Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ngobrol santai seputar pengadaan
Ngobrol santai seputar pengadaan

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sering berada di posisi yang cukup sulit. Di satu sisi, PPK harus memastikan bahwa kegiatan pengadaan berjalan sesuai aturan dan menghasilkan output yang berkualitas. Namun di sisi lain, PPK juga harus berhadapan dengan penyedia yang karakternya sangat beragam. Ada penyedia yang cepat merespons, disiplin, dan mau bekerja sama dengan baik. Tetapi ada juga penyedia yang lambat, sulit diajak berkomunikasi, atau bahkan cenderung menghindar ketika diminta melengkapi kewajiban.
Kondisi ini tentu mempengaruhi kelancaran pekerjaan, kualitas hasil, dan jadwal pelaksanaan. Jika dibiarkan, masalah ini bisa merugikan instansi, menghambat kegiatan, dan membuat PPK seolah-olah tidak menjalankan tugas dengan baik. Padahal sering kali akar masalahnya ada pada penyedia yang tidak kooperatif.
Artikel ini akan membahas solusi praktis, sederhana, dan mudah dilakukan oleh PPK ketika menghadapi penyedia yang sulit diajak kerja sama. Penjelasan disusun dengan bahasa ringan agar mudah dipahami oleh siapa pun, termasuk pembaca yang belum familiar dengan aturan teknis pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sebelum membahas solusinya, ada baiknya memahami penyebab umum mengapa penyedia menjadi tidak kooperatif. Dengan memahami akar masalah, PPK bisa menentukan pendekatan yang tepat tanpa langsung menyalahkan satu pihak.
Pertama, ada penyedia yang tidak siap secara administrasi. Banyak penyedia kecil yang tidak punya staf administrasi. Mereka kadang kesulitan menyiapkan dokumen, lambat merespons surat, atau tidak paham detail kontrak. Ini bukan karena mereka ingin menghindar, tetapi karena keterbatasan kapasitas.
Kedua, ada penyedia yang kesulitan secara finansial. Misalnya, modal mereka pas-pasan sehingga sulit membeli material di awal atau membayar tenaga kerja tepat waktu. Akibatnya, progres pekerjaan terhambat dan mereka memilih menghindar daripada menjelaskan kondisi sebenarnya.
Ketiga, ada penyedia yang tidak menguasai teknis pekerjaan. Mereka mungkin menang tender berkat harga yang murah, tetapi tidak memperhitungkan kemampuan teknis atau kebutuhan SDM. Saat pelaksanaan, mereka kewalahan dan terkesan tidak kooperatif karena kebingungan mengatur pekerjaan.
Keempat, ada penyedia yang memang tidak disiplin. Ini biasanya terlihat dari awal: sering terlambat, tidak mau mengikuti arahan, dan cenderung mengabaikan komitmen. Untuk penyedia tipe ini, PPK perlu pendekatan yang lebih tegas.
Dengan mengenali penyebab-penyebab tersebut, PPK bisa menentukan strategi penyelesaian yang tidak hanya efektif, tetapi juga proporsional.
Salah satu kesalahan umum adalah PPK terlalu mengandalkan komunikasi informal, seperti WhatsApp atau telepon. Ini memang praktis, tetapi tidak cukup kuat jika penyedia mulai menghindar atau mengabaikan instruksi.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan semua instruksi penting disampaikan secara resmi melalui surat. Dengan surat resmi, penyedia tidak punya alasan untuk menghindar, dan PPK punya bukti tertulis jika masalah melebar.
Komunikasi formal juga membantu PPK menjaga profesionalitas. Penyedia yang awalnya tidak kooperatif sering kali menjadi lebih hati-hati ketika diberi surat resmi. Mereka tahu bahwa setiap respons (atau ketidakhadiran respons) dapat berdampak pada penilaian kinerja atau sanksi.
Jika diperlukan, PPK bisa menggunakan berita acara pertemuan atau undangan rapat resmi. Dengan begitu, setiap langkah dapat terdokumentasi dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penyedia yang tidak kooperatif sering kali menghindari komunikasi karena merasa tidak mampu menyelesaikan masalah. Daripada menunggu respons yang tidak pasti, PPK bisa mengambil inisiatif mengundang penyedia untuk pertemuan resmi.
Pertemuan ini bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk mencari solusi. Pada pertemuan tersebut, PPK dapat menanyakan kendala yang dialami penyedia dan mendiskusikan jalan keluar yang realistis. Kadang hanya dengan mendengarkan penyedia, PPK sudah mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai situasi sebenarnya.
Misalnya, penyedia kesulitan membeli material karena dana tersendat. Dengan mengetahui hal ini, PPK dapat mengevaluasi opsi seperti perubahan jadwal pelaksanaan yang masih sesuai ketentuan kontrak.
Contoh lain, penyedia tidak bisa melanjutkan pekerjaan karena tenaga kerja mereka berhenti mendadak. PPK bisa meminta penyedia mengganti tim atau mencari tenaga tambahan agar proyek tidak tertunda terlalu lama.
Pertemuan yang terdokumentasi juga menjadi bukti bahwa PPK sudah berupaya memfasilitasi penyedia tetapi penyedia tetap gagal memenuhi kewajiban, jika pada akhirnya perlu diberikan sanksi.
PPK tidak harus menanggung semua beban sendiri. Dalam banyak pengadaan, ada konsultan pengawas atau tim teknis yang mendampingi pelaksanaan pekerjaan. PPK bisa meminta mereka memberikan laporan lebih detail terkait perilaku dan kinerja penyedia.
Ketika penyedia tidak kooperatif, laporan teknis ini bisa memperkuat posisi PPK. PPK dapat menggunakan laporan tersebut untuk menyusun surat teguran atau rekomendasi langkah selanjutnya. Selain itu, tim teknis bisa membantu memastikan penyedia tetap bekerja sesuai standar meskipun komunikasi tidak lancar.
Jika penyedia mengabaikan instruksi teknis, dokumentasi dari pengawas bisa menjadi dasar kuat bagi PPK untuk mengambil tindakan tegas.
Di dalam kontrak pengadaan barang/jasa, mekanisme teguran sudah diatur dengan cukup jelas. PPK dapat mengirimkan teguran pertama sebagai pengingat bahwa penyedia belum menjalankan kewajibannya.
Jika tidak ada perbaikan, PPK dapat mengeluarkan teguran kedua dengan nada yang lebih tegas. Teguran kedua biasanya sudah menjelaskan batas waktu yang harus dipatuhi penyedia serta kemungkinan diterapkan sanksi jika tetap tidak kooperatif.
Jika teguran kedua masih tidak direspons, teguran ketiga dapat dikirimkan sebagai langkah sebelum penjatuhan sanksi atau pemutusan kontrak. Dalam teguran ketiga ini, PPK harus menjelaskan konsekuensi secara jelas agar penyedia memahami bahwa situasinya serius.
Mekanisme teguran bertahap ini membantu PPK tetap berada pada jalur administrasi yang benar, sekaligus memberikan kesempatan bagi penyedia untuk memperbaiki diri sebelum masalah makin besar.
Kontrak adalah dasar hubungan antara PPK dan penyedia. Ketika penyedia tidak kooperatif, PPK harus kembali pada kontrak dan memastikan semua kewajiban serta hak-hak dijalankan sesuai isi dokumen tersebut.
Misalnya, jika penyedia terlambat menyerahkan laporan atau progres pekerjaan, lihat kembali apa sanksi keterlambatan yang diatur dalam kontrak. Jika penyedia tidak memenuhi spesifikasi teknis, periksa pasal mengenai perbaikan pekerjaan atau penolakan hasil.
Dengan berpegang pada kontrak, PPK bisa memastikan langkah yang diambil selalu legal dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini penting untuk menghindari kesan bahwa PPK bertindak subjektif atau tidak adil.
Kondisi di lapangan bisa berubah. Ada kalanya keterlambatan bukan sepenuhnya kesalahan penyedia, melainkan karena faktor eksternal seperti pembangunan infrastruktur lain, cuaca buruk, atau revisi kebutuhan oleh instansi.
Jika penyedia tampak tidak kooperatif karena perubahan kondisi yang tidak mereka kontrol, PPK dapat mempertimbangkan addendum kontrak. Addendum dapat digunakan untuk menyesuaikan jadwal, spesifikasi teknis, atau ruang lingkup pekerjaan asalkan sesuai ketentuan.
Addendum sering menjadi solusi efektif ketika penyedia sebenarnya mau bekerja, tetapi terhambat kondisi yang berada di luar kontrolnya.
Tindakan tegas diperlukan jika penyedia tetap tidak kooperatif meskipun sudah diberi kesempatan. Di sinilah denda keterlambatan dapat diterapkan. Denda bukan untuk menghukum, tetapi untuk mengingatkan penyedia bahwa kontrak memiliki konsekuensi.
Jika penyedia masih tetap tidak berpartisipasi, PPK dapat mengajukan rekomendasi pemutusan kontrak sesuai regulasi. Pemutusan kontrak adalah langkah terakhir dan harus disertai dokumentasi lengkap agar tidak menjadi masalah bagi PPK di kemudian hari.
Pemutusan kontrak juga penting untuk melindungi instansi agar pekerjaan tidak terus-menerus tertunda tanpa kepastian.
Dokumentasi adalah senjata utama PPK ketika berhadapan dengan penyedia tidak kooperatif. Setiap komunikasi, pertemuan, kendala, atau kelalaian harus dicatat secara rapi.
Dokumentasi ini tidak hanya berguna untuk keperluan administrasi, tetapi juga diperlukan jika ada audit atau pemeriksaan. Dengan catatan yang lengkap, PPK dapat menjelaskan bahwa semua langkah telah dilakukan sesuai aturan dan prosedur.
Dokumentasi juga membantu memberikan gambaran utuh jika pekerjaan akhirnya bermasalah atau berujung pemutusan kontrak.
Langkah pencegahan sering kali lebih efektif daripada langkah penyelesaian. Dari awal kontrak, PPK bisa membangun hubungan kerja yang profesional dengan penyedia.
Misalnya, menjelaskan ekspektasi secara jelas, memberi arahan yang tidak membingungkan, serta bersikap terbuka terhadap pertanyaan. Penyedia yang merasa dihargai dan diperlakukan profesional cenderung lebih kooperatif.
Sebaliknya, penyedia yang merasa hubungan kerja tidak jelas atau tidak nyaman akan lebih mudah menjauh ketika masalah muncul.
Penyedia sering merasa hubungan dengan PPK adalah hubungan yang kaku dan penuh kewajiban. Jika PPK bisa menunjukkan bahwa pengadaan adalah kerja sama, bukan hanya pelaksanaan kontrak sepihak, penyedia biasanya lebih terbuka.
PPK dapat menekankan bahwa keberhasilan pekerjaan menguntungkan kedua belah pihak: instansi mendapatkan hasil yang berkualitas, penyedia mendapatkan pembayaran dan reputasi baik untuk pekerjaan berikutnya.
Dengan pendekatan win-win, penyedia yang awalnya sulit diajak bekerja sama bisa lebih kooperatif.
Sering kali penyedia tidak kooperatif karena merasa tidak punya ruang untuk menyampaikan pendapat. Mereka khawatir jika bicara, justru dianggap mencari alasan.
PPK bisa memberi ruang agar penyedia menyampaikan solusi alternatif. Misalnya, penyedia mengusulkan perubahan urutan pekerjaan, penggantian material yang setara, atau revisi jadwal.
Dengan mendengarkan usulan mereka, PPK dapat melihat apakah ada solusi yang saling menguntungkan. Bahkan jika usulan ditolak, penyedia akan merasa lebih terlibat dan cenderung lebih kooperatif.
PPK harus tegas, tetapi juga manusiawi. Penyedia juga bisa menghadapi masalah di lapangan, mengalami kegagalan teknis, atau berada dalam tekanan finansial. Pendekatan empati bisa membantu membuka komunikasi yang sempat terputus.
Namun, empati tidak berarti membiarkan pelanggaran. PPK tetap harus berpegang pada kontrak, aturan, dan batas waktu. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan antara ketegasan dan pengertian.
Dengan pendekatan ini, penyedia tidak merasa dipaksa atau dihakimi, tetapi tetap diarahkan untuk menjalankan tugasnya.
Kesalahan PPK yang sering terjadi adalah menunda penanganan masalah kecil, berharap penyedia akan memperbaiki diri. Namun, penyedia tidak kooperatif biasanya tidak berubah jika tidak ditangani sejak awal.
Jika keterlambatan terjadi sekali, tegur secara baik-baik. Jika laporan tidak diserahkan, ingatkan secara resmi. Jika komunikasi mulai terputus, segera kirim surat panggilan. Semakin cepat diselesaikan, semakin kecil masalahnya.
Menunda hanya membuat kontrak semakin sulit dipertahankan dan membahayakan jadwal pelaksanaan.
Jika masalah sudah terlalu besar, PPK tidak harus menghadapi penyedia sendirian. PPK bisa meminta bantuan atasan langsung, Pengguna Anggaran (PA), atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Kehadiran mereka dalam pertemuan sering kali membuat penyedia lebih menghormati proses.
Selain itu, dukungan pimpinan memberikan perlindungan administratif bagi PPK. Dengan adanya arahan atau persetujuan dari pimpinan, langkah-langkah penyelesaian menjadi lebih kuat secara hukum.
Ada situasi di mana penyedia benar-benar tidak bisa dihubungi. Telepon tidak aktif, pesan tidak dijawab, dan undangan rapat tidak dihadiri. Kondisi ini sangat menyulitkan PPK.
Dalam situasi seperti ini, PPK harus menempuh jalur administrasi yang tegas. Kirim teguran, buat berita acara ketidakhadiran, minta laporan dari tim teknis, dan siapkan rekomendasi pemutusan kontrak. Semua langkah harus terdokumentasi.
Jika kontrak putus, PPK dapat merekomendasikan blacklist (daftar hitam) sesuai ketentuan jika penyedia terbukti melalaikan kewajiban secara serius.
Pengalaman menghadapi penyedia yang tidak kooperatif dapat menjadi pelajaran penting. Untuk proyek berikutnya, PPK dapat:
Dengan langkah ini, kemungkinan bertemu penyedia bermasalah bisa dikurangi.
Menjadi PPK bukan tugas mudah. Selain harus memahami aturan pengadaan, PPK harus mampu menghadapi beragam karakter penyedia. Ketika penyedia tidak kooperatif, PPK harus mengambil langkah profesional, terukur, dan terdokumentasi.
Solusi praktis seperti komunikasi formal, pertemuan resmi, mekanisme teguran, dokumentasi lengkap, hingga penjatuhan sanksi dapat membantu PPK menyelesaikan masalah dengan aman dan elegan. Selama PPK berpegang pada kontrak dan aturan, setiap langkah akan terlindungi secara administratif.
Pada akhirnya, tujuan utama bukan sekadar menyelesaikan masalah, tetapi memastikan pengadaan berjalan dengan baik, hasilnya berkualitas, dan instansi mendapatkan manfaat maksimal. Dengan pendekatan yang tepat, penyedia yang tidak kooperatif bukan lagi hambatan besar, tetapi tantangan yang bisa ditangani secara profesional.