkatkan akuntabilitas penggunaan Dana Desa yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun, serta mendorong pembangunan desa berbasis partisipasi dan pengawasan publik.

Dengan cakupan perubahan yang begitu luas dan terstruktur, setiap unit kerja – baik di tingkat pusat maupun daerah – dituntut untuk segera melakukan penyesuaian. Ini mencakup revisi terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) internal, penguatan sistem pengendalian intern, pelatihan bagi pejabat pengadaan, serta pengembangan platform pendukung seperti dashboard monitoring dan sistem peringatan dini (early warning system) untuk deteksi dini potensi deviasi dari prosedur.

Perubahan Mekanisme Pengadaan

Salah satu poin perubahan paling strategis yang dihadirkan oleh Perpres 46/2025 adalah reformulasi mekanisme pemilihan penyedia barang/jasa. Selama ini, kendala utama yang kerap dialami oleh pejabat pengadaan adalah kesulitan dalam memilih metode pemilihan penyedia yang paling tepat, terutama ketika nilai pengadaan mendekati batas ambang yang mengharuskan pelelangan. Dalam konteks ini, Perpres memberikan panduan yang lebih fleksibel, namun tetap dalam kerangka transparansi dan akuntabilitas.

Sebagai contoh, untuk pengadaan barang/jasa dengan nilai di bawah Rp 200 juta, Perpres memperkenalkan pendekatan baru berupa Direct E-Purchasing, yaitu pemesanan langsung dari penyedia yang telah terdaftar dalam e-katalog nasional. Ini mempercepat proses dengan menghilangkan tahapan administrasi lelang, sambil tetap memastikan aspek transparansi karena harga, spesifikasi, dan penyedia telah ditayangkan secara publik dalam platform resmi. Inovasi ini sangat bermanfaat untuk satuan kerja di daerah atau sektor pendidikan dan kesehatan yang membutuhkan barang secara cepat dan berulang.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa penunjukan langsung tidak dihapuskan, melainkan diperketat secara tata kelola. Untuk dapat melakukan penunjukan langsung atas dasar “program prioritas nasional”, unit kerja harus menyertakan dokumen justifikasi risiko, termasuk analisis ketergantungan waktu, dampak keterlambatan terhadap capaian output program, serta penilaian integritas penyedia. Dokumen ini wajib disetujui oleh inspektorat internal atau auditor independen sebelum proses pengadaan dilakukan. Ketentuan ini menjadi semacam filter terhadap kecenderungan penyalahgunaan penunjukan langsung yang rawan kolusi dan konflik kepentingan.

Lebih lanjut, Perpres 46/2025 menambahkan ketentuan bahwa seluruh proses pengadaan yang menggunakan metode non-lelang wajib disimpan dalam log digital SPSE, yang dapat diakses oleh APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah), KPK, dan BPK secara real time. Ini merupakan upaya konkret dalam membangun pengawasan berbasis data dan mencegah potensi manipulasi proses yang bersifat manual dan tidak terdokumentasi.

Untuk paket pengadaan bernilai besar, evaluasi teknis dan harga kini dapat dilakukan secara paralel. Ini artinya, panitia pengadaan tidak perlu menunggu hasil evaluasi teknis untuk membuka penawaran harga – keduanya bisa dijalankan secara bersamaan dengan sistem pengunci digital. Selain mempercepat proses, ini juga meminimalkan potensi kebocoran informasi dan manipulasi skor teknis yang sering menjadi perdebatan di masa lalu.

Dengan berbagai penyesuaian mekanisme tersebut, Perpres 46/2025 tidak sekadar menjadi regulasi normatif, tetapi juga berfungsi sebagai kerangka operasional dinamis yang menyesuaikan diri dengan tantangan masa kini. Pemerintah berharap pendekatan baru ini akan menciptakan sistem pengadaan yang lebih agile, efisien, dan terpercaya tanpa mengabaikan prinsip dasar good governance dan pemberdayaan pelaku lokal.

Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri

Salah satu semangat utama yang diusung oleh Perpres 46/2025 adalah penguatan penggunaan Produk Dalam Negeri (PDN) dalam seluruh aktivitas pengadaan barang dan jasa pemerintah. Upaya ini bukan hanya sekadar instruksi administratif, melainkan strategi ekonomi nasional yang bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap impor, meningkatkan kapasitas industri lokal, serta memperluas lapangan kerja domestik. Dalam kerangka tersebut, Perpres ini mengatur secara eksplisit bahwa setiap paket pengadaan barang wajib memenuhi minimal 60% nilai lokal, sementara untuk jasa ditetapkan batas minimum sebesar 50% konten lokal.

Penilaian terhadap komponen lokal ini tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan menggunakan mekanisme value scoring, yaitu metode evaluasi yang memberikan bobot lebih besar kepada produk atau penyedia dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) tinggi. Skor ini tidak hanya dilihat dari sisi harga, tetapi juga mempertimbangkan asal bahan baku, lokasi produksi, serta proporsi tenaga kerja lokal yang digunakan. Dengan pendekatan ini, penyedia barang/jasa yang sepenuhnya berbasis dalam negeri akan memiliki keunggulan kompetitif dalam proses evaluasi, bahkan jika harganya sedikit lebih tinggi dari penyedia asing.

Lebih lanjut, pemerintah memberikan insentif non-finansial yang bersifat langsung dan terukur. Salah satu insentif tersebut adalah tambahan poin dalam evaluasi, yang dapat menjadi faktor penentu dalam pemilihan penyedia. Selain itu, bagi penyedia yang secara konsisten memenuhi atau melampaui target TKDN, tersedia opsi perpanjangan masa kontrak secara otomatis, tanpa harus melalui proses seleksi ulang—tentu dengan evaluasi kinerja yang tetap dilakukan secara berkala.

Namun kebijakan ini tidak berdiri sendiri. Pemerintah juga menyediakan anggaran khusus untuk peningkatan kapasitas UMKM, terutama dalam bentuk pelatihan teknis, manajemen produksi, pemenuhan standar mutu, dan pendampingan legalitas usaha. Tujuan utamanya adalah agar UMKM dapat naik kelas, bukan hanya sebagai penyedia pelengkap atau subkontraktor, tetapi mampu menjadi penyedia utama dalam proyek-proyek strategis pemerintah. Ini sangat penting untuk memperkuat kemandirian ekonomi nasional, mempercepat alih teknologi, serta mengurangi dominasi perusahaan multinasional dalam sektor pengadaan strategis.

Dalam jangka panjang, kebijakan ini juga diarahkan untuk mendorong transformasi industri lokal, melalui peningkatan investasi pada sektor manufaktur, komponen elektronik, dan jasa berbasis teknologi. Pemerintah berharap pengadaan pemerintah dapat menjadi pasar awal (initial market) yang mendorong tumbuhnya produk inovatif dalam negeri, sehingga Indonesia tidak hanya menjadi pasar konsumtif, tetapi juga menjadi produsen utama di tingkat regional bahkan global.

Percepatan Proses Pengadaan

Efisiensi waktu dalam proses pengadaan merupakan salah satu indikator penting dalam keberhasilan pengelolaan anggaran dan realisasi program pembangunan. Dalam konteks ini, Perpres 46/2025 menempatkan percepatan proses pengadaan sebagai agenda prioritas yang ditopang oleh inovasi teknologi dan penyederhanaan birokrasi.

Salah satu langkah konkret yang diambil adalah pengurangan jumlah dokumen administratif yang harus disusun oleh panitia atau pejabat pengadaan. Sebelumnya, proses pengadaan sering kali terhambat oleh tumpukan formulir, dokumen evaluasi, dan surat-surat pendukung yang memerlukan validasi manual, berulang, dan memakan waktu. Kini, sebagian besar dokumen tersebut telah digantikan dengan standardized templates yang dapat diisi secara otomatis dan diintegrasikan langsung dalam sistem Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) versi 5.0.

SPSE versi terbaru ini menghadirkan fitur auto-fill, yaitu pengisian data secara otomatis berdasarkan informasi yang sudah pernah diinput sebelumnya. Selain itu, tersedia fitur real-time validation, yang mampu mendeteksi kesalahan input, ketidaksesuaian format, hingga potensi duplikasi dokumen dalam waktu singkat. Ini sangat membantu pejabat pengadaan dalam menjaga ketepatan dan kelengkapan administrasi, tanpa harus memeriksa seluruh dokumen secara manual.

Lebih canggih lagi, proses evaluasi kini dapat dilakukan dengan metode parallel processing, yaitu evaluasi teknis dan evaluasi harga tidak lagi dilakukan secara berurutan, melainkan secara bersamaan. Mekanisme ini mempersingkat waktu pemilihan penyedia hingga 30% dibandingkan proses konvensional. Hasil evaluasi tetap dijaga keamanannya dengan sistem enkripsi dan penguncian digital, untuk mencegah intervensi atau manipulasi data sebelum proses seleksi selesai.

Efisiensi ini sangat krusial, terutama bagi proyek-proyek yang harus dikerjakan dalam waktu singkat, seperti pengadaan logistik pasca-bencana, pembangunan fasilitas umum strategis, serta proyek tahun jamak (multiyears) yang memiliki tenggat waktu penyerapan anggaran ketat. Dengan pengurangan waktu pengadaan, pemerintah dapat mempercepat penyaluran anggaran dan mendorong perputaran ekonomi lokal secara lebih cepat dan merata.

Namun tentu saja, percepatan ini harus disertai dengan penguatan kapasitas SDM pengadaan, baik di pusat maupun daerah. Tanpa pemahaman teknis yang memadai, fitur-fitur canggih dalam SPSE tidak akan optimal digunakan. Oleh karena itu, program pelatihan digital procurement dan sertifikasi profesi pengadaan akan menjadi faktor kunci dalam keberhasilan implementasi percepatan pengadaan ini.

Pengaturan Pengadaan di Tingkat Desa

Dalam beberapa tahun terakhir, pengadaan di tingkat desa menjadi isu strategis dalam tata kelola keuangan negara. Dengan alokasi Dana Desa yang terus meningkat setiap tahunnya—mencapai lebih dari Rp 70 triliun pada 2024—pengelolaan keuangan desa, termasuk proses pengadaannya, menjadi perhatian utama pemerintah. Sebelumnya, pengadaan desa diatur secara sektoral melalui Permendagri dan tidak memiliki rujukan langsung dalam Perpres induk. Hal ini menyebabkan terjadinya fragmentasi kebijakan, ketidaksesuaian prosedur, serta rendahnya pengawasan terhadap belanja desa.

Perpres 46/2025 melakukan terobosan penting dengan secara eksplisit memasukkan pengadaan desa ke dalam ruang lingkup pengaturan pengadaan nasional. Dengan langkah ini, desa tidak lagi dipandang sebagai entitas terpisah, melainkan bagian integral dari sistem pemerintahan yang tunduk pada prinsip-prinsip pengadaan yang sama: efisien, transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Dalam Perpres ini, pengadaan jasa konsultansi dan barang modal skala desa diberikan ambang batas hingga Rp 100 juta untuk dapat dilakukan melalui metode langsung. Artinya, kepala desa atau perangkat desa dapat menunjuk penyedia tertentu tanpa melalui proses tender selama tetap memenuhi persyaratan administratif dan telah tercantum dalam rencana pengadaan tahunan. Untuk pengadaan dengan nilai lebih tinggi, desa wajib menggunakan e-catalog atau lelang terbuka, yang difasilitasi oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) tingkat kabupaten/kota.

Langkah ini bertujuan menciptakan standarisasi prosedur, memperkuat sistem pelaporan, serta membuka peluang partisipasi lebih besar dari pelaku usaha lokal desa dan sekitarnya. Tak kalah penting, integrasi pengadaan desa ke dalam sistem nasional juga membuka jalan bagi digitalisasi pengadaan desa, termasuk pelaporan real-time, pelacakan status pengadaan, serta penggunaan aplikasi mobile untuk verifikasi lapangan.

Dengan sistem baru ini, pengawasan terhadap pengadaan desa dapat dilakukan secara lebih sistematis oleh inspektorat daerah, BPKP, maupun APIP kabupaten. Harapannya, praktik penunjukan langsung fiktif, penggelembungan harga, hingga pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat desa dapat diminimalkan.

Lebih jauh, pengaturan ini juga diharapkan dapat meningkatkan penggunaan produk lokal desa, seperti material bangunan hasil produksi masyarakat setempat, jasa tukang lokal, maupun produk UMKM desa. Artinya, belanja desa tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan administratif, tetapi sebagai instrumen pembangunan ekonomi desa yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Dampak terhadap Pelaku Usaha

Salah satu kelompok yang akan paling merasakan dampak langsung dari implementasi Perpres 46/2025 adalah pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta Industri Kecil Menengah (IKM). Melalui penguatan kewajiban PDN, sistem evaluasi baru, dan pemanfaatan teknologi digital, Perpres ini membuka ruang partisipasi yang lebih besar dan inklusif bagi pelaku usaha lokal.

Kini, dengan diberlakukannya value scoring berbasis konten lokal, IKM tidak hanya dinilai berdasarkan harga semata, tetapi juga dari sejauh mana mereka memproduksi barang secara mandiri, menggunakan bahan lokal, dan mempekerjakan tenaga kerja lokal. Ini memberikan keunggulan kompetitif bagi pelaku usaha yang selama ini tidak mampu bersaing dalam hal harga dengan perusahaan besar atau penyedia asing.

Lebih jauh, Perpres ini mendorong kemitraan strategis antara usaha besar dengan UMKM melalui skema subkontrak atau konsorsium. Dalam proyek besar, pelaku usaha kecil dapat memperoleh bagian pekerjaan tertentu seperti instalasi, penyediaan komponen lokal, atau layanan purna jual. Ini mendorong transfer pengetahuan dan teknologi, memperluas jejaring bisnis, serta meningkatkan daya saing UMKM dalam jangka panjang.

Namun demikian, tantangan tetap ada. Banyak UMKM belum terbiasa dengan proses digital pengadaan, seperti penggunaan SPSE, input data TKDN, atau pelaporan berkala secara daring. Oleh karena itu, keberhasilan implementasi Perpres ini sangat bergantung pada pendampingan intensif dari pemerintah, asosiasi usaha, dan lembaga pelatihan dalam rangka membangun literasi pengadaan digital bagi pelaku usaha.

Selain itu, UMKM juga harus mulai menyesuaikan diri dengan standar kualitas dan kepatuhan administratif yang lebih ketat. Di masa lalu, masih banyak ditemukan pelaku usaha kecil yang hanya mengandalkan kedekatan personal dengan pejabat pengadaan. Dengan sistem yang lebih transparan dan terukur, keberhasilan kini ditentukan oleh kualitas produk, kesiapan dokumen, dan kemampuan pengelolaan proyek.

Pada akhirnya, Perpres 46/2025 menghadirkan peluang besar sekaligus tantangan struktural bagi dunia usaha. Jika dikelola dengan baik, kebijakan ini akan mempercepat proses industrialisasi lokal, memperluas basis pelaku usaha, dan menciptakan sistem pengadaan yang lebih adil, terbuka, dan memberdayakan.

Tantangan dan Risiko

Walaupun Perpres 46/2025 membawa banyak pembaruan yang progresif dan menjanjikan efisiensi sistem pengadaan barang/jasa pemerintah, implementasinya di lapangan tetap berhadapan dengan berbagai tantangan dan risiko nyata yang tidak dapat diabaikan. Setiap perubahan regulasi, terlebih yang menyentuh prosedur teknis dan manajerial lintas lembaga, hampir selalu menimbulkan resistensi serta problematika transisional yang memerlukan mitigasi menyeluruh.

Pertama, terdapat persoalan besar terkait kesenjangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur antara pusat dan daerah, khususnya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Di daerah-daerah ini, masih banyak pejabat pengadaan yang belum memiliki sertifikasi keahlian terbaru atau tidak familiar dengan sistem digital pengadaan versi terbaru. Akibatnya, adopsi SPSE 5.0 dan fitur-fitur pendukung lainnya bisa terhambat, bahkan menimbulkan kegagalan proses pengadaan yang berdampak pada keterlambatan proyek, rendahnya serapan anggaran, atau ketidaktepatan sasaran belanja publik. Kesenjangan ini juga meluas pada aspek infrastruktur, seperti koneksi internet yang tidak stabil, keterbatasan perangkat komputer yang memadai, serta tidak tersedianya dukungan teknis lapangan secara berkelanjutan.

