Revisi Aturan Pengadaan: Terlalu Sering?

Pendahuluan

Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu instrumen vital dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ia bukan hanya menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan operasional negara, tetapi juga memainkan peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, hingga penciptaan lapangan kerja. Karena pentingnya proses ini, maka diperlukan regulasi yang jelas, efektif, dan adil untuk mengaturnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, para pelaku pengadaan—baik di lingkup pemerintah maupun swasta—sering kali mengeluhkan satu hal yang sama: aturan pengadaan terlalu sering berubah.

Apakah revisi aturan ini memang terlalu sering? Apakah perubahan tersebut mencerminkan adaptasi yang sehat terhadap tantangan baru, atau justru menimbulkan kebingungan dan inefisiensi dalam pelaksanaan pengadaan? Artikel ini akan membahas secara mendalam fenomena revisi regulasi pengadaan yang kerap terjadi, menganalisis dampaknya, serta menawarkan solusi agar revisi tidak menjadi momok, melainkan alat penyempurnaan yang sistematis.

Perjalanan Regulasi Pengadaan di Indonesia

Untuk memahami konteks “terlalu sering”-nya revisi aturan pengadaan, kita perlu menilik sejarah perjalanan regulasinya. Dimulai dari Keppres 18/2000 yang merupakan tonggak awal keterbukaan dalam pengadaan, regulasi pengadaan di Indonesia telah mengalami sejumlah perubahan besar:

  • Keppres 80/2003 menggantikan Keppres sebelumnya dan mulai menyentuh aspek teknis pengadaan lebih detail.
  • Peraturan Presiden (Perpres) 54/2010 menjadi revolusi pengadaan modern yang mengatur lebih sistematis.
  • Disusul Perpres 70/2012, lalu Perpres 4/2015, 16/2018, dan kemudian Perpres 12/2021.
  • Selain itu, juga terdapat banyak Peraturan Lembaga, Surat Edaran, dan petunjuk teknis dari LKPP yang memperkuat atau menginterpretasikan Perpres tersebut.

Dalam kurun waktu dua dekade, aturan pengadaan telah direvisi berkali-kali. Setiap revisi membawa semangat perbaikan, namun juga menyisakan kekhawatiran: adaptasi yang belum sempat dilakukan sudah digantikan aturan baru.

Penyebab Revisi yang Terus Berulang

1. Perubahan Kebijakan Pemerintah

Setiap pergantian kepemimpinan nasional, baik di tingkat presiden, menteri, maupun kepala daerah, sering kali disertai dengan visi dan target pembangunan baru. Misalnya, ketika pemerintah merancang Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk mempercepat konektivitas antar wilayah, maka belanja modal harus dipercepat. Akibatnya, regulator kerap memperkenalkan aturan “penyederhanaan” dokumen persyaratan atau “pelonggaran” waktu evaluasi. Belum lagi, kebijakan fiskal – seperti perubahan defisit anggaran maksimum yang diperbolehkan – akan berdampak langsung pada mekanisme pencairan dana, batasan nilai paket pengadaan, hingga prioritas jenis pengadaan (barang vs. jasa). Tak jarang, intensi percepatan ini menimbulkan silang pendapat antara unit perencanaan, keuangan, dan unit pengadaan, sehingga aturan pun kembali direvisi demi menyeimbangkan fleksibilitas dengan akuntabilitas. Sebagai contoh, Perpres 12/2021 menambahkan klausul percepatan untuk paket pengadaan dalam kategori darurat nasional, tetapi juga mewajibkan laporan real-time melalui sistem e-procurement untuk menjaga transparansi.

2. Dinamika Hukum dan Audit

Laporan hasil audit BPK—terutama temuan tentang penyimpangan prosedur atau ketidaksesuaian harga—sering memaksa pemerintah merevisi pasal-pasal yang dianggap rentan dieksploitasi. Begitu pula, rekomendasi KPK untuk menghilangkan celah suap dengan memperketat kriteria afiliasi penyedia atau mewajibkan verifikasi data keuangan penyedia melalui sistem terintegrasi, memunculkan draf perubahan aturan. Tidak hanya audit eksternal, audit internal oleh APIP atau Inspektorat juga menghasilkan temuan pelanggaran admin­istratif—seperti dokumen pemenang yang tidak ditandatangani oleh semua pihak. Setiap kali ada temuan “tembok kerentanan” ini, regulator harus merilis revisi peraturan pelaksana atau surat edaran LKPP dalam waktu singkat untuk menutup celah hukum, sekaligus memberi sanksi tegas. Sayangnya, siklus “temuan–revisi–sosialisasi” ini tidak selamanya diiringi dengan pelatihan memadai, sehingga terkadang aturan baru hadir tanpa dipahami optimal oleh pelaku di lapangan.

3. Masukan dari Praktisi

Di tingkat lapangan, pejabat pengadaan (PPK), panitia lelang, dan penyedia barang/jasa sering menghadapi kendala teknis yang tidak terbayangkan oleh pembuat regulasi. Sebagai contoh, ketentuan nilai ambang batas untuk metode pemilihan tertentu mungkin mudah diukur oleh instansi pusat, tetapi menyulitkan daerah kecil yang tidak memiliki kapasitas hacer detail financial analysis. Untuk mengakomodasi kekhawatiran ini, regulator kerap membuka konsultasi publik—baik melalui forum daring maupun lokakarya regional—dan kemudian menyesuaikan pasal-pasal terkait ambang batas nilai, dokumen kelengkapan, atau mekanisme klarifikasi dokumen. Namun kritiknya, beberapa masukan belum diuji coba skala luas, sehingga saat diimplementasikan, justru bertabrakan dengan workflow e-procurement atau modul sistem informasi lain. Proses iteratif “masukan–revisi–implementasi” ini idealnya memerlukan pilot project dan evaluasi terukur sebelum diaplikasikan menyeluruh, agar regulasi benar-benar lahir dari kendala riil di lapangan, bukan sekadar teori.

4. Perkembangan Teknologi

Peralihan dari SPSE versi 4 ke versi 5 menandai upaya besar-besaran untuk mengintegrasikan berbagai modul—mulai dari e-Tendering, e-Auction, hingga e-Contract—dalam satu platform terpadu. Setiap modul baru membutuhkan aturan administratif dan teknis yang spesifik: misalnya, validitas harga lelang dinamis (e-Auction) memerlukan jaminan bid bond elektronik yang terhubung langsung ke sistem perbankan, sementara e-Dokumen kontrak menuntut tanda tangan elektronik yang diakui pemerintah. Selain itu, tren blockchain untuk menjaga keaslian dokumen dan Artificial Intelligence (AI) yang dapat mengidentifikasi anomali dalam penawaran mendorong lahirnya pasal baru tentang tata kelola data dan keamanan siber. Karena teknologi berkembang cepat, tidak sedikit regulasi yang kemudian “ketinggalan kereta” sehingga harus di-revisi lagi. Idealnya, setiap rencana implementasi teknologi baru didahului oleh uji coba terbatas, standardisasi workflow, dan kolaborasi lintas-instansi TI—agar saat aturan turun, sistem siap pakai dan pelaku tidak perlu menunggu versi patch berikutnya.

Dampak Negatif dari Revisi yang Terlalu Sering

1. Kebingungan di Lapangan

Kebingungan ini muncul karena pejabat pengadaan sering “terseret” oleh pergantian aturan yang tanpa jeda. Misalnya, PPK di sebuah kabupaten mungkin baru memahami mekanisme evaluasi teknis menyesuaikan lampiran Perpres 16/2018, tetapi tiba-tiba Perpres 12/2021 memodifikasi beberapa poin penting—seperti metode klarifikasi dokumen dan bobot penilaian kualitas—tanpa sosialisasi mendetail. Akibatnya, satu instansi bisa menggunakan format penilaian lama, instansi lain sudah memakai format baru, sehingga profil peserta lelang yang terpilih tidak sebanding. Dalam beberapa kasus, panitia lelang bahkan membatalkan proses tender di tengah jalan karena panik aturan berubah; padahal, secara teknis nilai penawaran sudah sesuai syarat. Kebingungan semacam ini bukan hanya menunda proyek, tetapi juga melemahkan kepercayaan internal terhadap regulasi, karena instansi merasa “dikejar-kejar” perubahan ketentuan tanpa persiapan memadai.

