Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Tender publik dan swasta merupakan mekanisme utama organisasi untuk mendapatkan barang dan jasa dengan prinsip kompetisi yang sehat. Namun, di balik proses seleksi yang terstruktur, terdapat risiko serius berupa “permainan harga” (bid rigging) yang merugikan anggaran dan menurunkan kualitas hasil pengadaan. Permainan harga adalah praktik kolusif di antara peserta tender untuk memanipulasi harga agar tetap tinggi, atau menciptakan kesan persaingan semu. Jika tidak dicegah, tender akan kehilangan integritas, menimbulkan potensi korupsi, dan mengikis kepercayaan publik. Artikel ini membahas secara mendalam berbagai bentuk permainan harga, dampaknya, indikator deteksi, mekanisme pengendalian internal, hingga strategi mitigasi dan best practices untuk menyusun proses tender yang transparan, akuntabel, dan bebas manipulasi.
Permainan harga, atau bid rigging, didefinisikan sebagai perilaku kolusif antara dua atau lebih penyedia untuk mengatur harga penawaran dalam tender. Dalam terminologi ekonomi, bid rigging masuk kategori cartel—kesepakatan tersembunyi untuk menghilangkan persaingan. Bentuk paling umum adalah penunjukan pemenang (bid rotation) dan penyerahan penawaran simbolis (cover bidding). Permainan harga juga melibatkan tindakan seperti penekanan harga (bid suppression) di mana beberapa peserta menarik diri agar harga tender tetap tinggi. Praktik ini melanggar hukum persaingan usaha dan ketentuan pengadaan publik, serta menimbulkan kerugian ekonomi signifikan.
Permainan harga dalam tender menampakkan diri dalam berbagai bentuk kolusi yang memiliki nuansa dan dampak berbeda. Berikut beberapa jenis yang paling umum ditemukan:
Bid rotation adalah skema di mana anggota kelompok kolusif secara bergiliran memenangkan tender. Setiap peserta cartel menunggu giliran dengan kesepakatan tertulis atau lisan yang mengatur urutan proyek. Dalam prakteknya, koordinasi ini sering didukung oleh jadwal proyek yang dipublikasikan, sehingga setiap anggota tahu kapan ia berhak menjadi pemenang. Skema ini menimbulkan ilusi kompetisi karena selalu ada lebih dari satu penawar, tetapi harga tender cenderung stabil atau meningkat mengikuti margin yang sudah disepakati.
Cover bidding dilakukan oleh peserta yang sebenarnya tidak berkompetisi secara serius, tetapi mengirimkan penawaran yang terlalu tinggi atau menambahkan syarat administratif yang memberatkan. Tujuannya adalah agar salah satu anggota kolusi tampil sebagai satu-satunya penawaran logis. Teknik ini sering melibatkan penyesuaian angka decimal atau opsi tambahan—misalnya, jangka waktu garansi yang tidak realistis—untuk menegaskan dominasi pemenang.
Dalam bid suppression, sebagian peserta sengaja tidak mengajukan penawaran meski mereka berkapasitas untuk melakukannya. Sementara bid withdrawal mirip, tetapi dengan narasi bahwa penyedia memutuskan mundur setelah mendapat informasi (biasanya bocoran) tentang pemenang yang ditetapkan. Kedua skema ini mengurangi jumlah penawaran kompetitif, meningkatkan peluang penyedia-target memenangkan tender dengan harga lebih tinggi.
Market allocation adalah pembagian wilayah atau segmen pasar di mana anggota cartel sepakat untuk tidak saling bersaing. Misalnya, perusahaan A mengambil proyek di wilayah barat, perusahaan B di wilayah timur, dan seterusnya. Praktik ini memecah pasar menjadi monopoli regional dan melanggengkan harga setempat di atas level wajar.
Pada complementary bidding, peserta menyusun penawaran pelengkap yang sengaja lebih tinggi atau dengan kualitas khusus sehingga jatuh di luar kriteria evaluasi terbaik. Penawaran ini menciptakan kesan kompetisi teknis yang sehat, tetapi fungsinya hanya untuk menutupi kartel dan menjaga harga tetap di jalur yang diinginkan.
