Praktik Mark-Up oleh Penyedia

Pendahuluan

Praktik mark-up dalam proses pengadaan barang dan jasa merupakan fenomena yang kerap terjadi di berbagai tingkatan pemerintahan maupun sektor swasta. Secara sederhana, mark-up dapat diartikan sebagai selisih antara harga pokok suatu barang atau jasa dengan harga penawaran yang diajukan oleh penyedia. Meskipun naiknya harga seolah menjadi mekanisme pasar yang wajar, dalam konteks pengadaan publik mark-up sering kali menggambarkan praktik tidak transparan dan potensi kolusi antara penyedia dan penyelenggara. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas secara mendalam praktik mark-up oleh penyedia, mencakup definisi dan ruang lingkup, mekanisme pelaksanaannya, faktor penyebab, dampak pada kualitas dan anggaran, serta upaya pencegahan dan regulasi yang relevan. Dengan pendekatan analitis dan berbasis studi kasus, setiap bagian dikembangkan dalam paragraf panjang yang menguraikan nuansa serta implikasi praktis dalam dinamika pengadaan.

1. Definisi dan Ruang Lingkup Praktik Mark-Up

Mark-up pada hakikatnya adalah selisih harga yang diperhitungkan oleh penyedia di atas harga pokok produksi atau harga pasar aktual suatu barang atau jasa. Dalam ranah pengadaan publik, ruang lingkup mark-up meluas ketika penyedia sengaja menaikkan harga penawaran tanpa dasar cost analysis yang jelas, semata-mata untuk menutup biaya kolusi atau penyuapan kepada pihak penyelenggara. Praktik semacam ini dapat mengambil berbagai bentuk, mulai dari penyesuaian harga satuan barang yang terlalu tinggi, rekayasa volume pekerjaan fiktif, hingga manipulasi spesifikasi teknis yang memaksa pemilik proyek membeli komponen dengan harga jauh di atas pasar. Sikap oportunistik ini menimbulkan distorsi dalam proses seleksi penyedia, di mana aspek transparansi dan keadilan dalam evaluasi harga menjadi tergeser oleh motif keuangan terselubung.

Lebih jauh, ruang lingkup mark-up dapat diukur dari sudut kompleksitas kontrak pengadaan. Semakin rumit spesifikasi pengadaan—misalnya pengadaan infrastruktur besar, jasa konsultansi dengan output yang abstrak, atau sistem teknologi informasi terintegrasi—semakin besar peluang penyedia memanfaatkan ketidakjelian masyarakat dan pengawas proyek. Komponen shot price analysis yang sesungguhnya mengharuskan penyedia menjabarkan rincian biaya justifikasi, diabaikan demi menyembunyikan margin mark-up. Dalam konteks ini, mark-up bukan sekadar selisih harga, namun juga strategi tersembunyi yang melibatkan manipulasi dokumen penawaran, perhitungan bohong, dan jaringan kolusi yang sistemik.

2. Mekanisme Pelaksanaan Praktik Mark-Up

Pada tingkat operasional, mark-up dilaksanakan melalui beberapa tahapan terstruktur sejak penyusunan dokumen penawaran hingga penandatanganan kontrak. Tahap pertama dimulai pada saat penyedia menerima dokumen tender yang umumnya berisi rincian teknis dan Rencana Anggaran Biaya (RAB). Penyedia yang ingin menerapkan mark-up akan melakukan analisis gap antara RAB standar dan harga pasar riil, kemudian menetapkan skema penawaran di atas RAB untuk mengakomodasi margin tambahan. Paragraf berikutnya dalam dokumen penawaran akan menampilkan total harga yang sudah termark-up, tanpa menjelaskan secara transparan faktor pendorong kenaikan harga.

Selanjutnya, mekanisme negosiasi pasca-evaluasi penawaran menjadi panggung berikutnya untuk menyempurnakan mark-up. Di sinilah peran oknum panitia tender atau pejabat yang berwenang sangat menonjol: penyedia akan melakukan pendekatan melalui perantara atau langsung mengajukan ‘diskon’ dari harga mark-up yang tampak sangat tinggi. Harga yang telah termark-up kemudian dipreteli sedikit agar terlihat seolah tawarannya kompetitif. Ilusi diskon inilah yang memancing panitia tender untuk merekomendasikan penyedia tersebut, meski sebenarnya harga neto setelah diskon tetap jauh di atas harga pasar. Proses ini mencerminkan skema psikologis: seakan-akan panitia berhasil ‘menekan’ penyedia untuk menurunkan harga, padahal margin keuntungan tetap terjaga.

3. Faktor Penyebab Maraknya Praktik Mark-Up

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan praktik mark-up terus berulang dalam proses pengadaan. Pertama, adanya kesempatan dan motivasi ekonomi tinggi: penyedia dapat meraup keuntungan ekstra yang signifikan, apalagi proyek bernilai besar. Kedua, lemahnya pengawasan internal dalam unit pengadaan, di mana integritas panitia tidak dijaga dengan baik dan mekanisme rotasi anggota panitia tidak diterapkan secara ketat. Ketiga, regulasi dan prosedur evaluasi harga yang kurang mendetail, sehingga penyedia tidak diharuskan mengungkapkomponen break-down cost secara transparan. Keempat, budaya korupsi yang telah mengakar dalam ekosistem pengadaan, menciptakan norma bahwa suap dan gratifikasi merupakan bagian tak terhindarkan untuk memenangkan tender.

Tidak kalah penting, factor teknis juga berpengaruh, misalnya ketidaksiapan pengadaan dalam menyusun spesifikasi teknis yang clear-cut. Dokumen pengadaan yang ambigu memudahkan penyedia memanipulasi item-item penawaran. Penetapan kualifikasi teknis yang longgar juga memberi celah bagi penyedia unqualified untuk ikut tender dengan cara menambah harga mark-up, lalu ‘meng-subkon’ pekerjaan ke pihak ketiga dengan kualitas lebih rendah. Akhirnya, minimnya kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) pengadaan dalam melakukan analisis harga komprehensif menambah peluang mark-up tak terdeteksi.

4. Dampak Praktik Mark-Up terhadap Kualitas dan Anggaran Pengadaan

Praktik mark-up tidak hanya memengaruhi besaran anggaran yang dialokasikan, tetapi juga menurunkan kualitas hasil pengadaan. Dari sisi anggaran, mark-up menyebabkan pembengkakan biaya yang melebihi pagu anggaran awal, sehingga pemerintah atau organisasi harus menyediakan anggaran tambahan atau mengurangi cakupan layanan lain. Situasi ini berpotensi memicu defisit anggaran, menunda proyek, bahkan mempengaruhi prioritas pembiayaan program lain. Efisiensi anggaran publik pun tergerus, mengendorkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara.

Dari perspektif kualitas, penyedia yang menerapkan mark-up cenderung memangkas biaya produksi atau memotong spek material untuk menjaga margin keuntungan. Misalnya, dalam proyek konstruksi, material yang digunakan kurang tahan lama atau tenaga kerja yang digunakan tidak sesuai standar kompetensi. Dampaknya, bangunan mudah rusak, memerlukan pemeliharaan lebih sering, dan mengurangi umur ekonomisnya. Pada jasa konsultansi, output laporan seringkali dihasilkan sekadar memenuhi kebutuhan administratif, bukan memberikan analisis mendalam yang berguna bagi pengambil kebijakan. Dengan demikian, proyek tidak mencapai tujuan strategis yang diharapkan.

5. Praktik Mark-Up dalam Studi Kasus

Sebagai ilustrasi, proyek pembangunan jalan desa di Kabupaten X pada tahun 2023 mencatat adanya mark-up hingga 30% dari harga RAB. Pada tahap penawaran, penyedia A mengajukan harga Rp 10 miliar, padahal hasil estimasi pasar berada pada kisaran Rp 7,5 miliar. Dalam proses klarifikasi, muncul diskon nominal yang menurunkan harga penawaran menjadi Rp 9 miliar, sehingga terlihat lebih kompetitif dibandingkan penyedia lain dengan penawaran Rp 8,8 miliar. Pada praktiknya, margin Rp 1,5 miliar digunakan untuk membayar oknum panitia dan memastikan kelulusan tender. Setelah kontrak berjalan, konstruksi menunjukkan kecacatan pada lapisan aspal, sehingga memerlukan perbaikan ulang pada tahun berikutnya. Kasus ini menegaskan bagaimana mark-up berimplikasi pada kualitas dan pemborosan anggaran.

Contoh lain terlihat pada pengadaan sistem informasi pemerintahan elektronik di Provinsi Y. Penyedia B menambahkan elemen lisensi perangkat lunak fiktif senilai Rp 2 miliar dalam dokumen penawaran, yang seharusnya tidak menjadi kewajiban pemerintah. Pada negosiasi, unsur tersebut dihilangkan dan harga diklaim turun, memberi kesan diskon signifikan kepada panitia. Namun, implementasi sistem menghadapi kendala kompatibilitas dan keamanan, sehingga memerlukan tambahan anggaran untuk lisensi original di kemudian hari. Dengan demikian, mark-up tidak hanya menaikkan harga awal, tetapi juga menciptakan kebutuhan belanja lanjutan.

6. Upaya Pencegahan dan Regulasi

Menghadapi praktik mark-up, perlu diterapkan langkah preventif dan penegakan hukum yang tegas. Pertama, memperkuat aspek transparansi melalui penerapan Open Book Policy, di mana penyedia wajib membuka seluruh komponen biaya secara detail. Dokumen break-down cost harus diverifikasi oleh tim independen untuk menilai kewajaran harga. Kedua, meningkatkan kapasitas SDM pengadaan melalui pelatihan intensif analisis harga dan audit teknis. Dengan kompetensi yang memadai, panitia dapat menilai kelayakan penawaran secara objektif.

Ketiga, penerapan sanksi administratif dan pidana yang berat bagi penyedia maupun oknum penyelenggara yang terbukti melakukan mark-up. Regulatory sandbox juga dapat diaktifkan untuk menguji mekanisme pengawasan baru sebelum diimplementasikan secara luas. Keempat, pengembangan teknologi informasi, seperti e-procurement yang terintegrasi dengan database harga pasar terkini, meminimalisir manipulasi harga. Sistem e-procurement dapat otomatis mendeteksi selisih harga yang tidak wajar dan memunculkan peringatan kepada pengawas. Terakhir, kolaborasi lintas sektor dengan lembaga anti-korupsi, asosiasi penyedia, dan masyarakat sipil diperlukan untuk membangun budaya integritas dan akuntabilitas.

Kesimpulan

Praktik mark-up oleh penyedia dalam proses pengadaan merupakan tantangan serius yang memengaruhi efisiensi anggaran, kualitas hasil, dan kepercayaan publik. Melalui pemahaman mendalam tentang definisi, mekanisme pelaksanaan, faktor penyebab, serta dampak yang ditimbulkan, stakeholder dapat merancang strategi pencegahan yang lebih efektif. Implementasi regulasi yang ketat, peningkatan kapasitas SDM, dan pemanfaatan teknologi informasi menjadi kunci untuk menekan peluang mark-up. Dengan demikian, pengadaan barang dan jasa akan berjalan transparan, akuntabel, dan berorientasi pada nilai manfaat yang optimal bagi masyarakat.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *