Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Dalam era modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan globalisasi, proses pengadaan barang dan jasa menjadi semakin kompleks dan terstruktur. Pengadaan tidak lagi sekadar transaksi jual-beli, melainkan telah berkembang sebagai rangkaian kegiatan strategis yang memegang peran penting dalam keberlangsungan organisasi, baik publik maupun swasta. Tujuan utama pengadaan mencakup efisiensi biaya, kualitas produk atau jasa, serta penyelarasan dengan sasaran jangka panjang organisasi. Namun, di balik dinamika persaingan yang sehat, terdapat celah dan peluang bagi beberapa pihak untuk menerapkan praktik tidak etis, yaitu persaingan tak sehat antarpenyedia. Fenomena tersebut tidak hanya merusak integritas pasar, tetapi juga menggerus kepercayaan stakeholder, merugikan perekonomian secara luas, dan mengancam kesinambungan usaha jangka panjang.
Artikel ini bertujuan mengupas secara mendalam mengenai Persaingan Tak Sehat Antara Penyedia dalam konteks pengadaan. Pembahasan akan dimulai dengan definisi dan kerangka teori pengadaan serta persaingan usaha, dilanjutkan dengan identifikasi bentuk-bentuk persaingan tidak sehat yang sering terjadi, analisis dampak negatif bagi berbagai pihak, faktor penyebab yang melatarbelakangi praktik tersebut, hingga upaya pencegahan dan regulasi yang dapat diterapkan. Melalui pendekatan konseptual dan ilustrasi studi kasus, diharapkan pembaca memperoleh pemahaman komprehensif mengenai risiko dan solusi yang dapat diimplementasikan untuk menciptakan ekosistem pengadaan yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.
Pengadaan barang dan jasa didefinisikan sebagai rangkaian proses dimulai dari perencanaan kebutuhan, pemilihan penyedia, negosiasi kontrak, hingga evaluasi kinerja. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pengadaan harus mengedepankan prinsip transparansi, efektifitas, efisiensi, persaingan sehat, akuntabilitas, dan keadilan. Dalam konteks swasta, praktik pengadaan mengacu pada kebijakan internal organisasi yang sering kali meniru best practices internasional seperti ISO 20400 (Sustainable Procurement) dan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.
Persaingan usaha adalah situasi di mana pelaku pasar berupaya menawarkan barang/jasa terbaik dengan harga paling kompetitif. Persaingan sehat menumbuhkan inovasi, efisiensi, dan kualitas produk. Teori ekonomi menjelaskan bahwa pasar yang kompetitif cenderung mencapai keseimbangan (equilibrium) di mana harga merefleksikan biaya produksi sesungguhnya serta konsumsi yang optimal. Namun, positifnya persaingan hanya akan terjadi jika tidak ada distorsi pasar, seperti monopoli, kartel, atau praktik dumping.
Proses pengadaan idealnya menciptakan mekanisme yang memfasilitasi persaingan sehat di antara penyedia. Mekanisme ini tercapai melalui pemilihan penyedia secara terbuka, kriteria evaluasi yang objektif, serta keberadaan lembaga pengawas independen. Tantangan muncul ketika mekanisme tersebut diakali, baik oleh penyedia maupun oleh pihak internal yang berkepentingan, sehingga persaingan menjadi tidak lagi adil.
Penyuapan merupakan praktik pemberian imbalan berupa uang, barang, atau fasilitas lain kepada pihak yang berwenang dalam rangka memenangkan kontrak pengadaan. Gratifikasi seringkali dibungkus sebagai “hadiah promosi” atau “uang saku” yang kemudian dikecualikan dari kewajiban pelaporan. Praktik ini merusak asas transparansi dan akuntabilitas, serta meningkatkan biaya tersembunyi yang pada akhirnya dibebankan ke pengguna akhir.
Kartel terbentuk ketika penyedia sepakat mengatur harga jual mereka agar berada di titik tertentu, sehingga menghilangkan persaingan harga. Kartel dapat berupa penetapan harga minimum, pembagian wilayah pemasaran, atau pembatasan kuota penawaran. Dampaknya, harga di pasar cenderung lebih tinggi daripada harga seharusnya, konsumen dirugikan, dan efisiensi pasar menurun.
Bid rigging adalah skema kolusi antarpenyedia dalam proses tender. Bentuknya meliputi:
Manipulasi dokumen seperti spesifikasi teknis, jadwal, maupun standar kualitas dapat diarahkan untuk “mengunggulkan” penyedia tertentu. Contoh: penggunaan spesifikasi unik yang hanya dimiliki oleh satu atau beberapa penyedia. Taktik ini mengeliminasi pesaing lain sejak awal, merusak persaingan sehat, dan berpotensi menurunkan kualitas hasil pengadaan.
Praktik tidak sehat mendorong terjadinya inefisiensi alokasi sumber daya. Pemerintah atau organisasi swasta membayar harga lebih tinggi daripada nilai pasar, menurunkan daya saing nasional, serta memicu inflasi biaya. Dalam skala makro, kepercayaan investor melemah dan pertumbuhan ekonomi berpotensi melambat.
Ketika proses tender lebih mengutamakan hubungan personal atau alur gelap dibandingkan kualitas, penyedia yang unggul secara teknis dan inovatif tersisih. Akhirnya, hasil pengadaan bisa tidak sesuai standar, rentan kerusakan, ataupun kurang memenuhi kebutuhan stakeholder. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang retak dini atau fasilitas medis yang alatnya cepat usang.
Terlibat dalam praktik curang membuka risiko sanksi pidana serta denda administrasi bagi perusahaan maupun individu. Reputasi organisasi dapat tercemar, memicu boikot, dan menurunkan kepercayaan publik. Dalam jangka panjang, perusahaan yang pernah terkena skandal susah memulihkan citra positif di mata pelanggan, mitra, maupun regulator.
Persaingan tak sehat menimbulkan budaya korupsi di kalangan pegawai pengadaan. Norma bahwa “uang pelicin adalah bagian dari bisnis” menjadi terinternalisasi. Dilema etika muncul ketika pegawai merasa terdorong untuk memanfaatkan kesempatan demi keuntungan pribadi, mengabaikan tanggung jawab kolektif kepada organisasi dan masyarakat.
Regulasi yang tumpang tindih, celah hukum, dan kelemahan mekanisme pengawasan mendorong peluang bagi praktik tidak sehat. Kurangnya transparansi dalam proses evaluasi serta minimnya audit independen memperburuk situasi. Regulasi yang ada seringkali fokus pada prosedur administratif, sementara aspek integritas dan risiko korupsi kurang disentuh.
Jika insentif pegawai pengadaan hanya berorientasi pada kecepatan penyelesaian tender tanpa mempertimbangkan efisiensi biaya dan kualitas, risiko penyimpangan meningkat. Demikian pula, sistem bonus bagi perusahaan yang memenangkan tender besar tanpa verifikasi kinerja pasca-kontrak dapat menciptakan budaya “tender hunter” yang mengabaikan standar etika.
Proses pengadaan yang panjang, birokratis, dan sulit dipahami oleh pelaku usaha kecil menengah (UKM) membuat mereka memilih keluar dari kompetisi. Sementara penyedia besar dengan sumber daya dan jaringan politik lebih mampu menghadapi kompleksitas tersebut, meningkatkan ketergantungan pada hubungan pribadi dan mengurangi persaingan terbuka.
Di beberapa lingkungan, praktik pemberian “uang ketok palu” atau “fee” dianggap sebagai bagian wajar dari bisnis. Budaya ini sulit diubah jika tidak adanya edukasi intensif mengenai etika bisnis dan tanggung jawab sosial. Norma sosial yang permisif terhadap gratifikasi memperkuat siklus praktik tidak sehat.
Pemerintah maupun organisasi swasta perlu merevisi regulasi pengadaan untuk menutup celah hukum. Contohnya, memperketat aturan mengenai batas maksimal dan pelaporan gratifikasi, memperjelas definisi konflik kepentingan, serta menerapkan sanksi administratif dan pidana yang tegas bagi pelanggar. Harmonisasi regulasi di tingkat pusat dan daerah juga penting untuk mencegah perbedaan interpretasi.
Sistem e-procurement transparan meminimalisir interaksi tatap muka yang rawan kolusi. Dengan platform daring yang terbuka, seluruh tahapan tender—mulai pendaftaran, dokumen, evaluasi, hingga pengumuman pemenang—dapat dipantau secara real time oleh publik dan lembaga pengawas. Analisis data transaksi juga memudahkan deteksi pola mencurigakan.
Pelatihan intensif bagi pegawai pengadaan dan penyedia tentang etika bisnis, regulasi terkini, dan penggunaan sistem e-procurement mutlak dilakukan. Sertifikasi profesi pengadaan (misalnya Certified Professional in Supply Management) dapat menjadi syarat mutlak agar standar kompetensi terpenuhi, mengurangi ruang bagi penyalahgunaan wewenang.
Memperkuat peran lembaga antikorupsi—seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—serta auditor eksternal dalam mengawasi proses pengadaan. Audit berkala dan surprise inspections memberi efek jera. Selain itu, kemitraan dengan organisasi masyarakat sipil memungkinkan whistleblower melaporkan praktik mencurigakan dengan aman.
Pada tahun tertentu, terungkap kartel besar dalam proyek pembangunan jalan nasional di berbagai provinsi. Penyedia A, B, dan C terbukti melakukan pengaturan harga dan bergilir memenangkan tender dengan margin keuntungan tinggi. Audit pemerintah menemukan kerugian negara mencapai triliunan rupiah serta kualitas aspal di bawah standar. Pasca-skandal, regulasi diperketat dan platform e-procurement diperbarui, namun pelajaran penting adalah betapa cepatnya kartel memanfaatkan celah regulasi.
Di sebuah rumah sakit pemerintah, beberapa vendor alat medis memberikan “insentif” kepada petugas pengadaan agar merekomendasikan produk mereka. Akibatnya, harga alat meningkat 20–30% di atas harga patokan, dan beberapa alat terbukti tidak cocok dengan kebutuhan klinis. Intervensi KPK dan audit internal mendorong restrukturisasi tim pengadaan serta penerapan e-purchasing.
Sebuah kabupaten di Jawa Timur menerapkan e-procurement secara menyeluruh sejak 2022. Dalam dua tahun, tercatat penurunan biaya pengadaan sebesar 15%, peningkatan partisipasi UKM lokal, dan minimnya laporan pelanggaran. Keberhasilan ini menjadi model untuk daerah lain, menunjukkan bahwa transparansi dan teknologi dapat menumbuhkan persaingan sehat.
Persaingan tak sehat antarpenyedia dalam proses pengadaan merupakan ancaman serius bagi efisiensi ekonomi, kualitas barang/jasa, dan integritas institusi. Berbagai bentuk praktik tidak etis—mulai dari penyuapan, kartelisasi harga, bid rigging, hingga manipulasi dokumen—menimbulkan dampak merugikan bagi organisasi, pemerintah, dan masyarakat luas. Faktor penyebabnya meliputi kelemahan regulasi, sistem insentif yang tidak seimbang, kompleksitas proses, serta budaya bisnis permisif terhadap gratifikasi.
Upaya pencegahan yang efektif memerlukan pendekatan holistik: memperkuat regulasi dan pengawasan, mengadopsi sistem e-procurement, meningkatkan kapasitas SDM, dan menjalin kolaborasi dengan lembaga independen. Ilustrasi kasus memberikan gambaran nyata konsekuensi praktik tidak sehat sekaligus menunjukkan potensi perbaikan melalui reformasi kebijakan. Ke depan, penyedia dan pemerintah perlu bersama-sama menegakkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan agar ekosistem pengadaan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan, memperkuat daya saing, serta menumbuhkan kepercayaan publik. Hanya dengan komitmen kolektif, persaingan sehat akan terwujud, memacu inovasi, efisiensi, dan kualitas yang sejati.