Permainan harga tidak terjadi secara spontan, melainkan melalui mekanisme kolusif yang terencana. Berikut tahapan dan teknik yang sering digunakan dalam pelaksanaan permainan harga:
Dengan pemahaman mendalam terhadap jenis dan mekanisme permainan harga, panitia tender dapat merancang strategi deteksi dan pencegahan yang lebih efektif, mengurangi peluang kolusi, dan menjaga integritas proses pengadaan.
Kolusi harga biasanya terencana: peserta bertemu sebelum tender untuk menetapkan pemenang dan harga dasar. Komunikasi dilakukan melalui pertemuan tertutup, grup chat pribadi, atau pihak ketiga sebagai koordinator. Selain itu, manipulasi dokumen penawaran—seperti merubah waktu pembuatan file agar tampak diajukan bersamaan—merupakan teknik teknis yang digunakan. Koordinator cartel sering menetapkan harga referensi dengan membagi margin keuntungan, lalu masing-masing anggota menyesuaikan harga penawaran sesuai giliran. Teknik ini tidak hanya memanipulasi nilai kontrak, melainkan juga menciptakan kesan tender berjalan wajar.
Permainan harga dalam tender tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga menimbulkan dampak sistemik pada kualitas, kepercayaan, dan dinamika pasar secara keseluruhan. Berikut uraian mendalam sejumlah konsekuensi negatif:
Ketika pemenang tender ditetapkan melalui kesepakatan kolusif, bukan kompetisi murni, motivasi penyedia untuk meningkatkan mutu dan menawarkan solusi inovatif menurun drastis. Tanpa tekanan kompetitif, pemenang cenderung memilih praktik paling cost-effective yang sering kali mengorbankan kualitas bahan, keahlian teknis, atau layanan purna jual. Proyek infrastruktur, misalnya, bisa memakai material dengan standar di bawah optimal, memperpendek umur teknis aset dan meningkatkan biaya pemeliharaan di masa depan.
Perhitungan ekonomis menunjukkan bahwa bid rigging dapat meningkatkan harga kontrak rata-rata hingga 10–30% di atas level wajar. Akumulasi peningkatan harga ini menyebabkan pemborosan anggaran yang signifikan, merampas potensi efisiensi Pareto—di mana satu rupiah yang dihemat dapat dialokasikan untuk program lain yang memberi manfaat sosial atau ekonomi. Dalam skala APBN, kerugian ini bisa mencapai triliunan rupiah setiap tahun.
Bagi entitas publik, permainan harga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan lembaga pengadaan. Opini publik yang negatif, ketika terungkap, dapat menurunkan legitimasi kebijakan dan mengurangi kepatuhan regulasi. Dalam sektor swasta, reputasi perusahaan terdampak, memicu ketidakpercayaan investor dan pemangku kepentingan dalam kemitraan masa depan.
Bid rigging menciptakan hambatan bagi penyedia baru atau skala kecil untuk memasuki pasar. Karena akses proyek terkonsentrasi pada anggota cartel, peluang usaha bagi pelaku UKM tereduksi, menghambat dinamika persaingan yang sehat. Akibatnya, struktur industri menjadi oligopolis, dengan sedikit pemain dominan yang mengendalikan harga dan inovasi.
Pelaku bid rigging berisiko diusut oleh otoritas persaingan usaha (KPPU) dan aparat penegak hukum, yang dapat mengenakan denda hingga 10% dari omset atau mengeluarkan larangan mengikuti tender untuk periode tertentu. Biaya kepatuhan hukum—termasuk biaya advokasi, litigasi, dan kompensasi—dapat melebihi keuntungan kartel, menimbulkan kerugian jangka panjang.
Ketika penyedia pemenang tidak kompetitif dalam hal kualitas atau kapasitas, terjadi hambatan dalam rantai pasok. Penundaan pengiriman, kekurangan stok, dan kegagalan memenuhi spek teknis menimbulkan gangguan operasional. Manajemen risiko organisasi pun menghadapi beban lebih besar, dengan kebutuhan untuk menyiapkan vendor alternatif secara mendadak.
Tender manipulatif memengaruhi pembangunan berkelanjutan, terutama dalam proyek yang berdampak lingkungan atau sosial—seperti pembangunan perumahan rakyat atau sanitasi. Kegagalan penyedia memenuhi standar lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja dapat menimbulkan efek domino pada masyarakat lokal: pencemaran, kecelakaan kerja, dan kegagalan jangka panjang program pembangunan.
Dengan memahami berbagai tingkat dampak negatif ini—dari penurunan kualitas hingga risiko hukum—organisasi dapat merancang kebijakan pencegahan bid rigging yang lebih holistik, menjaga integritas proses pengadaan, dan memaksimalkan nilai yang diperoleh dari setiap rupiah belanja publik maupun swasta.
Beberapa indikator awal permainan harga antara lain: jumlah penawar yang sangat sedikit, selisih harga penawaran pemenang dan pesaing terlalu besar, pola giliran pemenang yang berulang, serta ketidakwajaran dokumen administrasi (misalnya salinan identik dari formulir penawaran). Analisis statistik—seperti distribusi penawaran atau korelasi harga antar peserta—dapat mengungkap pola kolusif secara kuantitatif.
Untuk mendeteksi bid rigging, panitia tender dapat menggunakan metode analytical review: membandingkan harga HPS dengan penawaran, memeriksa varians historis antar proyek, dan menilai homogenitas tanda tangan digital atau metadata dokumen. Selain itu, whistleblowing mechanism mendorong pelaporan anonim dari pihak internal atau vendor yang mengamati praktik tidak sehat.
Pengendalian internal adalah garis pertahanan pertama. Standar prosedur tender harus mencakup pemeriksaan dokumen secara acak oleh tim audit, verifikasi metadata penawaran, serta cross-check daftar vendor di e-procurement. Pembentukan tim independen untuk meninjau tender dengan nilai signifikan—seperti tim anti-korupsi internal—memperkuat governance. Selain itu, rotasi personel pengadaan dan pelatihan etika meminimalkan risiko kolusi.
Panitia dapat memperluas undangan tender hingga level nasional atau global, mengurangi kemungkinan kartelisasi lokal. Data vendor wajib diperbarui dengan prosedur pra-kualifikasi yang ketat.
E-auction dapat menutup identitas penawar, mempersulit koordinasi kolusif. Sistem lelang elektronik dengan bidding rounds otomatis juga memaksa peserta menawar ulang, menurunkan harga.
Otoritas persaingan usaha (KPPU) dan aparat penegak hukum memiliki kewenangan menindak bid rigging melalui penyelidikan dan denda. Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memberikan dasar hukum untuk memproses pelanggaran hingga pembatalan tender dan larangan ikut tender berikutnya.
Pada proyek jalan tol di Provinsi Z, KPPU menemukan tiga perusahaan besar melakukan bid rotation selama lima tender berturut-turut. Penyelidikan mengungkap perjanjian tertulis yang merekam harga dasar, giliran menang, dan komisi koordinator. Sanksi berupa denda Rp100 miliar serta larangan mengikuti tender pemerintah selama dua tahun berhasil membongkar kartel dan memulihkan harga wajar.
Permainan harga dalam tender merupakan ancaman serius yang merugikan keuangan organisasi dan mengikis integritas proses pengadaan. Melalui pemahaman jenis, indikator, dan mekanisme manipulasi, serta penerapan pengendalian internal dan teknologi e-procurement, organisasi dapat membentengi tender dari praktik kolusif. Dukungan regulator dengan penegakan sanksi tegas juga vital. Dengan menerapkan best practices—transparansi, anonymous bidding, whistleblowing, dan kolaborasi—tender dapat berjalan jujur, efisien, dan memberikan nilai optimal bagi semua pemangku kepentingan.