2. Beban Administratif Tambahan

Setiap edaran baru menuntut pembaharuan dokumen: term of reference, kerangka acuan kerja, lembar penilaian, bahkan struktur kontrak. Bayangkan sebuah kantor ULP yang harus mencetak ulang ratusan halaman standar, menyusun ulang alur proses di SOP, dan mengunggah modul pelatihan baru ke platform e-learning internal. Bila tidak dilakukan, proses akan macet—dokumen dianggap tidak valid, sistem menolak input, dan pejabat pengadaan harus mengulang entri data. Biaya yang timbul bukan hanya cetak-mencetak, tetapi juga honorarium narasumber pelatihan, konsumsi peserta, serta waktu produktif pegawai yang seharusnya bisa digunakan untuk pekerjaan substansial. Dalam jangka panjang, alokasi anggaran untuk “penyesuaian administratif” ini bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per tahun untuk instansi menengah ke atas.

3. Ketakutan dalam Bertindak

Regulasi yang terus berubah memupuk budaya “bergerak sangat hati-hati” di kalangan PPK. Ketika semua orang takut melanggar aturan yang belum dikuasai, inisiatif untuk melakukan perbaikan atau inovasi dalam metode pengadaan nyaris mati. Misalnya, beberapa pejabat terpaksa memilih metode tender tradisional meski e-auction lebih efisien, hanya karena mereka belum paham prosedur e-auction terbaru. Rasa takut ini dapat berujung pada terjadinya under-utilization anggaran—lelang dibatalkan, paket dikurangi cakupannya, bahkan tender dialihkan ke penunjukan langsung—semata-mata untuk menghindari risiko administratif. Ironisnya, ini justru melanggar prinsip value for money dan mengurangi transparansi, karena ruang gerak pejabat menurun dan mereka lebih memilih “jalur aman” ketimbang efisiensi.

4. Kesulitan dalam Evaluasi

Kerangka evaluasi kinerja pengadaan bergantung pada standar yang konsisten dari masa ke masa. Saat indikator—misalnya, rasio penyelesaian kontrak tepat waktu atau tingkat keberhasilan tender pertama—diukur dengan rumus tertentu di satu periode, revisi aturan sering mengubah definisi “tepat waktu” atau metode perhitungan suksesnya lelang. Misalnya, Perpres baru bisa menambahkan klausul force majeure yang mengubah penghitungan durasi kontrak, sehingga data tahun sebelumnya tidak lagi sebanding. Ini mempersulit K/L/D/I dalam menarik tren jangka panjang: apakah tingkat efisiensi pengadaan meningkat, stagnan, atau menurun? Lebih jauh, jika laporan monev disusun dengan format berbeda setiap tahun, evaluator eksternal—seperti BPK atau lembaga audit internal—harus merekonsiliasi data manual, yang memakan banyak waktu dan rawan human error. Tanpa kerangka evaluasi yang stabil, upaya perbaikan berkelanjutan menjadi duplikatif dan tidak terarah.

Dampak Positif Revisi Aturan

Meskipun menuai kritik, kita tidak bisa mengabaikan bahwa beberapa revisi regulasi membawa dampak positif yang nyata:

1. Adaptif terhadap Perubahan Zaman

Kemampuan regulasi pengadaan untuk beradaptasi dengan tantangan zaman menjadi salah satu manfaat utama revisi berkala. Contoh paling nyata terjadi saat pandemi COVID-19: kebutuhan mendesak akan alat kesehatan, obat-obatan, dan jasa logistik memaksa pemerintah memberlakukan prosedur percepatan—seperti pengadaan langsung dengan batas nilai yang dinaikkan dan pengecualian tertentu dari tahapan klarifikasi dokumenter—tanpa mengabaikan prinsip transparansi. Setelah krisis mereda, klausul “darurat kesehatan” tersebut diintegrasikan ke dalam lampiran Perpres terbaru, sehingga apabila terjadi bencana alam, klaster darurat serupa dapat diaktifkan dengan cepat.

Selain itu, upaya membangun ekosistem e-katalog lokal berhasil mendorong UMKM untuk masuk dalam rantai pasok pemerintah. Regulasi baru menetapkan standar teknis e-katalog dan mempermudah penyedia lokal dalam proses verifikasi; hal ini memperluas pilihan instansi pembeli dan menstimulus pertumbuhan usaha mikro. Peraturan tentang pengadaan langsung berbasis nilai manfaat juga memunculkan pendekatan outcome-oriented, di mana produk atau jasa dinilai bukan hanya dari spesifikasi fisik, tetapi dari kontribusi nyata terhadap tujuan pembangunan—misalnya, pengadaan layanan konsultasi yang mengukur keberhasilan lewat indikator kinerja program, bukan lama jam kerja konsultan. Tak kalah penting, integrasi prinsip pengadaan ramah lingkungan—karena perubahan iklim dan kelestarian sumber daya—memicu lahirnya standar green procurement, seperti kewajiban penggunaan produk berlabel ecolabel atau energi terbarukan dalam paket pekerjaan konstruksi.

2. Menutup Celah Korupsi

Setiap revisi regulasi pengadaan membuka kesempatan untuk menambal “lubang” yang sebelumnya dimanfaatkan untuk praktik koruptif. Misalnya, perkenalan ketentuan afiliasi penyedia mewajibkan seluruh perusahaan yang memiliki kepemilikan saham, manajemen, atau relasi keluarga diungkapkan secara lengkap. Dengan adanya jaringan verifikasi afiliasi melalui sistem OSS (Online Single Submission) dan SIKAP (Sistem Informasi Kinerja Penyedia), panitia lelang dapat mendeteksi potensi konflik kepentingan sebelum proses penilaian dimulai.

Selain itu, integrasi SPSE dengan basis data keuangan otoritatif—seperti laporan pajak dan rekening koran—memungkinkan validasi otomatis kelayakan penyedia. Ini mengurangi risiko penyedia “siluman” yang sebelumnya lolos seleksi dengan dokumen palsu. Peraturan terbaru juga memasukkan sanksi administratif dan pidana lebih tegas bagi pihak yang terbukti bermanuver, termasuk pemberian nilai minus pada rekam jejak penyedia dan pemblokiran untuk ikut lelang selama beberapa tahun. Dalam konteks audit, KPK dan BPK kini dapat mengakses riwayat lengkap proses tender dalam satu dashboard, mempermudah pemantauan real-time dan audit forensik pasca-lelang. Dengan demikian, revisi aturan tak hanya menambah regulasi, tetapi juga membangun arsitektur pengawasan yang menyeluruh dan terintegrasi.

3. Mendorong Profesionalisme

Revisi regulasi sering kali mencakup penetapan standar kompetensi bagi seluruh jabatan di bidang pengadaan. Saat ini, PPK, pejabat fungsional pengadaan, bahkan panitia lelang wajib memiliki sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) atau lembaga sejenis. Regulasi baru mewajibkan pembaruan sertifikasi setiap tiga tahun serta minimal jam pelatihan berkelanjutan, memastikan SDM pengadaan selalu terkini dengan praktik terbaik dan etika profesi.

Lebih jauh, kewajiban pelaporan elektronik—baik pada tahap perencanaan melalui SIPBJ (Sistem Informasi Pengelolaan Barang/Jasa) maupun pada tahap pelaksanaan menggunakan e-contract—menciptakan jejak audit yang rapi dan transparan. Revisi aturan juga mendorong pelibatan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) dan Inspektorat sejak fase perencanaan untuk melakukan risk assessment awal, bukan hanya menunggu tahap akhir untuk audit. Kolaborasi ini memupuk budaya pencegahan, bukan sekadar penindakan.

Dengan kerangka kompetensi yang jelas dan mekanisme pelaporan terstandar, pejabat pengadaan dibentuk menjadi profesional sejati: memahami aspek teknis, memegang teguh integritas, dan mampu memanfaatkan data untuk pengambilan keputusan. Fenomena “pejabat pengadaan aversive risk” pun berangsur teratasi, karena mereka memiliki pijakan keilmuan dan dukungan sistem yang memadai untuk bekerja cepat, tepat, dan akuntabel.

Apakah Benar-Benar Terlalu Sering?

Jika ditinjau secara jumlah, revisi besar aturan pengadaan nasional (yakni Perpres) memang tidak terlalu banyak, sekitar 5-6 kali dalam 15 tahun terakhir. Namun, jika dihitung hingga tataran peraturan pelaksana, surat edaran, petunjuk teknis, dan regulasi sektoral, jumlahnya bisa mencapai ratusan dokumen. Inilah yang menjadi sumber kebingungan.

Masalah bukan semata pada frekuensi, tetapi pada:

  • Kurangnya waktu transisi yang cukup.
  • Minimnya diseminasi dan sosialisasi intensif.
  • Ketidaksiapan sistem dan SDM dalam mengimplementasikan aturan baru.

Suara dari Lapangan

Beberapa testimoni berikut menggambarkan realitas yang terjadi:

“Kami baru selesai meng-upgrade SOP pengadaan berbasis Perpres 16/2018, ternyata sudah keluar Perpres 12/2021. Mau tak mau harus revisi lagi dokumen.” – Kabag ULP, Kabupaten di Jawa Timur.

“Sering kali aturannya berubah tapi sistem belum siap. Akhirnya kami disuruh pakai metode yang belum bisa dijalankan di SPSE.” – Pokja Pemilihan, Provinsi Sumatera Barat.

“Saya rindu masa ketika aturan cukup jelas dan bertahan lama. Sekarang harus baca ulang aturan setiap 6 bulan.” – Konsultan PBJ.

Solusi: Menuju Revisi yang Terkelola

1. Grand Design Revisi 5 Tahunan

Regulasi pengadaan bisa disusun dalam kerangka revisi besar setiap 5 tahun, kecuali kondisi luar biasa. Ini memberi kepastian hukum dan cukup waktu bagi instansi menyesuaikan diri.

2. Harmonisasi Digital dan Aturan

Sebelum aturan diberlakukan, sistem digital (SPSE, SIRUP, e-Kontrak, dll.) harus sudah siap. Revisi tak boleh mendahului kesiapan infrastruktur.

3. Pelibatan Daerah dan Praktisi

Proses revisi harus melibatkan praktisi pengadaan dari berbagai level dan daerah. Ini agar aturan tidak elitis dan memahami realitas lapangan.

4. Pusat Bantuan Implementasi

Setiap revisi harus dibarengi dengan pendirian helpdesk nasional dan regional, baik daring maupun luring, untuk membantu instansi memahami aturan baru.

5. Modul Pembelajaran Mandiri

LKPP perlu menyiapkan platform pembelajaran daring modular yang selalu diperbarui sesuai revisi terbaru, lengkap dengan contoh kasus dan simulasi.

Kesimpulan: Revisi, Ya. Tapi Jangan Terlalu Sering

Revisi aturan pengadaan adalah hal yang wajar dan perlu sebagai bagian dari perbaikan sistemik. Namun, ketika revisi terjadi terlalu sering tanpa koordinasi, tanpa sosialisasi yang memadai, dan tanpa dukungan sistem yang kuat, maka ia berbalik menjadi penghambat. Pegawai pengadaan menjadi ragu, proses menjadi lambat, dan tujuan efisiensi serta transparansi bisa melenceng.

Yang diperlukan bukanlah menolak revisi, tetapi mengelolanya dengan baik. Dengan jadwal yang jelas, pelibatan luas, sosialisasi efektif, serta dukungan implementatif, revisi aturan bisa menjadi jalan menuju pengadaan yang lebih baik, bukan sekadar beban tambahan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *