Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu aktivitas yang paling rentan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Untuk meminimalkan risiko tersebut dan menjaga akuntabilitas, berbagai mekanisme pengawasan dan pengaduan dibangun—baik di tingkat lembaga pengadaan maupun di tingkat masyarakat. Namun, tidak sedikit pihak menilai bahwa prosedur pengaduan pengadaan selama ini terlalu panjang, kompleks, dan tidak memberikan efek jera yang signifikan bagi pelaku maladministrasi. Artikel ini akan mengupas secara mendalam seluk-beluk prosedur pengaduan pengadaan, mengidentifikasi kendala utama, mengevaluasi efektivitasnya, serta menawarkan rekomendasi perbaikan agar sistem pengaduan benar-benar dapat menjadi instrumen penegakan integritas.
Pengaduan dalam proses pengadaan bukan sekadar mekanisme administratif, melainkan bagian dari sistem checks and balances dalam penyelenggaraan keuangan negara. Indonesia telah mengatur hak warga negara dan para pelaku usaha untuk menyampaikan keberatan, laporan, atau pengaduan terhadap tindakan yang dianggap menyimpang dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun, aturan-aturan yang ada seringkali tersebar di berbagai regulasi, menyebabkan pemahaman publik menjadi tidak seragam.
Secara umum, pengaduan dalam pengadaan ditopang oleh beberapa peraturan berikut:
Namun, terdapat satu masalah besar: tidak semua pengguna layanan pengadaan memahami keseluruhan instrumen hukum ini. Penyedia UMKM, masyarakat lokal, atau bahkan sebagian pejabat pengadaan tidak menguasai isi aturan secara menyeluruh. Inilah yang membuat sistem pengaduan menjadi eksklusif—hanya dimanfaatkan oleh pihak yang memiliki pengetahuan, akses, dan keberanian.
Pengaduan pengadaan di Indonesia tidak memiliki satu pintu khusus. Sebaliknya, ada beberapa lembaga yang memiliki otoritas untuk menerima dan menangani pengaduan tergantung pada jenis dan tingkat pelanggaran:
Dengan banyaknya lembaga pengawas, di satu sisi sistem ini tampak kuat, tetapi di sisi lain rentan terhadap tumpang tindih dan birokratisasi. Pelapor seringkali dilempar dari satu lembaga ke lembaga lain dengan alasan kewenangan yang berbeda. Hal ini menurunkan semangat pelapor dan memperkuat persepsi bahwa pengaduan hanyalah formalitas belaka.
Pada tahap awal, peserta pengadaan dapat mengajukan sanggahan atau pengaduan administratif langsung ke Unit Kerja Pengadaan atau LPSE instansi yang bersangkutan. Prosedur ini umumnya melibatkan beberapa tahap sebagai berikut:
Kendala utama dalam prosedur internal ini adalah minimnya akuntabilitas dan tidak adanya batas waktu yang tegas. Banyak instansi tidak memiliki SOP yang baku untuk menangani pengaduan. Bahkan, ada kasus di mana pengaduan “didiamkan” hingga proses pengadaan selesai.
Bila pengaduan ke UKP atau LPSE tidak menghasilkan solusi atau ditolak, maka pelapor dapat melanjutkan ke lembaga eksternal:
Ombudsman memiliki mandat kuat untuk menindaklanjuti laporan dugaan maladministrasi, termasuk dalam bidang pengadaan. Prosesnya meliputi:
Namun, perlu dicatat bahwa keputusan Ombudsman bersifat rekomendatif. Instansi tidak secara hukum wajib melaksanakan rekomendasi tersebut, meskipun sebagian besar melakukannya untuk menjaga reputasi.
Jika pengaduan menunjukkan indikasi kerugian keuangan negara, BPKP dapat melakukan audit investigatif. Proses ini memakan waktu lebih lama dan biasanya hanya dilakukan untuk kasus dengan nilai signifikan atau melibatkan anggaran strategis.
Laporan pengadaan yang diduga terkait korupsi dapat diajukan ke KPK melalui berbagai saluran: telepon, surat elektronik, aplikasi e-LAPOR KPK, atau melalui unit pengaduan di Gedung Merah Putih. Namun, KPK menerapkan standar tinggi untuk menindaklanjuti pengaduan, termasuk kebutuhan akan bukti kuat, nilai kerugian signifikan, dan indikasi persekongkolan atau rekayasa pengadaan.
Langkah hukum terakhir yang dapat diambil oleh peserta pengadaan adalah mengajukan gugatan ke PTUN atas keputusan yang dinilai melanggar hukum administrasi. Contoh: penyedia yang merasa tidak adil karena digugurkan tanpa alasan logis, atau karena pemenang tender tidak memenuhi syarat. Namun, jalur ini mahal, rumit, dan memakan waktu—sehingga jarang digunakan oleh penyedia skala kecil atau menengah.
Dalam dunia pengadaan barang/jasa pemerintah, regulasi bukan sekadar satu dokumen tunggal, melainkan merupakan jaringan peraturan yang saling berkelindan—mulai dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, hingga Peraturan LKPP dan juklak teknis di tingkat daerah. Bagi pihak-pihak yang ingin mengajukan pengaduan, kompleksitas ini menjadi tantangan serius.
Banyak pelapor yang keliru dalam mengajukan gugatan karena tidak memahami di mana letak pelanggarannya dalam kerangka hukum. Misalnya, sanggahan yang seharusnya diajukan ke Pokja justru dikirim ke Inspektorat, atau aduan yang mestinya berlandaskan aspek administrasi tender justru dilaporkan sebagai dugaan korupsi tanpa bukti kuat. Kesalahan ini bukan karena niat buruk pelapor, melainkan akibat tidak adanya panduan terpadu yang mempermudah navigasi hukum dalam pengaduan pengadaan.
Tanpa pemahaman hukum dasar, laporan mudah digugurkan hanya karena kekurangan syarat formil seperti format isian, batas waktu pengajuan, atau kurangnya legal standing. Padahal subtansi pelanggaran bisa jadi sangat serius. Akibatnya, kebenaran substantif sering tertutupi oleh kendala administratif. Ini menunjukkan pentingnya penyederhanaan alur serta edukasi berkelanjutan kepada para pelaku pengadaan maupun masyarakat sipil.
Kendala tidak hanya berada di pihak pelapor. Di sisi instansi, unit penanganan pengaduan juga sering berada dalam tekanan karena kelangkaan sumber daya manusia dan keahlian teknis. Unit pengelola pengaduan di UKPBJ, Inspektorat, bahkan Ombudsman, seringkali harus menangani berbagai laporan dari lintas sektor, sementara jumlah staf tetap dan waktu terbatas.
Lebih parah lagi, sebagian pejabat yang menangani pengaduan bukan berasal dari latar belakang pengadaan atau hukum, sehingga tidak semua laporan mampu diproses dengan pendekatan investigatif yang tepat. Banyak kasus yang hanya ditanggapi secara administratif: dicatat, diklasifikasikan, dan dibalas dengan jawaban normatif, tanpa upaya investigasi lapangan atau penelusuran mendalam.
Beban kerja tinggi juga menyebabkan laporan tidak diprioritaskan, apalagi jika tidak dianggap “urgen” atau berisiko politis rendah. Hal ini menurunkan kredibilitas sistem di mata publik. Apabila pelapor merasa bahwa upaya mereka hanya berakhir di meja arsip, maka semangat partisipasi publik akan menurun drastis.
Era digitalisasi seharusnya membuka peluang untuk transparansi yang lebih luas. Sistem LPSE menyimpan rekam jejak digital pengadaan, mulai dari pengumuman tender, dokumen pemilihan, hingga pengumuman pemenang. Namun, dalam praktiknya, akses masyarakat terhadap informasi ini masih sangat terbatas.
Dokumen seperti berita acara evaluasi, kontrak final, dan nota dinas pengusulan pemenang seringkali hanya dapat diakses oleh peserta tender atau pihak internal. Tidak jarang dokumen yang diunggah di LPSE pun dihapus atau ditarik kembali setelah masa pemilihan usai. Akibatnya, pelapor tidak dapat melacak secara detail alur pengambilan keputusan yang ingin mereka laporkan.
Tanpa data audit yang komprehensif dan akses terbuka terhadap dokumen teknis dan administratif, validasi fakta dalam pengaduan menjadi sangat lemah. Pelapor seringkali hanya bermodalkan dugaan, pengalaman sebelumnya, atau informasi tidak resmi. Ini menyebabkan laporan mereka mudah dianggap tidak valid atau dianggap sebagai tuduhan tanpa dasar. Ke depan, perlu ada kebijakan keterbukaan data yang lebih progresif, agar masyarakat bisa menjadi mitra strategis dalam pengawasan pengadaan.