Kedua, beban anggaran untuk biaya transisi menjadi tantangan tersendiri. Penerapan sistem baru, pelatihan ulang SDM, pengadaan perangkat lunak dan keras, serta adaptasi terhadap sistem pelaporan PDN yang baru, semuanya membutuhkan pendanaan yang tidak kecil. Tidak semua kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah memiliki fleksibilitas anggaran untuk mendanai proses ini dengan cepat. Tanpa dukungan fiskal dan insentif dari pusat, bisa terjadi ketimpangan implementasi yang mengakibatkan munculnya dualisme sistem — di mana sebagian unit kerja sudah menggunakan aturan baru, sementara yang lain masih tertinggal dengan prosedur lama.

Ketiga, muncul potensi resistensi atau backlash dari penyedia lama, terutama mereka yang selama ini terbiasa bekerja dengan mekanisme konvensional, termasuk yang kurang memperhatikan TKDN atau tidak memiliki struktur produksi dalam negeri. Perubahan regulasi yang mewajibkan pemenuhan konten lokal dan penggunaan sistem penilaian berbasis nilai lokal dapat dirasakan sebagai hambatan bisnis oleh penyedia lama. Akibatnya, bisa terjadi pengurangan jumlah peserta tender, gugatan hukum terhadap proses pengadaan, atau bahkan kolusi untuk memanipulasi nilai TKDN demi tetap lolos dalam seleksi.

Keempat, walaupun Perpres ini telah mempertegas batasan penggunaan penunjukan langsung dan memperkenalkan mekanisme mitigasi risiko, potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang tetap terbuka jika sistem pengawasan internal tidak diperkuat. Di beberapa lembaga atau daerah, masih terjadi kondisi di mana inspektorat lemah atau memiliki kedekatan struktural dengan pimpinan yang membuat fungsi kontrol tidak berjalan secara objektif. Hal ini membuka ruang interpretasi bebas terhadap apa yang dimaksud dengan “program prioritas nasional” atau “pengadaan mendesak”, yang pada akhirnya bisa menjadi pembenaran untuk melakukan penunjukan langsung tanpa justifikasi yang memadai.

Kelima, tantangan lain adalah literasi digital yang belum merata di kalangan UMKM. Meskipun Perpres ini memberikan ruang partisipasi lebih besar bagi UMKM dan IKM, nyatanya banyak pelaku usaha kecil masih gagap teknologi. Mereka belum terbiasa mengakses e-katalog, mendaftar di LPSE, atau memahami prosedur input dokumen melalui SPSE. Jika tidak ditangani dengan serius, hal ini justru membuat UMKM tetap tersingkir dari pasar pengadaan, dan celah ini bisa diambil alih kembali oleh pelaku usaha besar atau calo pengadaan yang tidak bertanggung jawab.

Oleh karena itu, tantangan-tantangan di atas tidak boleh dianggap sebagai hal sekunder. Perlu respons sistematis, lintas sektor, dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa semangat reformasi pengadaan yang dibawa oleh Perpres 46/2025 benar-benar mampu dilaksanakan secara merata, berkeadilan, dan akuntabel.

Rekomendasi dan Kesimpulan

Agar berbagai tujuan mulia dari Perpres 46 Tahun 2025 benar-benar dapat dicapai secara optimal, dibutuhkan serangkaian langkah strategis yang harus dijalankan secara konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Implementasi regulasi bukan hanya soal menyesuaikan prosedur administratif, melainkan soal perubahan kultur kerja, mentalitas pelayanan, dan kemampuan beradaptasi terhadap teknologi serta tantangan zaman.

Pertama, perlu dilakukan pelatihan dan peningkatan kapasitas (capacity building) yang bersifat intensif dan menyeluruh untuk seluruh pejabat pengadaan, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, maupun desa. Pelatihan ini tidak boleh hanya formalitas untuk mendapatkan sertifikat, tetapi harus berbasis praktik lapangan yang relevan, menggunakan studi kasus aktual, dan berorientasi pada problem solving. Materi pelatihan harus mencakup pemahaman prinsip dasar Perpres, penggunaan SPSE versi terbaru, penilaian TKDN, hingga teknik evaluasi berbasis value scoring. Kegiatan ini juga harus disertai dengan sistem uji kompetensi dan monitoring pasca pelatihan agar hasilnya tidak berhenti pada transfer pengetahuan, tetapi juga menghasilkan perubahan perilaku kerja.

Kedua, perlu ada pendampingan teknis khusus bagi UMKM, yang dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah, BUMN, universitas, dan asosiasi profesi. Inkubator bisnis dapat menjadi wahana untuk memperkuat kapasitas UMKM dalam memahami proses pengadaan, menyusun dokumen penawaran, meningkatkan kualitas produk, serta memenuhi standar mutu dan legalitas. Mentorship dari pelaku industri besar kepada UMKM juga perlu difasilitasi agar terjadi transfer pengetahuan, pembinaan berjenjang, serta tercipta rantai pasok nasional yang solid dan mandiri.

Ketiga, pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan internal, khususnya melalui optimalisasi peran Inspektorat, APIP, dan auditor internal. Setiap proses penunjukan langsung, justifikasi program prioritas, hingga pelaporan TKDN harus dapat diaudit secara elektronik dan real time. Audit berbasis digital dengan dashboard monitoring publik akan memudahkan deteksi dini terhadap potensi penyimpangan. Di sisi lain, perlu juga dibangun mekanisme whistleblower system yang aman, mudah diakses, dan ditindaklanjuti secara serius agar integritas proses pengadaan benar-benar terjaga.

Keempat, perlu dikembangkan kemitraan dan kolaborasi lintas sektor dalam implementasi Perpres ini. Kementerian/lembaga tidak bisa bekerja sendiri. Keterlibatan akademisi sebagai pihak netral dalam melakukan kajian dampak, asosiasi profesi dalam standarisasi kompetensi, serta LSM anti-korupsi sebagai mitra dalam pengawasan partisipatif akan sangat memperkuat legitimasi dan efektivitas kebijakan ini. Bahkan, keterlibatan media dan komunitas digital juga sangat penting untuk menyebarkan informasi pengadaan secara transparan dan inklusif.

Kelima, pemerintah harus menyediakan insentif dan sanksi yang seimbang. Unit kerja yang berhasil mencapai target penggunaan PDN, percepatan pengadaan, serta keterlibatan UMKM harus diberikan penghargaan, baik dalam bentuk anggaran tambahan, promosi pejabat, atau publikasi prestasi. Sebaliknya, unit yang menyimpang dari prinsip pengadaan, lamban dalam realisasi, atau tidak transparan dalam penunjukan langsung harus diberikan sanksi administratif atau bahkan pidana bila terdapat unsur penyalahgunaan wewenang.

Penutup

Perpres 46/2025 merupakan langkah progresif dalam membenahi sistem pengadaan nasional agar lebih adil, efisien, dan berpihak pada kepentingan dalam negeri. Di tengah dinamika ekonomi global, meningkatnya tuntutan publik atas transparansi, dan kebutuhan pembangunan yang semakin kompleks, pembaruan regulasi ini hadir sebagai bagian dari reformasi birokrasi berbasis akuntabilitas dan pemberdayaan.

Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kesungguhan semua pihak untuk menjalankan, mengawasi, dan menyempurnakan pelaksanaannya secara kolaboratif. Tanpa komitmen bersama, reformasi hanya akan berhenti pada teks hukum yang baik di atas kertas. Dengan strategi pelatihan, pendampingan, pengawasan, dan insentif yang seimbang, Perpres 46/2025 dapat menjadi instrumen nyata menuju pengadaan yang lebih profesional, berpihak kepada rakyat, serta mampu menjawab tantangan zaman.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *