Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan
Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan salah satu aspek penting dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik dan efisiensi anggaran negara. Di balik pelaksanaan pengadaan tersebut, terdapat unsur-unsur mekanisme dan tata kelola yang ketat untuk menjamin proses berjalan sesuai peraturan perundang-undangan. Salah satu elemen kunci dalam mekanisme ini adalah Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP). Berdiri sebagai ujung tombak pelaksanaan tender, Pokja ULP berperan besar dalam memutuskan pemenang serta menetapkan kontrak pengadaan. Pertanyaannya, jika Pokja ULP memegang peran sentral, siapa yang bertanggung jawab mengawasi mereka agar tidak terjadi penyimpangan? Artikel ini akan mengupas tuntas lembaga ataupun pihak-pihak yang memiliki wewenang dan tanggung jawab melakukan pengawasan terhadap Pokja ULP.
Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) adalah tim teknis yang dibentuk oleh pimpinan satuan kerja pengadaan barang/jasa pemerintah. Pokja ULP bertugas melaksanakan seluruh rangkaian proses tender, mulai perencanaan, evaluasi penawaran, hingga penetapan pemenang. Mereka wajib mematuhi Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) terkait.
Dalam peraturan standar, Pokja ULP terdiri dari minimal lima orang dengan kualifikasi tertentu, antara lain keahlian administratif, teknis, dan keuangan. Ketua Pokja ULP biasanya berasal dari pejabat struktural di satuan kerja, sementara anggota berasal dari berbagai latar belakang fungsi pengadaan.
Peran sentral Pokja ULP menimbulkan potensi konflik kepentingan, seperti kolusi antara anggota Pokja dan penyedia. Risiko ini menegaskan pentingnya oversight yang efektif agar pengadaan tetap transparan dan akuntabel.
Pengawasan internal terhadap Pokja ULP merupakan lini pertama dalam sistem kontrol pemerintahan. Pengawasan ini umumnya dijalankan oleh Inspektorat Jenderal di kementerian/lembaga atau Inspektorat Daerah di lingkungan pemerintah daerah. Peran lembaga ini sangat penting dalam mendeteksi dini potensi penyimpangan dan memberikan rekomendasi perbaikan sebelum masalah berkembang menjadi kasus hukum.
Inspektorat merupakan organ pengawasan internal yang memiliki mandat langsung dari pimpinan tertinggi institusi, baik di kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah. Mereka beroperasi dengan semangat internal audit yang tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif dan konsultatif. Dalam konteks pengadaan, Inspektorat bertanggung jawab memastikan bahwa seluruh proses—termasuk peran Pokja ULP—dilakukan secara patuh terhadap regulasi yang berlaku.
Inspektorat Jenderal (Itjen) di kementerian dan Inspektorat Daerah (Irda) di provinsi/kabupaten/kota bertugas menelaah apakah Pokja telah menjalankan prosedur dengan tepat. Mereka juga memiliki fungsi pendampingan dalam proses pengadaan, terutama untuk proyek strategis nasional atau paket bernilai besar. Selain itu, Inspektorat memiliki kewenangan melakukan investigasi internal atas laporan pengaduan dari masyarakat atau dari unit kerja lain.
Khusus untuk Pokja ULP, fokus pengawasan tidak hanya pada hasil akhir (misalnya siapa pemenang tender), tetapi juga pada proses: apakah penilaian dilakukan adil, apakah ada intervensi, apakah dokumen lengkap, hingga apakah pengadaan berjalan sesuai prinsip value for money. Di sinilah peran auditor internal menjadi strategis karena mereka memahami konteks kelembagaan dan memiliki akses langsung terhadap dokumen dan pejabat pelaksana.
Proses audit oleh Inspektorat dilakukan melalui beberapa tahapan yang bersifat sistematis dan terdokumentasi dengan baik. Tahapan-tahapan tersebut meliputi:
Mekanisme audit dapat bersifat rutin—sebagai bagian dari siklus audit tahunan—atau khusus (ad-hoc) jika ada laporan masyarakat, pengaduan whistleblower, atau permintaan dari pimpinan instansi. Dalam audit ad-hoc, proses lebih fokus, cepat, dan bisa bersifat investigatif.
Yang membedakan audit internal oleh Inspektorat dibanding lembaga eksternal adalah sifatnya yang internal-confidential, di mana pendekatan pembinaan lebih diutamakan sebelum tindakan korektif atau represif dijalankan. Namun demikian, temuan serius dapat dimajukan ke aparat hukum jika mengandung unsur pidana.
Salah satu indikator keberhasilan fungsi pengawasan adalah tindak lanjut dari temuan audit. Tanpa eksekusi yang jelas atas temuan, peran Inspektorat hanya akan berakhir sebagai formalitas administratif. Oleh karena itu, tindak lanjut temuan audit terhadap Pokja ULP dilakukan melalui skema berikut:
Dalam kasus ekstrem, hasil audit internal yang menunjukkan indikasi kuat pelanggaran pidana akan diteruskan ke Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Kejaksaan, Kepolisian, atau KPK. Inspektorat akan menyerahkan dokumen pendukung dan memberikan keterangan sebagai saksi ahli.
Tindak lanjut yang tegas menunjukkan bahwa pengawasan internal bukan sekadar formalitas birokrasi, tetapi bagian integral dari sistem integritas yang menjaga kepercayaan publik terhadap proses pengadaan.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) merupakan institusi pemerintah nonkementerian yang memiliki mandat besar dalam membentuk kebijakan nasional di bidang pengadaan. LKPP dibentuk berdasarkan Perpres No. 106 Tahun 2007 dan menjadi pusat pengembangan regulasi, sistem, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengadaan. Dalam konteks pengawasan Pokja ULP, LKPP berperan sebagai regulator, fasilitator, dan sekaligus watchdog dalam konteks kepatuhan terhadap norma dan standar pengadaan.
Secara garis besar, peran LKPP dapat dikelompokkan ke dalam empat bidang strategis, yaitu regulasi, pengembangan sistem, pembinaan SDM, dan pengawasan:
Salah satu instrumen paling penting dalam pengawasan Pokja ULP adalah SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik). SPSE merupakan platform digital yang mencatat seluruh proses tender — mulai dari pengumuman paket, pengunggahan dokumen, evaluasi penawaran, klarifikasi, hingga penetapan pemenang.
Melalui SPSE, LKPP dapat melakukan pengawasan digital yang mencakup:
Salah satu pendekatan pengawasan yang digunakan LKPP bersifat preventif dan pembinaan, bukan hanya korektif. Ini dilakukan melalui:
Pedoman Etika dan Kode Perilaku
LKPP juga mengeluarkan Pedoman Etika Pengadaan yang harus ditaati oleh semua pelaku, termasuk Pokja. Kode etik ini menjadi acuan jika terjadi konflik kepentingan, gratifikasi, atau tekanan dari pihak luar.
Pelatihan Teknis dan Manajerial
LKPP secara rutin mengadakan pelatihan teknis pengadaan, baik daring maupun luring, untuk memperbarui pengetahuan Pokja terhadap regulasi baru. Materi pelatihan mencakup manajemen risiko, etika pengadaan, evaluasi harga, dan penyusunan kontrak.
Sertifikasi Kompetensi
Anggota Pokja ULP diwajibkan memiliki sertifikat kompetensi pengadaan tingkat dasar (level 2) atau lanjutan (level 3). Ujian sertifikasi ini dirancang untuk mengukur pemahaman terhadap prinsip-prinsip good governance dan integritas dalam pengadaan.
Evaluasi Kinerja Individual
Melalui aplikasi e-Sertifikasi dan integrasi dengan data kepegawaian, LKPP dapat memantau histori pelatihan, pelanggaran, atau performa masing-masing individu Pokja. Ini menjadi bagian dari mekanisme early warning system dan seleksi calon Pokja pada masa depan.
Keterlibatan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam pengawasan Pokja ULP menjadi aspek penting dalam menjaga akuntabilitas dan integritas proses pengadaan. APH yang dimaksud meliputi Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiganya memiliki wewenang untuk menyelidiki dan menindak dugaan pelanggaran hukum dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, baik yang bersifat administratif, perdata, maupun pidana.
Meskipun keberadaan APH penting, tidak sedikit Pokja yang menghadapi tekanan psikologis dan ketakutan berlebihan terhadap proses hukum. Over-kriminalisasi atas kesalahan administratif yang bukan perbuatan pidana bisa membuat Pokja bekerja secara pasif atau bahkan paralysis by analysis.
Karena itu, penting untuk membedakan:
Agar tidak terjadi saling tumpang tindih atau kriminalisasi berlebihan, APH diharapkan melakukan pendekatan soft approach terlebih dahulu. Banyak APH saat ini juga mulai terlibat dalam Forum Koordinasi dan Supervisi (Korsup) bersama APIP dan LKPP, guna menyatukan pemahaman serta mendorong penyelesaian preventif dan administratif sebelum masuk ke ranah hukum pidana.
BPKP mengemban tugas pengawasan internal pemerintah di bidang pengelolaan keuangan dan pembangunan. Melalui audit keuangan dan audit kinerja, BPKP memeriksa aspek anggaran serta pelaksanaan kontrak yang dihasilkan Pokja ULP.
BPKP dapat melakukan audit tematik jika terdapat indikasi penyimpangan pada sektor tertentu. Audit forensik juga bisa dijalankan untuk menyelidiki dugaan kerugian negara akibat keputusan Pokja ULP.
Ombudsman RI berwenang menerima laporan maladministrasi, termasuk proses pengadaan yang tidak transparan atau diskriminatif. Jika laporan valid, Ombudsman menerbitkan rekomendasi penyelesaian dan perbaikan prosedur.
BPK memeriksa laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah, termasuk realisasi pengadaan. Temuan BPK dapat mencakup ketidaksesuaian antara hasil tender dan anggaran yang dikeluarkan Pokja ULP.
Dewan memiliki fungsi anggaran dan pengawasan (fungsi budgeting & oversight). Komisi terkait (misalnya Komisi II untuk DPR) dapat memanggil pejabat instansi untuk memberikan penjelasan atas temuan penyimpangan di Pokja ULP.
Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan publik yang dananya berasal dari pajak rakyat. Maka wajar jika masyarakat, LSM, jurnalis, serta akademisi memiliki hak dan peran penting dalam melakukan pengawasan terhadap proses tersebut, termasuk terhadap Pokja ULP yang menjadi aktor teknis utama.
Dalam era digital dan keterbukaan, semua proses pengadaan, termasuk dokumen tender, hasil evaluasi, dan nama pemenang harus diumumkan melalui SPSE atau media resmi instansi. Dengan demikian, masyarakat umum dapat mengakses informasi dan memberikan umpan balik, terutama jika mencurigai adanya penyimpangan.
Contohnya:
LKPP, KPK, dan beberapa pemda sudah menyediakan kanal pengaduan daring, seperti:
Setiap laporan yang masuk akan diverifikasi dan dapat ditindaklanjuti jika memiliki bukti yang cukup. Pokja ULP harus menyadari bahwa publik saat ini memiliki instrumen kuat untuk mengawasi secara independen, bahkan lebih cepat daripada pengawas formal.
Selain media massa konvensional, pengawasan kini juga terjadi secara real-time di media sosial. Viral-nya suatu informasi mengenai tender yang tidak masuk akal atau diduga sarat permainan bisa mendorong APIP atau APH bergerak cepat. Hal ini menjadi pengingat bagi Pokja bahwa reputasi publik dapat terbentuk hanya dari satu cuitan atau unggahan Facebook yang didukung data.
Pengawasan terhadap Pokja ULP melibatkan berbagai pihak, baik internal pemerintah seperti Inspektorat, LKPP, BPKP, maupun eksternal seperti Ombudsman, BPK, DPR, dan masyarakat sipil. Setiap lembaga memiliki fungsi dan mekanisme tersendiri, mulai audit, evaluasi log, hingga penanganan pengaduan. Sinergi dan kolaborasi antarlembaga, didukung oleh partisipasi publik dan kemajuan teknologi, menjadi kunci dalam memastikan proses pengadaan berjalan transparan, akuntabel, dan bebas korupsi.