Salah satu bentuk keluhan yang paling sering muncul dari kalangan penyedia, terutama UMKM, adalah biaya tinggi dan akses terbatas dalam mengajukan pengaduan lebih lanjut. Proses sanggah memang tidak berbayar, tetapi jika pelapor ingin mengajukan gugatan ke PTUN atau banding administratif, mereka dihadapkan pada realitas biaya hukum yang tidak murah.
Biaya panjar perkara, pendaftaran, dan jasa hukum bisa mencapai jutaan rupiah—belum termasuk waktu yang harus dikorbankan selama proses pengadilan berlangsung. Bagi perusahaan besar, hal ini mungkin tidak menjadi kendala, tetapi bagi penyedia lokal atau kontraktor kecil, beban tersebut cukup untuk mengubur niat melanjutkan perlawanan.
Di samping itu, banyak wilayah Indonesia belum memiliki LPSE yang responsif atau akses digital yang merata. Pengaduan yang harus diajukan secara daring menjadi sulit bagi pelaku usaha di daerah yang infrastruktur TIK-nya masih minim. Bahkan untuk sekadar mengunduh dokumen pengadaan pun mereka sering harus pergi ke kota kabupaten atau warnet, menambah beban logistik dan mental.
Semua ini menunjukkan bahwa pengaduan pengadaan saat ini belum cukup inklusif, terutama bagi pihak-pihak yang seharusnya paling dilindungi oleh sistem: pelaku usaha kecil dan masyarakat biasa.
Jika kita menilai sistem pengaduan dari segi kuantitas, maka angka-angka tampak cukup meyakinkan. Menurut data LKPP, sepanjang tahun 2024 tercatat sekitar 3.500 pengaduan masuk melalui sistem LPSE, email resmi, dan kanal lainnya. Namun, angka absolut tidak serta merta menggambarkan efektivitas sistem.
Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 60% yang ditangani dan ditindaklanjuti dalam batas waktu yang ditentukan. Sisanya mengendap, ditolak karena kurang lengkap, atau tidak mendapat tanggapan memadai. Bahkan yang ditindaklanjuti pun belum tentu menghasilkan tindakan tegas. Hanya kurang dari 10% yang berujung pada sanksi nyata, seperti pembatalan tender, pencoretan penyedia, atau peninjauan ulang proses.
Rasio ini menunjukkan bahwa sistem lebih banyak berperan sebagai kanal pelampiasan keluhan ketimbang instrumen korektif. Jika hanya 1 dari 10 laporan menghasilkan perbaikan sistemik, maka publik berhak mempertanyakan sejauh mana sistem ini berdampak dalam menurunkan penyimpangan atau memperbaiki proses pengadaan.
Untuk memahami efektivitas secara kualitatif, kita harus menyimak bagaimana persepsi berbagai pemangku kepentingan terhadap sistem pengaduan saat ini:
Sebuah survei independen yang dilakukan oleh lembaga pengawasan pengadaan menunjukkan bahwa 70% responden merasa proses pengaduan tidak memberikan solusi cepat atau nyata terhadap kerugian yang dialami.
Untuk melihat di mana posisi Indonesia dalam konteks global, kita dapat membandingkannya dengan negara-negara lain yang telah membangun sistem pengaduan pengadaan yang lebih matang.
Keberhasilan mereka terletak pada digitalisasi penuh, pengurangan lapisan birokrasi, serta keterbukaan data yang memungkinkan publik ikut mengawasi kinerja lembaga. Sistem pengaduan bukan hanya tersedia, tetapi juga dipercaya, karena didukung oleh transparansi, efisiensi waktu, dan keberanian menindak.
Mekanisme pengaduan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah sejatinya merupakan pilar penting dalam menjaga integritas dan menekan praktik koruptif. Namun, prosedur yang panjang, regulasi yang kompleks, keterbatasan sumber daya, serta rendahnya tingkat transparansi membuat sistem saat ini kurang efektif. Inovasi digital, mediasi cepat, pendampingan hukum, serta reformasi kebijakan dapat memangkas birokrasi berlebih dan memperkuat kepercayaan publik. Hanya dengan demikian, jalur pengaduan tak lagi sekadar “ritual administratif” melainkan instrumen nyata penegakan akuntabilitas dan keadilan dalam pengadaan.