Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Dalam praktik pengadaan barang dan jasa pemerintah, metode penunjukan langsung (direct appointment) sering kali dipandang sebagai jalan pintas untuk mempercepat pelaksanaan proyek. Prosedur ini memberikan keleluasaan bagi pejabat pengadaan untuk menetapkan penyedia tertentu tanpa melalui proses lelang terbuka. Di satu sisi, kemudahan ini dinilai efektif terutama untuk pengadaan bernilai kecil atau mendesak. Namun di sisi lain, penunjukan langsung kerap dikritik sebagai pintu masuk bagi praktik kolusi, nepotisme, dan potensi penyalahgunaan anggaran. Dengan diterbitkannya Perpres 46/2025, banyak pihak bertanya: “Apakah penunjukan langsung masih aman digunakan, atau justru menimbulkan lebih banyak risiko?” Artikel ini akan membahas tuntas definisi, kerangka hukum, manfaat, risiko, hambatan, praktik terbaik, studi kasus, hingga rekomendasi agar penunjukan langsung dapat dijalankan secara aman dan akuntabel.
Penunjukan langsung adalah salah satu metode pemilihan penyedia barang dan/atau jasa yang digunakan dalam proses pengadaan pemerintah, di mana instansi atau unit kerja menetapkan penyedia tertentu secara langsung tanpa melalui proses kompetisi terbuka seperti tender umum. Artinya, pejabat pengadaan hanya mengundang satu penyedia untuk melakukan negosiasi teknis dan harga, kemudian dilanjutkan dengan kontrak pengadaan. Mekanisme ini diatur secara sah dalam regulasi nasional, termasuk dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 dan penyempurnaannya melalui Perpres Nomor 46 Tahun 2025.
Namun, penggunaan metode ini tidak bersifat bebas atau fleksibel sepenuhnya. Pemerintah secara ketat mengatur bahwa penunjukan langsung hanya dapat digunakan dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti nilai pengadaan yang relatif kecil—yakni di bawah Rp 200 juta untuk barang/jasa lainnya dan Rp 100 juta untuk jasa konsultansi—atau dalam situasi darurat yang tidak dapat diprediksi dalam proses perencanaan tahunan. Selain itu, penunjukan langsung dapat digunakan untuk pengadaan yang bersifat sangat spesifik, di mana hanya ada satu penyedia yang mampu atau memenuhi syarat, misalnya penyedia barang eksklusif atau memiliki hak paten.
Konteks ini menunjukkan bahwa penunjukan langsung bukanlah pengecualian tanpa batas, melainkan sebuah kebijakan taktis yang dirancang untuk menghadapi keterbatasan waktu, anggaran, dan teknis pelaksanaan pengadaan—tetapi dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas dan efisiensi.
Metode penunjukan langsung telah lama dikenal dalam sejarah pengadaan di Indonesia, dan jejaknya bisa ditelusuri sejak diberlakukannya Keppres 80 Tahun 2003. Namun, bentuk formalisasi dan kerangka pengaturannya menjadi semakin jelas ketika Perpres 54 Tahun 2010 diundangkan sebagai standar nasional pengadaan barang/jasa pemerintah. Pada era itu, penunjukan langsung digunakan secara luas, tetapi karena lemahnya kontrol dan pengawasan, metode ini sering disalahgunakan. Banyak kasus di mana proses penunjukan langsung dilakukan tanpa dasar yang memadai, hanya berdasarkan relasi personal atau konflik kepentingan.
Pemerintah menyadari adanya penyimpangan ini, sehingga melalui Perpres 16 Tahun 2018, skema penunjukan langsung mulai diperketat. Perubahan besar terjadi dalam aspek dokumentasi, batasan nilai, dan keharusan justifikasi melalui dokumen perencanaan risiko. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap penggunaan metode ini benar-benar didasarkan pada pertimbangan rasional, bukan semata kenyamanan atau “kemudahan pengaturan”.
Perpres 46 Tahun 2025 menjadi tonggak baru yang menyempurnakan pengawasan terhadap penunjukan langsung. Regulasi ini menambahkan syarat persetujuan dari inspektorat atau auditor internal, khususnya untuk pengadaan program prioritas nasional. Langkah ini menandakan bahwa pemerintah tidak hanya ingin mempercepat belanja, tetapi juga memastikan setiap keputusan pengadaan melalui proses verifikasi internal yang ketat. Dengan kata lain, sejarah penggunaan penunjukan langsung adalah cerminan dari perjalanan menuju keseimbangan antara fleksibilitas dan integritas pengadaan.
Penunjukan langsung bukanlah metode yang dapat digunakan secara sembarangan, melainkan dibatasi secara ketat oleh hukum. Dalam Perpres 46 Tahun 2025 Pasal 22, diatur bahwa metode ini hanya diperbolehkan untuk pengadaan barang dan jasa lain-lain dengan nilai maksimal Rp 200 juta, dan untuk jasa konsultansi maksimal Rp 100 juta. Di luar ambang batas ini, penyelenggara pengadaan diwajibkan menggunakan metode kompetitif seperti tender umum, tender terbatas, atau e-purchasing.
Selain itu, pengadaan melalui penunjukan langsung harus didahului oleh penyusunan Dokumen Pelaksanaan Pengadaan (DPP). Dokumen ini berisi justifikasi mengapa metode penunjukan langsung dipilih, penjelasan tentang tidak adanya alternatif penyedia yang sebanding, serta analisis risiko pengadaan. DPP juga harus memuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang realistis dan telah melalui telaah teknis agar nilai kontrak yang disepakati tidak melebihi kewajaran pasar.
Pembatasan nilai dan kewajiban justifikasi ini dimaksudkan agar metode penunjukan langsung benar-benar digunakan untuk kondisi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak digunakan sebagai jalan pintas menghindari kompetisi terbuka yang sehat.
Perpres 46/2025 memperkuat dimensi pengawasan internal dalam proses penunjukan langsung, terutama pada paket pengadaan yang ditetapkan sebagai bagian dari program prioritas nasional. Dalam konteks ini, instansi tidak bisa serta-merta menunjuk penyedia hanya karena anggaran sudah tersedia atau waktu pelaksanaan mendesak.
Setiap penggunaan penunjukan langsung untuk proyek prioritas wajib melalui verifikasi oleh inspektorat internal atau auditor unit kerja. Tujuan dari langkah ini adalah memberikan “filter kedua” terhadap kemungkinan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat pengadaan. Verifikasi ini meliputi validasi atas dokumen justifikasi, ketepatan metode pemilihan, serta kepatuhan terhadap standar biaya yang ditetapkan dalam HPS.
Melalui mekanisme ini, penunjukan langsung menjadi lebih transparan dan akuntabel, sekaligus mengurangi kemungkinan terjadinya penyimpangan seperti favoritisme vendor, penggelembungan harga (mark-up), atau pembiaran terhadap penyedia yang berkinerja buruk.
Proses penunjukan langsung memiliki alur yang harus dilalui secara sistematis, dan tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan komunikasi informal atau “kesepakatan lisan”. Langkah-langkahnya meliputi:
Rangkaian ini menegaskan bahwa penunjukan langsung adalah proses formal yang berdokumen lengkap, bukan sekadar instruksi lisan antara atasan dan vendor.
Dalam situasi tertentu, seperti darurat bencana, wabah penyakit, atau krisis logistik, waktu adalah faktor paling krusial. Pengadaan melalui tender terbuka atau seleksi bisa memakan waktu hingga beberapa minggu bahkan bulan, mulai dari proses pengumuman, evaluasi, sanggahan, hingga penandatanganan kontrak. Penunjukan langsung menghapus tahapan ini dan memungkinkan penandatanganan kontrak hanya dalam hitungan hari. Kecepatan ini tidak hanya berdampak pada efisiensi administratif, tetapi juga bisa menyelamatkan nyawa dan meminimalkan dampak kerugian sosial-ekonomi. Oleh karena itu, penunjukan langsung tetap relevan dalam konteks kebutuhan cepat dan mendesak, selama digunakan secara hati-hati dan penuh tanggung jawab.
Untuk pengadaan bernilai kecil, biaya proses tender justru sering kali lebih tinggi dibanding nilai manfaat yang diperoleh dari kompetisi. Biaya pengumuman, waktu yang dihabiskan untuk evaluasi penawaran, hingga risiko sanggahan dari peserta kalah dapat menimbulkan beban administratif yang tidak proporsional. Dalam konteks ini, penunjukan langsung memungkinkan efisiensi karena prosesnya lebih ringkas, dan pejabat pengadaan bisa langsung bernegosiasi untuk mendapatkan harga terbaik. Selain itu, adanya ruang untuk negosiasi informal juga membuka peluang mendapatkan kualitas lebih tinggi dalam waktu yang lebih cepat.
Penunjukan langsung juga sangat bermanfaat dalam situasi di mana hanya ada satu penyedia yang mampu memenuhi kriteria teknis atau administratif tertentu. Misalnya, penyedia yang memiliki lisensi eksklusif, hak paten, atau pengalaman khusus dalam pekerjaan tertentu di wilayah terpencil. Selain itu, pada kegiatan yang bersifat sosial atau budaya lokal, penyedia dari komunitas setempat sering kali menjadi satu-satunya yang bisa menjalankan pekerjaan secara efektif, karena memahami konteks sosial, bahasa, dan jaringan informal yang ada. Dalam situasi seperti ini, tender terbuka justru bisa berisiko memunculkan penyedia yang hanya unggul secara administrasi, tetapi lemah di pelaksanaan teknis lapangan. Penunjukan langsung memungkinkan pemerintah menunjuk pihak yang paling relevan dan kapabel tanpa tersandera oleh proses birokratis yang kaku.
Salah satu risiko paling serius dari penggunaan metode penunjukan langsung adalah terbukanya peluang konflik kepentingan. Tanpa sistem pengawasan yang kuat dan prosedur yang transparan, pejabat pengadaan memiliki kewenangan besar untuk menentukan penyedia tanpa kompetisi. Dalam situasi seperti ini, ada kemungkinan pejabat menunjuk rekan, kerabat, atau mitra bisnis pribadi untuk mendapatkan kontrak pengadaan, dengan alasan kedekatan, kemudahan komunikasi, atau bahkan sejarah kerja sama sebelumnya.
Masalah semakin rumit apabila dokumen justifikasi penunjukan tidak disusun dengan baik atau bahkan dibuat secara fiktif. Banyak kasus di mana DPP tidak menjelaskan mengapa hanya satu penyedia yang dipilih, atau tidak menunjukkan bahwa alternatif metode pengadaan lain sudah dipertimbangkan dan ditolak secara objektif. Tanpa proses audit independen, tindakan ini dapat luput dari pantauan hingga terjadi kebocoran anggaran atau proyek bermasalah.
Konflik kepentingan ini tidak hanya merugikan dari sisi keuangan negara, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi penyedia lain yang mungkin memiliki kapabilitas lebih baik namun tidak diberi kesempatan.
Kelemahan lain dari penunjukan langsung adalah terbatasnya informasi publik mengenai proses seleksi penyedia. Meskipun Perpres mengatur kewajiban pengumuman sebelum kontrak ditandatangani, informasi yang dipublikasikan sering kali minim: sekadar menyebut nama penyedia dan nilai kontrak, tanpa rincian mengapa penyedia tersebut yang dipilih, bagaimana evaluasi dilakukan, atau apa kriteria teknis yang digunakan.
Kondisi ini menciptakan persepsi publik bahwa penunjukan langsung adalah metode “gelap” dan rawan rekayasa. Ketika masyarakat tidak memiliki akses untuk menilai rasionalitas pemilihan penyedia, maka kepercayaan terhadap proses pengadaan pun menurun. Akibatnya, praktik yang sebenarnya sah dan efisien ini menjadi dicurigai, bahkan meskipun pelaksanaannya dilakukan sesuai prosedur.
Dalam konteks pengadaan pemerintah, persepsi transparansi sering kali sama pentingnya dengan proses teknis itu sendiri. Oleh karena itu, jika transparansi tidak diperkuat, potensi kegaduhan politik dan sosial akan meningkat.
Tanpa adanya kompetisi terbuka, kualitas pekerjaan dari penyedia yang ditunjuk langsung sering kali sulit dikontrol sejak awal. Tidak adanya tekanan kompetitif bisa membuat penyedia merasa “aman” karena tidak bersaing, sehingga berisiko mengurangi komitmen mereka terhadap mutu, efisiensi, dan ketepatan waktu.
Terlebih lagi, dalam banyak kasus, pejabat pengadaan terlalu fokus pada percepatan pelaksanaan sehingga mengabaikan evaluasi mendalam terhadap kompetensi teknis penyedia. Akibatnya, muncul kasus di mana pekerjaan selesai tidak sesuai spesifikasi, pelaporan administrasi buruk, atau proyek mangkrak di tengah jalan.
Rendahnya kualitas ini juga dapat menyebabkan beban tambahan seperti biaya pemeliharaan yang lebih tinggi, kebutuhan pekerjaan ulang, atau bahkan potensi kerugian hukum karena wanprestasi kontrak.
Metode penunjukan langsung juga rentan menjadi “jalan pintas” untuk tindakan penyimpangan seperti mark-up harga, pengadaan fiktif, dan manipulasi dokumen. Celah dalam prosedur formal, seperti tidak adanya uji pasar untuk menentukan kewajaran HPS, memberi peluang bagi penyedia dan pejabat untuk menaikkan harga secara tidak rasional.
Kolusi antara pejabat pengadaan dan penyedia juga bukan hal yang langka, terutama jika tidak ada mekanisme audit menyeluruh pasca-kontrak. Dalam praktiknya, banyak temuan inspektorat dan BPK yang menunjukkan bahwa paket penunjukan langsung digunakan berulang kali untuk vendor yang sama dengan alasan tidak objektif. Ini memperbesar potensi penyalahgunaan keuangan negara, mengurangi efisiensi anggaran, serta merusak integritas sistem pengadaan secara keseluruhan.
Salah satu contoh penerapan penunjukan langsung yang sukses terjadi saat bencana banjir besar melanda Kabupaten X pada awal 2023. Pemerintah daerah merespons cepat dengan menunjuk langsung penyedia lokal yang telah memiliki pengalaman dalam menangani logistik bencana. Penyedia tersebut tidak hanya memiliki gudang berisi logistik dasar, tetapi juga memiliki armada dan personel yang terlatih menghadapi evakuasi darurat.
Karena semua dokumen justifikasi telah disiapkan sebelumnya dalam kerangka Rencana Kontinjensi Daerah, proses pengadaan berjalan cepat namun tetap transparan. Dalam waktu 48 jam, tenda pengungsi, dapur umum, dan fasilitas air bersih sudah tersedia. Proses ini mendapat apresiasi dari BPK dan BNPB karena menunjukkan sinergi antara kecepatan dan akuntabilitas. Kasus ini menegaskan bahwa penunjukan langsung, bila dirancang dan diawasi dengan baik, bisa menjadi instrumen tanggap darurat yang efektif.
Sebaliknya, di Desa Y, Kabupaten Z, penunjukan langsung digunakan untuk merenovasi kantor desa dengan nilai sekitar Rp 175 juta. Pejabat pengadaan menunjuk penyedia lokal tanpa justifikasi yang memadai dan tanpa pengumuman resmi. Tidak ada verifikasi lapangan, dan dokumen HPS hanya menyalin data proyek tahun sebelumnya.
Hasilnya, pekerjaan molor hingga 3 bulan dari jadwal, kualitas bangunan di bawah standar (banyak retakan dan atap bocor), dan biaya proyek membengkak akibat material yang tidak sesuai RAB. Setelah ada pengaduan masyarakat, barulah inspektorat turun tangan. Namun, sebagian besar kerugian tidak dapat dikembalikan karena kontrak telah dianggap selesai secara administratif. Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa penggunaan penunjukan langsung tanpa prosedur ketat justru dapat menjadi bumerang.
Dokumen Pelaksanaan Pengadaan (DPP) adalah fondasi dari setiap keputusan penunjukan langsung. Dokumen ini harus memuat alasan logis dan objektif mengapa metode ini dipilih dibanding metode lain, misalnya karena keterbatasan waktu, kondisi lapangan, atau eksklusivitas penyedia. Selain itu, harus ada evaluasi risiko, alternatif penyedia, serta dampak jika pengadaan tidak segera dilakukan. Tanpa DPP yang kuat dan terdokumentasi dengan baik, penunjukan langsung rawan digugat atau ditolak saat audit.
Audit yang efektif menjadi benteng terakhir untuk memastikan bahwa metode ini tidak disalahgunakan. Perlu adanya mekanisme review berkala dari inspektorat daerah atau auditor internal untuk semua paket penunjukan langsung di atas ambang batas tertentu. Selain itu, audit eksternal dari BPK atau BPKP juga harus dilakukan secara acak dan tidak bisa ditebak waktunya oleh pelaksana. Transparansi hasil audit sebaiknya dipublikasikan agar meningkatkan tekanan publik terhadap akuntabilitas.
Kunci kepercayaan publik adalah keterbukaan informasi. Semua dokumen DPP, HPS, berita acara negosiasi, dan kontrak harus diunggah ke website resmi LPSE atau portal keterbukaan informasi publik. Pengumuman penunjukan tidak hanya disampaikan melalui SPSE, tetapi juga dapat dipublikasikan di papan informasi desa/kecamatan agar warga mengetahui siapa penyedia dan berapa nilainya.
Setiap penyedia yang ditunjuk langsung harus dinilai secara sistematis melalui indikator kinerja utama, seperti kualitas pekerjaan, ketepatan waktu, kepatuhan terhadap spesifikasi, dan kepuasan pengguna. Data ini kemudian dimasukkan ke dalam sistem LPSE atau SIKaP (Sistem Informasi Kinerja Penyedia) agar menjadi referensi bagi unit lain. Penyedia dengan catatan buruk dapat didiskualifikasi secara otomatis dari penunjukan selanjutnya.
Banyak pelanggaran terjadi bukan karena niat jahat, tetapi karena kurangnya pemahaman pejabat pengadaan terhadap prosedur. Oleh karena itu, pelatihan dan sertifikasi harus menjadi program wajib, terutama di daerah dengan tingkat belanja tinggi. Materi pelatihan perlu diperbarui secara berkala dan menyesuaikan perkembangan regulasi, sistem elektronik, serta studi kasus terkini.
Agar metode penunjukan langsung tetap relevan dan aman digunakan, berikut sejumlah rekomendasi kebijakan yang perlu dipertimbangkan:
Penunjukan langsung tetap memiliki tempat dalam sistem pengadaan pemerintah, terutama untuk paket kecil, tugas mendesak, atau kebutuhan teknis khusus yang sulit dipenuhi melalui tender. Namun, metode ini hanya “aman” jika dijalankan dengan kerangka hukum ketat, dokumentasi lengkap, audit internal dan eksternal yang efektif, serta transparansi proaktif. Tanpa praktik terbaik dan penguatan mekanisme pengawasan, penunjukan langsung mudah disalahgunakan, merugikan keuangan negara, dan menurunkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen bersama antara pemerintah, penyedia, dan masyarakat untuk menerapkan standar akuntabilitas tertinggi agar penunjukan langsung benar‑benar menjadi solusi percepatan tanpa mengorbankan integritas.