Payung Hukum untuk Inovasi Pengadaan Masih Lemah

Pendahuluan: Antara Kreativitas dan Kekakuan Regulasi

Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, pengadaan barang dan jasa bukan sekadar kegiatan administratif yang berfokus pada efisiensi anggaran, melainkan telah berevolusi menjadi instrumen strategis untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Di balik proses lelang, seleksi penyedia, dan tanda tangan kontrak, tersembunyi peluang besar untuk menciptakan dampak sosial, mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas partisipasi pelaku usaha kecil, serta mempercepat adopsi teknologi dan inovasi. Namun, potensi ini tidak akan pernah optimal jika sistem pengadaan masih terjebak dalam pola pikir dan kerangka hukum yang kaku dan reaktif.

Pemerintah telah berupaya mendorong digitalisasi dan transparansi dalam pengadaan melalui berbagai inisiatif seperti e-procurement, e-katalog, pengadaan langsung elektronik (PL-e), hingga sistem informasi manajemen pengadaan berbasis cloud. Banyak kementerian/lembaga dan pemerintah daerah juga telah mencoba berinovasi, baik dari sisi metode pengadaan, pemanfaatan teknologi, hingga skema kolaboratif lintas sektor. Namun sayangnya, setiap kali muncul langkah inovatif yang melampaui prosedur konvensional, selalu muncul pertanyaan klasik: apakah ini sudah sesuai regulasi? Bagaimana dasar hukumnya?

Inilah ironi besar dalam tata kelola pengadaan saat ini: semangat untuk berinovasi—yang seharusnya diapresiasi—justru sering kali dihadapkan pada ketakutan akan disalahkan. Ketika aturan main belum sepenuhnya mengakomodasi cara-cara baru, pejabat pengadaan dan para pemangku kepentingan lebih memilih ‘bermain aman’ daripada mencoba pendekatan yang lebih efektif namun belum memiliki landasan hukum yang jelas. Inovasi menjadi barang mahal, bukan karena tidak ada ide, tetapi karena sistem belum siap menerimanya.

Lemahnya payung hukum untuk inovasi pengadaan bukan semata soal kurangnya regulasi baru, melainkan kegagalan sistemik dalam mengadopsi prinsip-prinsip dinamisitas, responsivitas, dan keberanian mengambil risiko yang terukur dalam tata kelola sektor publik. Jika negara ingin pengadaannya tidak sekadar menjadi prosedur belanja, tetapi juga motor penggerak perubahan, maka diperlukan reformasi mendalam yang menjadikan hukum sebagai fasilitator inovasi, bukan penghambatnya.

1. Dinamika Inovasi dalam Pengadaan: Harapan dan Hambatan

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya mendorong reformasi birokrasi dan digitalisasi telah mendorong berbagai instansi pemerintah untuk melakukan inovasi dalam sistem pengadaan. Beberapa contoh inovasi tersebut adalah:

  • Pengembangan e-katalog lokal untuk memperluas jangkauan penyedia barang/jasa.
  • Pengadaan berbasis nilai manfaat (value for money), bukan sekadar harga terendah.
  • Kolaborasi lintas instansi atau daerah dalam proyek pengadaan multiregional.
  • Pengadaan dengan metode agile atau bertahap, terutama untuk sektor teknologi informasi.
  • Pengadaan sosial (social procurement) untuk mendukung UMKM, koperasi, dan pelaku usaha lokal.

Namun, ketika metode ini dicoba diterapkan, tidak jarang terjadi kegamangan di level pelaksana. Mengapa? Karena dokumen hukum yang ada seperti Perpres 16 Tahun 2018 (beserta perubahannya) dan turunannya sering kali belum mengakomodasi skema-skema tersebut secara eksplisit. Pelaksana pengadaan menjadi ragu: apakah tindakan ini legal? Bagaimana jika kemudian diaudit? Siapa yang bertanggung jawab jika terjadi temuan?

2. Kerangka Regulasi yang Terlambat Mengikuti Perkembangan

Salah satu sumber utama kelemahan payung hukum inovasi pengadaan adalah laju revisi regulasi yang tertinggal dibandingkan realitas lapangan. Inovasi terjadi lebih cepat dibandingkan kemampuan birokrasi untuk menyesuaikan aturan main. Contoh konkret:

  • Pengadaan berbasis teknologi informasi sering memerlukan metode pengembangan fleksibel, seperti agile. Namun, regulasi masih banyak mengacu pada model pengadaan konstruksi atau barang konvensional yang menuntut kepastian spek sejak awal.
  • E-katalog sektoral atau lokal telah terbukti mempercepat proses dan membuka akses penyedia lokal. Namun, banyak daerah mengeluhkan keterbatasan petunjuk teknis atau keraguan hukum dalam memprosesnya, khususnya untuk jenis barang/jasa non-standar.
  • Pengadaan untuk kegiatan riset dan inovasi sering kali memerlukan metode seleksi yang berbasis kualitas, bukan hanya harga. Regulasi belum secara eksplisit mendukung kebutuhan fleksibilitas ini.

Ketika peraturan tidak mampu mengantisipasi kompleksitas dan dinamika kebutuhan modern, maka hasilnya adalah stagnasi atau keraguan. Para pelaksana lebih memilih menghindari risiko daripada mencoba inovasi yang tidak dilindungi hukum.

3. Budaya Birokrasi yang Antiinovasi: Takut Salah, Takut Diperiksa

Di luar aspek regulatif, faktor budaya birokrasi juga turut memperkuat lemahnya inovasi pengadaan. Budaya ini ditandai oleh:

  • Ketakutan terhadap audit dan penegak hukum.
  • Orientasi pada kepatuhan prosedural, bukan pada pencapaian hasil.
  • Minimnya insentif bagi keberhasilan proyek inovatif.
  • Stigma terhadap kesalahan yang dimaknai sebagai pelanggaran.

Akibatnya, banyak pengelola pengadaan lebih memilih menggunakan metode konvensional meski tidak efisien, selama dianggap “aman” dari sisi hukum. Inovasi yang seharusnya menjadi alat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan justru terhambat oleh kekhawatiran pribadi dan lemahnya jaminan perlindungan hukum.

4. Ketidakjelasan Standar Penilaian oleh Aparat Pengawasan

Kelemahan lainnya datang dari inkonsistensi dalam penilaian audit atau pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan inovatif. Tidak ada standar yang seragam dalam menilai apakah suatu metode yang tidak lazim tetapi masuk akal secara teknis dan ekonomis itu sah atau tidak.

Misalnya:

  • Proyek pengadaan dengan mekanisme kolaboratif antardaerah, tanpa ketentuan eksplisit, bisa dipersoalkan karena dianggap tidak sesuai prosedur.
  • Penyusunan spesifikasi teknis yang menekankan pada kualitas atau fitur inovatif bisa dianggap diskriminatif oleh peserta lelang.
  • Pengadaan barang dengan metode open innovation (terbuka untuk solusi inovatif) sulit dinilai karena tidak ada acuan pembanding yang pasti.

Tanpa adanya guidance dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) atau badan hukum lain yang mengikat, maka setiap aparat pengawasan dapat memiliki interpretasi yang berbeda-beda.

5. Inovasi Terbentur Mekanisme Penunjukan Langsung atau Tender Terbuka

Banyak inovasi pengadaan yang idealnya dijalankan melalui mekanisme kerjasama strategis atau seleksi terbatas berbasis kualitas, malah dipaksa masuk ke dalam skema tender terbuka yang tidak cocok. Contohnya:

  • Pengadaan sistem informasi berbasis kecerdasan buatan (AI) yang mestinya memerlukan proses co-creation antara pengguna dan pengembang, dipaksakan ke format pengadaan barang/jasa biasa.
  • Skema kemitraan dengan universitas atau lembaga riset untuk riset terapan dipaksakan menjadi kontrak pemborongan yang tidak sesuai sifat kegiatannya.

Dalam situasi ini, bukan hanya inovasi yang terganggu, tetapi juga output akhir yang tidak optimal. Negara kehilangan kesempatan untuk memperoleh nilai tambah karena pendekatan pengadaannya tidak relevan dengan sifat kebutuhan.

6. Perlunya Zona Eksperimen: Regulatory Sandbox untuk Pengadaan

Untuk mempercepat adopsi inovasi sekaligus menjaga akuntabilitas, salah satu solusi yang layak dipertimbangkan adalah pembentukan regulatory sandbox dalam pengadaan. Seperti halnya di sektor keuangan dan teknologi finansial, regulatory sandbox memungkinkan:

  • Instansi pemerintah atau daerah mengajukan pilot project dengan metode pengadaan baru.
  • Proyek tersebut dijalankan dengan monitoring ketat dan evaluasi khusus.
  • LKPP atau otoritas terkait memberikan surat keterangan atau semacam izin terbatas sebagai payung hukum uji coba.

Dengan pendekatan ini, pengadaan dapat lebih cepat berevolusi tanpa harus menunggu perubahan formal regulasi nasional, dan pelaksana memiliki perlindungan hukum dalam batas tertentu.

7. Peran LKPP dalam Merespons dan Menyediakan Dukungan

Sebagai lembaga pengampu kebijakan pengadaan nasional, LKPP memiliki peran sentral dalam memperkuat ekosistem inovasi pengadaan. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:

  • Menerbitkan pedoman teknis dan tafsir resmi terhadap area abu-abu dalam regulasi.
  • Membangun forum konsultasi regulasi secara cepat, misalnya hotline atau desk layanan inovasi.
  • Mendorong pembentukan bank data praktik baik inovasi pengadaan, sehingga menjadi rujukan bersama.
  • Merevisi regulasi secara periodik dan partisipatif, dengan mendengar aspirasi dari daerah, penyedia, dan masyarakat sipil.

Namun, langkah-langkah ini masih sangat bergantung pada kemauan politik dan kesediaan lembaga untuk melihat pengadaan sebagai instrumen strategis, bukan sekadar prosedur administratif.

8. Penguatan Perlindungan Hukum bagi Pejabat Pengadaan

Satu aspek penting yang tidak boleh dilupakan adalah perlindungan hukum bagi pejabat pengadaan yang menjalankan tugas berdasarkan prinsip good faith (itikad baik). Tanpa adanya perlindungan ini, siapa pun akan takut mengambil keputusan yang di luar kebiasaan.

Mekanisme perlindungan hukum dapat berupa:

  • Dokumentasi yang kuat dan transparan terhadap pengambilan keputusan.
  • Pendampingan dari inspektorat atau auditor internal sejak awal proses.
  • Penyusunan legal opinion atau notulen resmi ketika menggunakan metode alternatif.
  • Peraturan daerah atau surat keputusan kepala daerah/kepala lembaga yang menyatakan bahwa inovasi tersebut adalah bagian dari kebijakan institusi.

Prinsipnya, tidak semua penyimpangan dari prosedur berarti pelanggaran, selama dilakukan untuk kepentingan layanan publik yang lebih baik dan tetap akuntabel.

9. Studi Kasus: Inovasi Terhambat karena Tidak Ada Landasan Hukum

Contoh di beberapa daerah menunjukkan bagaimana lemahnya payung hukum membuat inovasi mati di tengah jalan. Misalnya:

  • Sebuah dinas kesehatan mencoba menjalin kerjasama pengadaan vaksin lokal dengan universitas, tetapi batal karena tidak ada mekanisme kontrak kolaboratif.
  • Pemerintah daerah yang ingin membeli perangkat teknologi dari startup lokal melalui skema hasil bagi keuntungan (revenue sharing), namun terganjal karena aturan hanya mengenal sistem pembayaran lump sum atau termin.
  • Instansi pusat yang mencoba model e-marketplace terbuka malah dikritik karena belum ada SK resmi yang mengatur platform digital mereka.

Ketiga contoh ini mencerminkan masalah yang sama: semangat maju terkekang oleh sistem hukum yang belum siap.

10. Menuju Regulasi yang Adaptif dan Progresif

Agar inovasi pengadaan bisa berkembang tanpa meninggalkan prinsip tata kelola yang baik, dibutuhkan paradigma baru dalam penyusunan regulasi:

  • Regulasi harus berbasis prinsip dan tujuan, bukan hanya prosedur.
  • Perlu disediakan mekanisme fleksibilitas yang terkendali, misalnya melalui pengesahan praktik inovatif secara bertahap.
  • Diperlukan integrasi antara regulasi pengadaan dengan regulasi sektor lain seperti keuangan daerah, teknologi informasi, dan inovasi.
  • Kolaborasi lintas lembaga seperti LKPP, BPKP, Kejaksaan, dan Kemenkeu menjadi penting untuk menyatukan pemahaman.

Yang paling penting adalah: memberi ruang untuk kegagalan yang wajar, karena tidak ada inovasi yang berhasil tanpa risiko dan eksperimen.

Kesimpulan: Jangan Takut Berinovasi, Tapi Harus Diperkuat Landasannya

Di tengah tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang lincah, efisien, dan adaptif terhadap perubahan, inovasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keniscayaan. Dunia terus berubah—dengan tantangan baru seperti disrupsi teknologi, kebutuhan pelayanan publik yang lebih cepat dan tepat, serta ekspektasi transparansi dari masyarakat—sementara sistem pengadaan tidak bisa terus mengandalkan pendekatan lama yang prosedural dan kaku. Sayangnya, hingga saat ini, kerangka hukum pengadaan di Indonesia masih belum cukup memberi ruang yang memadai bagi lahirnya terobosan-terobosan inovatif.

Apa yang kita lihat di lapangan adalah paradoks birokrasi: di satu sisi, negara mendorong percepatan transformasi digital dan efisiensi layanan; di sisi lain, aparat pengadaan takut berinovasi karena khawatir dinilai menyimpang dari aturan yang tidak jelas. Kekosongan atau ketidakjelasan hukum dalam hal-hal baru membuat para pelaksana gamang. Mereka tahu bahwa inovasi bisa membawa hasil lebih baik, tetapi mereka juga tahu bahwa langkah yang tidak secara eksplisit diatur bisa menjadi bumerang saat diaudit, diperiksa, atau dikriminalisasi. Dalam kondisi seperti ini, stagnasi menjadi lebih aman dibandingkan perubahan.

Situasi ini mencerminkan betapa pentingnya negara hadir, bukan hanya sebagai pengatur, tetapi sebagai fasilitator inovasi. Regulasi harus ditransformasi dari sekadar alat pengendali menjadi instrumen pemberdaya. Dibutuhkan payung hukum yang memberikan kepastian, fleksibilitas, dan perlindungan bagi pelaksana pengadaan yang bekerja dalam koridor itikad baik dan akuntabilitas. Prinsip-prinsip inovatif seperti value for money, collaborative procurement, pengadaan sosial, dan digital-first policy harus mulai mendapat legitimasi formal, bukan sekadar dibiarkan dalam wilayah abu-abu praktik administratif.

Dalam jangka pendek, pemerintah pusat, melalui LKPP dan kementerian terkait, perlu segera menyediakan pedoman teknis, ruang eksperimentasi seperti regulatory sandbox, serta kanal legal opinion yang cepat dan responsif. Sementara dalam jangka panjang, revisi terhadap regulasi pengadaan harus dilakukan secara menyeluruh dengan pendekatan partisipatif, lintas sektor, dan berbasis tantangan nyata di lapangan. Tidak kalah penting, aparat pengawasan dan penegak hukum juga perlu diberi pemahaman yang sama bahwa pengadaan tidak hanya soal prosedur, tetapi juga soal pencapaian hasil dan manfaat publik.

Kesimpulannya, penguatan payung hukum untuk inovasi pengadaan adalah syarat mutlak untuk kemajuan pengelolaan anggaran negara yang modern dan berdampak. Tanpa perlindungan yang memadai, inovasi hanya akan hidup sebagai ide di atas kertas, bukan sebagai praktik nyata yang mengubah wajah pelayanan publik. Sudah saatnya kita berhenti memenjarakan kreativitas dengan ketakutan. Negara harus berani memberikan kepercayaan dan keberanian kepada para pengelola pengadaan untuk melangkah maju, selama mereka tetap berpegang pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan kepentingan rakyat. Sebab di tangan mereka, pengadaan bisa menjadi alat transformasi, bukan sekadar transaksi.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *