Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, pengadaan barang dan jasa bukan sekadar kegiatan administratif yang berfokus pada efisiensi anggaran, melainkan telah berevolusi menjadi instrumen strategis untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Di balik proses lelang, seleksi penyedia, dan tanda tangan kontrak, tersembunyi peluang besar untuk menciptakan dampak sosial, mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas partisipasi pelaku usaha kecil, serta mempercepat adopsi teknologi dan inovasi. Namun, potensi ini tidak akan pernah optimal jika sistem pengadaan masih terjebak dalam pola pikir dan kerangka hukum yang kaku dan reaktif.
Pemerintah telah berupaya mendorong digitalisasi dan transparansi dalam pengadaan melalui berbagai inisiatif seperti e-procurement, e-katalog, pengadaan langsung elektronik (PL-e), hingga sistem informasi manajemen pengadaan berbasis cloud. Banyak kementerian/lembaga dan pemerintah daerah juga telah mencoba berinovasi, baik dari sisi metode pengadaan, pemanfaatan teknologi, hingga skema kolaboratif lintas sektor. Namun sayangnya, setiap kali muncul langkah inovatif yang melampaui prosedur konvensional, selalu muncul pertanyaan klasik: apakah ini sudah sesuai regulasi? Bagaimana dasar hukumnya?
Inilah ironi besar dalam tata kelola pengadaan saat ini: semangat untuk berinovasi—yang seharusnya diapresiasi—justru sering kali dihadapkan pada ketakutan akan disalahkan. Ketika aturan main belum sepenuhnya mengakomodasi cara-cara baru, pejabat pengadaan dan para pemangku kepentingan lebih memilih ‘bermain aman’ daripada mencoba pendekatan yang lebih efektif namun belum memiliki landasan hukum yang jelas. Inovasi menjadi barang mahal, bukan karena tidak ada ide, tetapi karena sistem belum siap menerimanya.
Lemahnya payung hukum untuk inovasi pengadaan bukan semata soal kurangnya regulasi baru, melainkan kegagalan sistemik dalam mengadopsi prinsip-prinsip dinamisitas, responsivitas, dan keberanian mengambil risiko yang terukur dalam tata kelola sektor publik. Jika negara ingin pengadaannya tidak sekadar menjadi prosedur belanja, tetapi juga motor penggerak perubahan, maka diperlukan reformasi mendalam yang menjadikan hukum sebagai fasilitator inovasi, bukan penghambatnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, upaya mendorong reformasi birokrasi dan digitalisasi telah mendorong berbagai instansi pemerintah untuk melakukan inovasi dalam sistem pengadaan. Beberapa contoh inovasi tersebut adalah:
Namun, ketika metode ini dicoba diterapkan, tidak jarang terjadi kegamangan di level pelaksana. Mengapa? Karena dokumen hukum yang ada seperti Perpres 16 Tahun 2018 (beserta perubahannya) dan turunannya sering kali belum mengakomodasi skema-skema tersebut secara eksplisit. Pelaksana pengadaan menjadi ragu: apakah tindakan ini legal? Bagaimana jika kemudian diaudit? Siapa yang bertanggung jawab jika terjadi temuan?
Salah satu sumber utama kelemahan payung hukum inovasi pengadaan adalah laju revisi regulasi yang tertinggal dibandingkan realitas lapangan. Inovasi terjadi lebih cepat dibandingkan kemampuan birokrasi untuk menyesuaikan aturan main. Contoh konkret:
Ketika peraturan tidak mampu mengantisipasi kompleksitas dan dinamika kebutuhan modern, maka hasilnya adalah stagnasi atau keraguan. Para pelaksana lebih memilih menghindari risiko daripada mencoba inovasi yang tidak dilindungi hukum.
Di luar aspek regulatif, faktor budaya birokrasi juga turut memperkuat lemahnya inovasi pengadaan. Budaya ini ditandai oleh:
Akibatnya, banyak pengelola pengadaan lebih memilih menggunakan metode konvensional meski tidak efisien, selama dianggap “aman” dari sisi hukum. Inovasi yang seharusnya menjadi alat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan justru terhambat oleh kekhawatiran pribadi dan lemahnya jaminan perlindungan hukum.
Kelemahan lainnya datang dari inkonsistensi dalam penilaian audit atau pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan inovatif. Tidak ada standar yang seragam dalam menilai apakah suatu metode yang tidak lazim tetapi masuk akal secara teknis dan ekonomis itu sah atau tidak.
Misalnya:
Tanpa adanya guidance dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) atau badan hukum lain yang mengikat, maka setiap aparat pengawasan dapat memiliki interpretasi yang berbeda-beda.
Banyak inovasi pengadaan yang idealnya dijalankan melalui mekanisme kerjasama strategis atau seleksi terbatas berbasis kualitas, malah dipaksa masuk ke dalam skema tender terbuka yang tidak cocok. Contohnya:
Dalam situasi ini, bukan hanya inovasi yang terganggu, tetapi juga output akhir yang tidak optimal. Negara kehilangan kesempatan untuk memperoleh nilai tambah karena pendekatan pengadaannya tidak relevan dengan sifat kebutuhan.
Untuk mempercepat adopsi inovasi sekaligus menjaga akuntabilitas, salah satu solusi yang layak dipertimbangkan adalah pembentukan regulatory sandbox dalam pengadaan. Seperti halnya di sektor keuangan dan teknologi finansial, regulatory sandbox memungkinkan:
Dengan pendekatan ini, pengadaan dapat lebih cepat berevolusi tanpa harus menunggu perubahan formal regulasi nasional, dan pelaksana memiliki perlindungan hukum dalam batas tertentu.
Sebagai lembaga pengampu kebijakan pengadaan nasional, LKPP memiliki peran sentral dalam memperkuat ekosistem inovasi pengadaan. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:
Namun, langkah-langkah ini masih sangat bergantung pada kemauan politik dan kesediaan lembaga untuk melihat pengadaan sebagai instrumen strategis, bukan sekadar prosedur administratif.
Satu aspek penting yang tidak boleh dilupakan adalah perlindungan hukum bagi pejabat pengadaan yang menjalankan tugas berdasarkan prinsip good faith (itikad baik). Tanpa adanya perlindungan ini, siapa pun akan takut mengambil keputusan yang di luar kebiasaan.
Mekanisme perlindungan hukum dapat berupa:
Prinsipnya, tidak semua penyimpangan dari prosedur berarti pelanggaran, selama dilakukan untuk kepentingan layanan publik yang lebih baik dan tetap akuntabel.
Contoh di beberapa daerah menunjukkan bagaimana lemahnya payung hukum membuat inovasi mati di tengah jalan. Misalnya:
Ketiga contoh ini mencerminkan masalah yang sama: semangat maju terkekang oleh sistem hukum yang belum siap.
Agar inovasi pengadaan bisa berkembang tanpa meninggalkan prinsip tata kelola yang baik, dibutuhkan paradigma baru dalam penyusunan regulasi:
Yang paling penting adalah: memberi ruang untuk kegagalan yang wajar, karena tidak ada inovasi yang berhasil tanpa risiko dan eksperimen.
Di tengah tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang lincah, efisien, dan adaptif terhadap perubahan, inovasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keniscayaan. Dunia terus berubah—dengan tantangan baru seperti disrupsi teknologi, kebutuhan pelayanan publik yang lebih cepat dan tepat, serta ekspektasi transparansi dari masyarakat—sementara sistem pengadaan tidak bisa terus mengandalkan pendekatan lama yang prosedural dan kaku. Sayangnya, hingga saat ini, kerangka hukum pengadaan di Indonesia masih belum cukup memberi ruang yang memadai bagi lahirnya terobosan-terobosan inovatif.
Apa yang kita lihat di lapangan adalah paradoks birokrasi: di satu sisi, negara mendorong percepatan transformasi digital dan efisiensi layanan; di sisi lain, aparat pengadaan takut berinovasi karena khawatir dinilai menyimpang dari aturan yang tidak jelas. Kekosongan atau ketidakjelasan hukum dalam hal-hal baru membuat para pelaksana gamang. Mereka tahu bahwa inovasi bisa membawa hasil lebih baik, tetapi mereka juga tahu bahwa langkah yang tidak secara eksplisit diatur bisa menjadi bumerang saat diaudit, diperiksa, atau dikriminalisasi. Dalam kondisi seperti ini, stagnasi menjadi lebih aman dibandingkan perubahan.
Situasi ini mencerminkan betapa pentingnya negara hadir, bukan hanya sebagai pengatur, tetapi sebagai fasilitator inovasi. Regulasi harus ditransformasi dari sekadar alat pengendali menjadi instrumen pemberdaya. Dibutuhkan payung hukum yang memberikan kepastian, fleksibilitas, dan perlindungan bagi pelaksana pengadaan yang bekerja dalam koridor itikad baik dan akuntabilitas. Prinsip-prinsip inovatif seperti value for money, collaborative procurement, pengadaan sosial, dan digital-first policy harus mulai mendapat legitimasi formal, bukan sekadar dibiarkan dalam wilayah abu-abu praktik administratif.
Dalam jangka pendek, pemerintah pusat, melalui LKPP dan kementerian terkait, perlu segera menyediakan pedoman teknis, ruang eksperimentasi seperti regulatory sandbox, serta kanal legal opinion yang cepat dan responsif. Sementara dalam jangka panjang, revisi terhadap regulasi pengadaan harus dilakukan secara menyeluruh dengan pendekatan partisipatif, lintas sektor, dan berbasis tantangan nyata di lapangan. Tidak kalah penting, aparat pengawasan dan penegak hukum juga perlu diberi pemahaman yang sama bahwa pengadaan tidak hanya soal prosedur, tetapi juga soal pencapaian hasil dan manfaat publik.
Kesimpulannya, penguatan payung hukum untuk inovasi pengadaan adalah syarat mutlak untuk kemajuan pengelolaan anggaran negara yang modern dan berdampak. Tanpa perlindungan yang memadai, inovasi hanya akan hidup sebagai ide di atas kertas, bukan sebagai praktik nyata yang mengubah wajah pelayanan publik. Sudah saatnya kita berhenti memenjarakan kreativitas dengan ketakutan. Negara harus berani memberikan kepercayaan dan keberanian kepada para pengelola pengadaan untuk melangkah maju, selama mereka tetap berpegang pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan kepentingan rakyat. Sebab di tangan mereka, pengadaan bisa menjadi alat transformasi, bukan sekadar transaksi.