Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Dalam beberapa tahun terakhir, upaya pemerintah Indonesia untuk mengutamakan Produk Dalam Negeri (PDN) dalam setiap proses pengadaan barang/jasa telah semakin menguat seiring dengan diterbitkannya sejumlah regulasi dan kebijakan afirmatif. Dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018, amandemennya—Perpres 12/2021 dan Perpres 46/2025—hingga berbagai kebijakan turunan di tingkat kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, seluruhnya menegaskan komitmen melakukan “belanja PDN” demi mendukung perekonomian lokal, meningkatkan daya saing manufaktur nasional, dan menciptakan lapangan kerja. Namun, menilik realitas di lapangan, pertanyaan besar muncul: Mudahkah belanja pengadaan untuk produk dalam negeri? Artikel ini akan membedah secara mendalam kerangka hukum, insentif, hingga tantangan teknis dan budaya yang memengaruhi implementasi PDN dalam pengadaan, serta menyajikan rekomendasi praktis agar dorongan beli PDN benar-benar terwujud secara konsisten dan efektif.
Pemerintah Indonesia telah membentuk fondasi regulatif yang kuat dalam mendorong penggunaan Produk Dalam Negeri (PDN) melalui sistem pengadaan barang/jasa. Perjalanan regulasi ini tidak berlangsung singkat. Dimulai dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kemudian diperbaharui oleh Perpres Nomor 16 Tahun 2018, hingga revisi mutakhir melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2021 dan Perpres Nomor 46 Tahun 2025, semua menunjukkan konsistensi dan penguatan komitmen untuk mendorong kemandirian industri nasional.
TKDN menjadi ukuran utama dalam menentukan sejauh mana sebuah produk dikategorikan sebagai produk dalam negeri. TKDN adalah persentase kandungan lokal dalam suatu produk, baik dari sisi bahan baku, tenaga kerja, hingga proses produksi yang dilakukan di Indonesia.
Peningkatan ini bukan hanya administratif, melainkan menunjukkan bahwa pemerintah menginginkan sektor industri lokal naik kelas dan mampu bersaing dalam sistem pengadaan yang lebih transparan dan kompetitif. Sertifikat TKDN, yang harus dikeluarkan oleh lembaga terakreditasi seperti Sucofindo, Surveyor Indonesia, atau B4T, menjadi dokumen wajib dalam proses evaluasi pengadaan.
Nilai TKDN juga kini digunakan dalam sistem evaluasi berbasis value scoring. Artinya, meskipun harga penawaran lebih tinggi dari pesaing impor, produk dalam negeri dapat tetap menang tender jika nilai TKDN tinggi, karena bobot teknisnya diperhitungkan—misalnya, tambahan 15% bobot teknis jika nilai TKDN melebihi ambang minimal.
Paket-paket pengadaan bernilai menengah hingga besar saat ini diwajibkan menyertakan dokumen Perhitungan TKDN sejak tahap perencanaan hingga pelaporan. Tanpa dokumen ini, sebuah penawaran akan gugur di tahap evaluasi administrasi, tidak peduli sebaik apapun penawaran lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa bentuk insentif administratif dan finansial yang dirancang untuk mendorong implementasi PDN:
Tak hanya di tingkat nasional, kebijakan afirmatif untuk PDN juga dijabarkan dalam bentuk surat edaran dan program turunan di tingkat kementerian dan daerah:
Dengan infrastruktur hukum dan kelembagaan yang semakin lengkap ini, prioritas terhadap PDN bukan lagi wacana, melainkan keharusan normatif dalam setiap proses pengadaan pemerintah. Namun demikian, tanpa dukungan implementasi yang kuat dan perubahan pola pikir di tingkat pelaksana, regulasi ini masih berisiko tidak sepenuhnya terinternalisasi dalam praktik pengadaan harian.
Kebijakan belanja PDN tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan volume produksi dalam negeri, tetapi juga membawa dampak ekonomi dan sosial jangka panjang yang signifikan. Manfaat ini tidak hanya dirasakan oleh penyedia, tetapi juga masyarakat luas dan negara secara keseluruhan.
Dengan menyerap produk dari industri lokal, pemerintah secara tidak langsung mendukung pengembangan ekosistem industri nasional. Dampaknya tidak hanya terjadi di ujung produksi, tetapi juga menjalar ke hulu:
Proses ini memperpendek rantai distribusi, mengurangi ketergantungan pada importir, serta menurunkan biaya logistik nasional yang selama ini menjadi salah satu penghambat daya saing produk Indonesia.
Industri lokal—khususnya sektor manufaktur, tekstil, kerajinan, dan jasa konstruksi—bersifat padat karya, artinya menyerap banyak tenaga kerja.
Hal ini menjadikan belanja PDN sebagai alat redistribusi pertumbuhan ekonomi yang adil dan inklusif.
Kolaborasi dengan produsen asing yang membuka cabang atau pabrik di Indonesia mendorong:
Dengan kata lain, program PDN menjadi insentif bagi pelaku industri untuk terus melakukan inovasi dan meningkatkan kapasitas produksi agar tidak hanya kompetitif di pasar lokal, tapi juga siap ekspor.
Jika pasar dalam negeri didominasi oleh produk impor, maka UMKM lokal tidak memiliki dorongan untuk berkembang. Namun jika pemerintah menjadi pembeli utama PDN:
Kebijakan PDN menciptakan lingkaran inovasi—permintaan memacu peningkatan kualitas, dan peningkatan kualitas menghasilkan permintaan yang lebih besar.
Belanja PDN juga berfungsi sebagai alat stabilisasi fiskal daerah:
Dengan begitu, kebijakan PDN tidak hanya menjadi alat industrialisasi, tetapi juga kebijakan makroekonomi yang menyeluruh dan strategis.
Di tengah tuntutan efisiensi dan transparansi, sistem pengadaan modern harus mampu mengakomodasi PDN tanpa menyulitkan proses. Saat ini, Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) telah mengadopsi banyak fitur yang memudahkan pembeli pemerintah untuk memilih PDN, tetapi pemahaman teknis dan keterampilan praktis pengguna di lapangan masih menjadi tantangan.
Tahap ini sangat menentukan keberhasilan PDN. Jika sejak awal tidak dimasukkan ke dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA/DIPA), maka akan sulit memaksakan belanja PDN di tahap akhir.
Koordinasi antara Perencana Pengadaan, PPK, dan Tim Anggaran menjadi kunci keberhasilan tahap ini.
Masalah klasik dalam pengadaan adalah penyusunan spesifikasi yang tertutup dan mengarah pada merek tertentu—kondisi ini sering menghambat PDN masuk ke dalam proses pengadaan.
Spesifikasi berbasis kinerja memberi kesempatan bagi penyedia lokal yang dapat memenuhi kriteria teknis, tanpa harus memiliki merek global.
Tahap ini sangat menentukan keberpihakan terhadap PDN.
Namun, ini membutuhkan kapasitas evaluator yang mumpuni dan bebas konflik kepentingan.
Pengadaan bernilai kecil sering kali menjadi sumber peluang bagi UMKM dan PDN. Pemerintah telah menyederhanakan proses ini:
Langkah ini memberi akses luas bagi pelaku lokal untuk terlibat dalam pengadaan.
Tahap akhir sangat penting untuk menjamin komitmen penyedia dalam menggunakan komponen lokal.
Melalui sistem audit internal dan eksternal (oleh BPKP atau Inspektorat), realisasi PDN bisa dievaluasi secara menyeluruh.
Meskipun kerangka regulasi dan mekanisme teknis untuk mendukung belanja Produk Dalam Negeri (PDN) sudah disusun secara komprehensif, realisasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan struktural, teknis, hingga budaya. Tantangan ini menjadi hambatan signifikan bagi instansi pengadaan yang ingin secara konsisten mengalokasikan anggaran kepada produk lokal berkualitas.
Salah satu akar masalah utama adalah ketimpangan informasi. Banyak unit kerja dan tim perencanaan pengadaan kesulitan dalam mengakses informasi yang akurat, terkini, dan terverifikasi mengenai ketersediaan produk lokal yang memenuhi kriteria pengadaan.
Banyak penyedia produk lokal, khususnya UMKM, menghadapi hambatan struktural dalam memenuhi standar yang dipersyaratkan dalam pengadaan pemerintah.
Penyedia lokal cenderung kalah dalam evaluasi harga karena biaya produksi mereka relatif lebih tinggi dibandingkan produk impor yang telah mencapai skala ekonomi.
Budaya kerja yang mengandalkan vendor lama dan spesifikasi tertutup (closed specification) masih mendominasi sebagian besar proses pengadaan.
Daerah terpencil dan kabupaten-kabupaten luar Jawa mengalami tantangan infrastruktur yang menghambat kelancaran pengadaan PDN.
Sistem pengawasan atas implementasi TKDN dan belanja PDN masih bersifat administratif, belum menyentuh aspek substantif di lapangan.
Meskipun tantangan cukup kompleks, sejumlah daerah telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan belanja PDN melalui strategi inovatif, kolaboratif, dan berbasis teknologi. Inisiatif-inisiatif ini bisa menjadi referensi praktis bagi daerah lain.
Kabupaten A menggagas model inkubasi terpadu bagi UMKM lokal. Program ini berkolaborasi dengan perguruan tinggi, BUMD, dan asosiasi pengusaha.
Hasilnya, dari 50 peserta tahun pertama, 30 berhasil memenangkan tender dengan total kontrak melebihi Rp 5 miliar.
Kota B membangun sistem e-Katalog lokal yang memuat daftar penyedia dan produk dengan sertifikasi lengkap. Platform ini terhubung ke SPSE dan mempermudah proses evaluasi berbasis TKDN.
Dalam setahun, kota ini berhasil menaikkan belanja PDN dari 15% menjadi 35%.
Provinsi C menggunakan BUMD untuk menghimpun pesanan dari seluruh SKPD, kemudian mengelolanya dalam satu kontrak besar dengan kelompok UMKM mitra.
Pemprov D menggelar event tahunan bertajuk “Beli Lokal” yang menggabungkan bazar, workshop, dan sesi pertemuan bisnis antara UMKM dan tim pengadaan.
Berikut strategi-strategi praktis yang bisa diterapkan pemerintah daerah dan pusat untuk mempercepat dan mempermudah realisasi belanja produk dalam negeri.
Belanja pengadaan untuk produk dalam negeri pada dasarnya telah difasilitasi oleh kerangka regulasi yang kuat, mekanisme teknis yang memadai, dan berbagai insentif nyata. Namun, di lapangan kendala seperti keterbatasan kapasitas penyedia lokal, resistensi budaya pengadaan, dan masalah infrastruktur menuntut intervensi lebih proaktif dan terintegrasi. Melalui best practices dari beberapa daerah, terlihat bahwa kombinasi digitalisasi, kemitraan lintas sektor, serta skema insentif efektif memperbesar porsi beli PDN.
Untuk menjawab pertanyaan “Mudahkah belanja pengadaan untuk produk dalam negeri?” jawabannya masih bersyarat. Jika pemerintah—baik pusat maupun daerah—mampu menuntun dengan kebijakan afirmatif, membangun ekosistem informasi dan pembiayaan, serta menegakkan konsekuensi bagi yang tidak taat, maka belanja PDN bukan lagi sekadar kewajiban, melainkan kesempatan strategis untuk memicu pertumbuhan ekonomi lokal yang inklusif, inovatif, dan berkelanjutan. Dengan demikian, belanja PDN akan mudah bukan hanya diukur dari proses administratif, tetapi lebih jauh dari dampak ekonomi riil di masyarakat: peningkatan kapasitas industri lokal, penyerapan tenaga kerja, serta munculnya innovator-innovator baru yang mengokohkan kemandirian bangsa.