Tips Menyusun HPS agar Tidak Dipermasalahkan

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) merupakan salah satu komponen krusial dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah maupun swasta. HPS dijadikan patokan bagi panitia pengadaan untuk menilai kewajaran penawaran dan menetapkan batas harga yang dapat diterima. Apabila HPS disusun secara asal‑asalan, tanpa data pendukung yang valid dan metodologi yang jelas, maka alih‑alih memperkuat proses pengadaan, HPS justru menjadi sumber sengketa dan temuan audit. Dalam artikel ini, akan diuraikan secara rinci tips menyusun HPS yang matang, agar dokumen perencanaan Anda tahan banting, tidak dipermasalahkan oleh auditor, dan tetap menarik partisipasi penyedia terbaik.

1. Memahami Peran dan Pentingnya HPS

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) bukan sekadar angka yang tercantum dalam dokumen pengadaan. HPS adalah fondasi bagi proses pemilihan penyedia yang adil, transparan, dan akuntabel. Tanpa HPS yang kuat, proses pengadaan menjadi rawan salah arah, membuka celah kecurangan, dan menciptakan ketidakpastian hukum.

a. Sebagai Dasar Evaluasi Harga

HPS menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi kewajaran harga yang ditawarkan penyedia. Dalam proses evaluasi, penawaran yang melebihi nilai HPS sering dianggap tidak wajar dan bisa langsung didiskualifikasi. Sebaliknya, penawaran yang jauh di bawah HPS juga dapat menimbulkan kecurigaan: apakah penyedia sedang “membuang harga” hanya untuk menang, dengan risiko tidak mampu memenuhi kualitas barang/jasa yang ditentukan?

Dengan demikian, HPS ibarat garis tengah yang menjadi penjaga keseimbangan antara efisiensi dan kewajaran biaya. Ia mencegah pengadaan menjadi ajang adu harga murah tanpa memperhatikan mutu, atau sebaliknya, pemborosan anggaran hanya karena kesalahan perencanaan.

b. Sebagai Alat Pertanggungjawaban

HPS juga berfungsi sebagai bukti bahwa proses perencanaan dan pelaksanaan pengadaan dilakukan secara profesional, berbasis data, dan tunduk pada prinsip kehati-hatian. Dalam pemeriksaan oleh BPK, Inspektorat, maupun aparat penegak hukum, ketepatan dan kelengkapan dokumen HPS sering kali menjadi pemeriksaan pertama. Bila dokumen HPS tidak dapat menunjukkan bagaimana harga ditentukan, apa dasar data yang digunakan, dan siapa yang memvalidasinya, maka besar kemungkinan proses pengadaan akan dianggap tidak kredibel.

Dengan kata lain, HPS bukan hanya menjadi pegangan internal, tapi juga alat komunikasi formal bahwa pengadaan sudah dilaksanakan secara akuntabel dan tidak dibuat-buat.

c. Menjaga Minat Penyedia

HPS yang realistis mampu menjaga kepercayaan dan semangat partisipasi para penyedia barang/jasa. Bila HPS terlalu rendah, penyedia akan menganggap proyek tersebut tidak menguntungkan, tidak layak dikejar, bahkan mungkin menjebak. Akibatnya, peserta lelang minim, bahkan bisa berujung gagal lelang. Di sisi lain, HPS yang terlalu tinggi cenderung mengundang “penyedia spekulatif”, yaitu peserta yang mengajukan harga tinggi demi keuntungan besar tanpa komitmen kualitas.

Keseimbangan harga adalah kunci: cukup menarik untuk membuat penyedia datang, namun tetap masuk akal dan mencerminkan nilai wajar pasar.

d. Sebagai Pengendali Anggaran

Fungsi krusial lainnya dari HPS adalah sebagai alat pengendalian keuangan organisasi. Dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP), seluruh kegiatan harus memiliki pagu dan estimasi biaya yang kredibel. HPS yang tepat menjaga agar alokasi anggaran tidak melebihi kemampuan fiskal, serta membantu pemetaan kebutuhan anggaran per paket secara akurat.

Tanpa HPS yang tepat, bisa terjadi salah hitung—paket dirancang tapi dana tidak cukup, atau sebaliknya, dana tersedia namun dibelanjakan secara tidak efisien karena HPS overestimate.

2. Sumber Data HPS: Langkah Awal yang Kritis

HPS yang baik tidak datang dari dugaan atau asal menyebut angka. Ia harus disusun berdasarkan sumber data yang sahih, bisa diverifikasi, dan mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya. Berikut ini adalah beberapa sumber data utama yang wajib digunakan dan dilampirkan dalam dokumen HPS.

2.1. Transaksi e-Katalog LKPP dan Katalog Sektoral/Daerah

e-Katalog adalah sistem pengadaan berbasis elektronik yang disediakan oleh LKPP, dan sudah memuat ribuan produk dengan harga satuan yang telah diverifikasi. Dalam banyak kasus, e-Katalog menjadi sumber pertama yang harus dicek oleh penyusun HPS.

Keunggulan utama:

  • Data harga telah diseleksi dan ditayangkan secara resmi.
  • Spesifikasi teknis sudah baku, sehingga dapat disesuaikan langsung dengan kebutuhan pengadaan.
  • Dilengkapi bukti transaksi aktual, yang bisa diunduh sebagai lampiran dokumentasi HPS.

Namun, e-Katalog juga memiliki keterbatasan:

  • Tidak semua jenis barang atau jasa tersedia.
  • Terkadang harga tidak mencerminkan kondisi aktual pasar, terutama di luar Jawa atau kawasan terpencil.
  • Untuk jasa konsultansi atau pekerjaan spesifik (misalnya desain branding atau audit SDM), harga sering tidak tersedia di e-Katalog.

Praktik terbaik:
Unduh minimal 3 contoh harga dari e-Katalog, untuk produk sejenis, dan lampirkan dalam dokumen HPS. Gunakan harga median (bukan terendah) agar hasil HPS lebih representatif.

2.2. Survei Pasar Langsung ke Penyedia

Untuk paket yang tidak tersedia di e-Katalog, pendekatan langsung ke penyedia sangat dianjurkan. Survei ini dilakukan melalui Request for Quotation (RFQ) atau permintaan penawaran resmi.

Langkah-langkah:

  • Kirim permintaan harga ke setidaknya 3–5 penyedia yang kredibel.
  • Gunakan template surat yang memuat informasi jelas: jenis pekerjaan, spesifikasi minimum, lokasi pekerjaan, volume, dan tenggat waktu.
  • Beri waktu respon minimal 5 hari kerja agar penyedia bisa menyusun penawaran serius.
  • Mintalah penyedia menyertakan harga satuan, biaya transportasi, waktu pengiriman, dan syarat lainnya.

Keunggulan metode ini:

  • Dapat disesuaikan langsung dengan lokasi proyek.
  • Menangkap kondisi pasar aktual.

Risiko:

  • Bisa subjektif jika hanya mengandalkan satu penyedia.
  • Perlu verifikasi ulang ke lapangan untuk memastikan kewajaran harga.

2.3. Data Historis dan Realisasi Kontrak Sebelumnya

Salah satu cara cerdas adalah menggunakan data realisasi tahun-tahun sebelumnya dari kontrak yang sudah selesai.

Langkah:

  • Telusuri kontrak tahun lalu untuk pekerjaan serupa.
  • Catat harga satuan, volume, dan total biaya.
  • Koreksi harga dengan inflasi tahunan, misalnya 5–10%, dan periksa apakah nilai itu masih relevan.

Kelebihan:

  • Sumber data internal yang mudah diakses.
  • Sudah terbukti dapat dilaksanakan karena pernah terjadi sebelumnya.

Kekurangan:

  • Harga bisa tidak valid jika ada perubahan besar di pasar (misalnya pasca-pandemi, harga baja melonjak drastis).
  • Jika data lebih dari 2 tahun, harus dikaji ulang secara ketat.

2.4. Harga dari Lembaga Resmi

Lembaga seperti Kementerian PUPR dan Badan Pusat Statistik (BPS) secara rutin menerbitkan indeks harga satuan pekerjaan, bahan bangunan, atau jasa tertentu. Ini adalah sumber yang sangat kuat, karena berasal dari badan negara dan dipakai dalam perencanaan makro.

Contoh sumber:

  • SNI Harga Satuan Pekerjaan (PUPR)
  • Harga bahan pokok dari BPS per wilayah
  • Katalog harga satuan konstruksi

Kelebihan:

  • Cocok untuk pekerjaan besar atau pekerjaan infrastruktur.
  • Dapat dipakai sebagai pembanding.

Catatan:
Pastikan mencantumkan sumber data (tahun, nama dokumen, halaman) agar mudah diaudit.

3. Metodologi Penyusunan HPS yang Transparan

Penyusunan HPS tidak boleh asal menjumlahkan harga satuan. Harus ada logika dan metode yang bisa ditelusuri, mulai dari pengumpulan data hingga perhitungan akhir. Berikut adalah pendekatan sistematisnya.

3.1. Rata-Rata Tertimbang

Metode ini digunakan saat data harga berasal dari beberapa sumber yang memiliki bobot berbeda. Misalnya, harga dari e-Katalog, harga hasil survei lokal, dan harga historis dari proyek sebelumnya.

Langkah:

  • Tetapkan bobot berdasarkan keandalan atau proporsi penggunaan sumber.
  • Hitung harga akhir dengan formula:
    HPS = (Σ (harga × bobot)) ÷ jumlah bobot.

Contoh:

  • Harga A dari e-Katalog = Rp10 juta (bobot 50%)
  • Harga B dari penyedia lokal = Rp9 juta (bobot 30%)
  • Harga C dari kontrak tahun lalu = Rp8,5 juta (bobot 20%)

HPS = (10jt×0.5 + 9jt×0.3 + 8.5jt×0.2) = Rp9,35 juta

3.2. Komponen-Komponen yang Harus Disertakan

Dokumen HPS harus memuat rincian sebagai berikut:

  • Harga Barang/Jasa: Harga pokok sesuai volume.
  • Biaya Transportasi/Distribusi: Terutama penting untuk lokasi terpencil.
  • Asuransi dan Packing: Bila barang bernilai tinggi atau butuh keamanan.
  • Pajak dan Bea Masuk: PPN, PPh, bea impor (jika berlaku).
  • Biaya Cadangan (Contingency): Sekitar 5–10% untuk fluktuasi pasar.

Catatan penting:
Jangan hanya menyebut “HPS: Rp100 juta”. Harus ada breakdown rinci dengan logika harga yang jelas. Ini akan memudahkan klarifikasi bila terjadi audit.

3.3. Validasi Multi-Tim

Validasi tidak bisa dilakukan satu orang. Minimal 3 komponen tim harus terlibat:

  • Tim Teknis: Mengecek apakah harga masuk akal terhadap spek teknis.
  • Tim Keuangan: Menilai apakah alokasi anggaran mencukupi dan tidak overbudget.
  • Auditor Internal atau SPI: Menilai kepatuhan terhadap standar dan prosedur internal.

Buat notulen atau berita acara validasi, dan lampirkan ke dokumen HPS sebagai bukti bahwa penyusunan dilakukan kolektif dan profesional.

4. Menghindari Kesalahan Umum dalam Menyusun HPS

Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) seringkali dianggap sebagai kegiatan administratif belaka. Padahal, kesalahan kecil dalam penyusunan HPS bisa berujung pada dampak besar seperti pembatalan lelang, audit temuan, hingga sanksi hukum. Oleh karena itu, memahami kesalahan umum dan strategi menghindarinya menjadi bagian krusial dari proses pengadaan yang akuntabel.

4.1. HPS Terlalu Rendah

Dampak Langsung:
Salah satu kesalahan paling umum adalah menyusun HPS terlalu rendah—biasanya karena menyalin harga dari proyek tahun lalu tanpa penyesuaian inflasi, tidak memperhitungkan ongkos distribusi, atau hanya menggunakan satu sumber harga dari penyedia dengan penawaran terendah. Akibatnya, penyedia menjadi enggan mengikuti lelang karena melihat proyek tersebut tidak realistis atau bahkan berisiko merugi.

Penyedia profesional akan mempertimbangkan banyak faktor dalam menyusun penawaran: biaya produksi, biaya tenaga kerja, logistik, margin keuntungan, dan risiko. Jika HPS Anda tidak mencerminkan nilai wajar pasar, maka lelang bisa sepi peminat atau, lebih buruk lagi, hanya diikuti oleh penyedia yang tidak kredibel.

Solusi Praktis:

  • Tambahkan buffer risiko sebesar 5–10% terutama jika produk/jasa bersifat dinamis atau fluktuatif.
  • Verifikasi harga aktual di pasar, bukan hanya berdasarkan harga “ideal” atau termurah.
  • Cermati biaya tersembunyi, seperti pengiriman ke lokasi jauh, biaya bongkar muat, atau dukungan teknis purna jual.

HPS yang terlalu rendah bukanlah bentuk efisiensi, melainkan potensi kegagalan pengadaan karena tidak menarik partisipasi pasar.

4.2. HPS Terlalu Tinggi

Dampak Langsung:
Sebaliknya, HPS yang terlalu tinggi membuka ruang pemborosan dan kecurigaan. BPK dan inspektorat internal sering menjadikan nilai HPS yang tidak wajar sebagai indikator lemahnya kontrol anggaran. Selain itu, HPS tinggi juga mengundang penyedia yang berspekulasi—menyusun penawaran mendekati nilai HPS tanpa dasar biaya produksi yang kuat. Hal ini merugikan negara karena membayar lebih mahal dari nilai riil barang atau jasa.

Lebih buruk lagi, HPS yang tidak didasarkan pada sumber data valid bisa dianggap sebagai “indikasi mark-up”, yang dapat memicu temuan hukum atau pemeriksaan lebih lanjut.

Solusi Praktis:

  • Gunakan price cap atau batas atas harga dari sumber resmi, seperti e‑Katalog atau indeks harga satuan pekerjaan dari lembaga teknis.
  • Bandingkan dengan data historis internal dan periksa konsistensi antar tahun.
  • Libatkan tim keuangan dan inspektorat internal untuk mengevaluasi apakah margin dan harga sudah sesuai dengan standar penganggaran yang wajar.

Keseimbangan adalah kuncinya: HPS tidak boleh terlalu murah hingga tidak masuk akal, tapi juga tidak boleh terlalu mahal hingga memboroskan anggaran publik.

4.3. Dokumen HPS Tidak Lengkap

Dampak Langsung:
Banyak kasus terjadi ketika tim pengadaan hanya mencantumkan angka akhir HPS tanpa dokumen pendukung seperti screenshot katalog, surat penawaran dari penyedia, atau data historis yang relevan. Ketika dilakukan audit, tidak adanya bukti-bukti ini membuat tim sulit mempertahankan nilai HPS yang sudah disusun.

Hal ini bisa berakibat pada temuan administratif, pemotongan anggaran, hingga permintaan pengulangan proses pengadaan. Keterbukaan dan transparansi dalam penyusunan HPS adalah hal yang tidak bisa ditawar.

Solusi Praktis:

  • Lampirkan semua sumber data: minimal 3 referensi harga dari penyedia berbeda, tangkapan layar dari e‑Katalog, atau publikasi resmi lembaga pemerintah.
  • Buat tabel perhitungan rinci per komponen, mulai dari harga pokok, ongkos kirim, pajak, hingga margin risiko.
  • Simpan semua dokumen dalam satu folder HPS yang bisa diaudit kapan saja.

Ketika dokumentasi lengkap dan runtut, proses pengadaan akan lebih aman secara hukum dan memperkuat posisi instansi dalam pertanggungjawaban publik.

4.4. Tidak Menyertakan Asumsi Dasar

Dampak Langsung:
Penyusunan HPS tanpa menyertakan asumsi seringkali menimbulkan pertanyaan: mengapa harga ditetapkan sebesar itu? Misalnya, kenapa biaya pengiriman dihitung Rp5 juta? Apakah kurs USD saat penghitungan Rp15.000 atau Rp16.500?

Tanpa asumsi yang eksplisit, semua angka dalam HPS dianggap mengambang. Hal ini akan menyulitkan dalam diskusi klarifikasi, proses negosiasi harga, atau ketika ada perbedaan harga aktual dengan HPS saat implementasi proyek.

Solusi Praktis:

  • Tambahkan kolom atau catatan khusus berjudul “Asumsi Dasar Perhitungan” di bagian bawah dokumen HPS.
  • Sertakan informasi seperti:
    • Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (jika ada komponen impor).
    • Biaya pengiriman berdasarkan jarak atau wilayah (misalnya: Jakarta ke Ambon = Rp3 juta).
    • Asumsi inflasi tahunan (misalnya: 6%).
    • Biaya pengemasan atau penyimpanan barang.
  • Cantumkan tanggal penarikan data untuk menunjukkan bahwa HPS disusun berdasarkan kondisi terbaru.

Asumsi bukan sekadar pelengkap, tetapi instrumen penting untuk membangun transparansi dan logika perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan.

5. Contoh Format HPS yang Baik dan Terstruktur

Setelah mengetahui berbagai prinsip dan risiko, kini saatnya menyusun HPS dalam bentuk yang rapi, jelas, dan siap diaudit. Berikut adalah format contoh HPS yang direkomendasikan karena mencerminkan struktur logis, sumber data yang sah, dan transparansi perhitungan:

No.Uraian KomponenDasar HargaHarga Satuan (Rp)VolumeSubtotal (Rp)
1Komputer Desktop Core i5e-Katalog LKPP 202510.500.00010105.000.000
2Monitor LED 24 inciRFQ PT A, B, C (Maret 2025)2.300.0001023.000.000
3Packing dan Asuransi (5%)Estimasi atas subtotal (1+2)6.400.000
4Pajak PPN 11%Peraturan Perpajakan14.040.000
Total HPSRp148.440.000

Catatan Asumsi Perhitungan:

  1. Harga komputer desktop merujuk e-Katalog LKPP per 1 April 2025.
  2. Harga monitor berdasarkan hasil RFQ dari tiga penyedia (15–20 Maret 2025).
  3. Packing dan asuransi dihitung sebesar 5% dari total belanja fisik.
  4. PPN dihitung sesuai tarif nasional sebesar 11%.
  5. Kurs USD diasumsikan Rp15.800 (tidak digunakan dalam contoh ini, tapi tetap perlu disebut jika relevan).
  6. Semua harga berlaku untuk pengiriman wilayah Jabodetabek. Jika lokasi berbeda, penyesuaian biaya logistik diperlukan.

Mengapa format ini dianggap baik?

  • Menunjukkan keterlacakan harga.
  • Mengaitkan setiap komponen dengan sumber yang valid.
  • Menggunakan pendekatan bottom-up (dari harga satuan ke total).
  • Memberikan ruang klarifikasi yang memadai kepada penyedia maupun auditor.

Dengan format dan pendekatan ini, Anda akan memiliki HPS yang tidak hanya valid secara teknis, tapi juga tangguh saat diuji oleh publik, auditor, dan regulator.

6. Tips Praktis Memperkuat HPS Anda

Meskipun HPS telah disusun dengan metodologi yang tepat, proses pengadaan tetap memerlukan kehati-hatian ekstra agar nilai HPS yang sudah ditetapkan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Berikut ini beberapa tips praktis untuk memperkuat posisi HPS Anda secara teknis maupun administratif:

6.1. Lakukan Review Berkala Sesuai Dinamika Harga

Harga pasar bukan sesuatu yang statis. Jika proses lelang tertunda atau dimundurkan lebih dari 30 hari dari penyusunan awal HPS, maka Anda wajib melakukan review ulang terhadap nilai HPS. Menggunakan HPS lama dalam kondisi pasar yang sudah berubah dapat menimbulkan dua risiko besar:

  • HPS menjadi tidak relevan (terlalu murah atau terlalu mahal).
  • Auditor akan mempertanyakan akurasi data HPS terhadap kondisi saat kontrak dimulai.

Solusi: Tetapkan standar internal bahwa setiap penundaan lebih dari satu bulan wajib memicu tinjauan ulang HPS. Buat revisi lampiran bila ada perubahan signifikan dan dokumentasikan alasannya (misalnya perubahan kurs dolar, inflasi BBM, atau kelangkaan bahan).

6.2. Simpan Arsip Digital yang Terstruktur

HPS bukan hanya angka akhir; ia adalah hasil dari serangkaian proses riset, analisis, diskusi, dan validasi. Sayangnya, banyak organisasi yang hanya menyimpan dokumen cetak tanpa backup digital. Ketika auditor datang atau terjadi sengketa, dokumen penunjang sering hilang atau sulit ditelusuri.

Solusi:

  • Buat sistem pengarsipan digital untuk setiap HPS dalam folder berdasarkan kode kegiatan/paket.
  • Isi folder tersebut minimal dengan: screenshot e‑Katalog, surat penawaran RFQ, notulen validasi, file Excel perhitungan, dan template HPS akhir.
  • Simpan file di server internal atau cloud resmi instansi (misalnya drive pemerintah daerah/kementerian) dengan hak akses terbatas tapi terkontrol.

Keamanan arsip ini menjadi bukti integritas dan akuntabilitas pengadaan Anda di mata publik maupun lembaga pengawas.

6.3. Gunakan Software Spreadsheet dan Formula Otomatis

Kesalahan perhitungan manual masih menjadi salah satu penyebab utama HPS yang tidak valid. Kesalahan sederhana seperti penulisan angka, konversi satuan, atau menjumlahkan subtotal bisa berakibat fatal jika tidak disadari sejak awal.

Solusi:

  • Gunakan software spreadsheet seperti Microsoft Excel, Google Sheets, atau aplikasi HPS berbasis pengadaan elektronik.
  • Bangun template HPS dengan rumus otomatis untuk subtotal, persentase pajak, buffer risiko, hingga total HPS.
  • Lindungi sheet dengan password agar tidak mudah diubah sembarangan, serta aktifkan kolom komentar untuk mencatat asumsi.

Dokumen digital ini juga bisa dengan mudah diaudit ulang atau diperbaharui, sehingga jauh lebih efisien dari dokumen manual.

6.4. Pelatihan dan Penguatan Kapasitas Tim

Penyusunan HPS seringkali diserahkan kepada satu atau dua orang staf teknis atau keuangan. Padahal, penyusunan HPS seharusnya melibatkan pemahaman teknis, pengetahuan pasar, serta keterampilan dokumentasi administratif.

Tanpa pelatihan yang memadai, staf pengadaan rawan mengulang kesalahan tahun sebelumnya atau asal menyalin nilai dari kontrak lama.

Solusi:

  • Selenggarakan pelatihan rutin internal atau lintas instansi (bisa berkolaborasi dengan LKPP atau ULP Provinsi).
  • Fokus pelatihan mencakup: teknik survei pasar, membaca e‑Katalog, penyusunan HPS multi-komponen, serta penyusunan asumsi.
  • Gunakan studi kasus nyata sebagai bahan simulasi agar tim lebih memahami risiko dan praktik terbaik.

Dengan tim yang terlatih dan paham perannya, proses penyusunan HPS akan lebih kredibel dan kolaboratif.

6.5. Kolaborasi dengan APIP Sejak Awal

Auditor internal atau Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) seringkali baru dilibatkan setelah audit selesai dan temuan ditemukan. Padahal, melibatkan APIP sejak awal dalam proses penyusunan HPS justru bisa mencegah kesalahan administratif atau kelemahan metodologis.

Solusi:

  • Undang auditor internal untuk melakukan “pre-audit” ringan terhadap dokumen HPS, sebelum lelang diumumkan.
  • Gunakan masukan mereka untuk memperbaiki logika asumsi, keabsahan data sumber, dan kelengkapan format.
  • Catat masukan APIP sebagai bagian dari berita acara validasi, agar jika nanti muncul pertanyaan hukum, Anda punya jejak pembelaan.

Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat akuntabilitas, tetapi juga membangun budaya transparansi lintas unit kerja.

7. Kesimpulan

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) bukan sekadar angka atau formalitas dalam dokumen pengadaan. Ia adalah instrumen strategis yang berfungsi sebagai acuan evaluasi harga, pertanggungjawaban keuangan, pengendali anggaran, dan penarik minat penyedia.

Menyusun HPS yang akurat, valid, dan tidak dipermasalahkan adalah tanggung jawab bersama—bukan hanya tim pengadaan, tetapi juga teknis, keuangan, hingga manajemen.

Dari pemahaman fungsi HPS, pemilihan sumber data (e‑Katalog, RFQ, historis, publikasi resmi), metodologi transparan (rata-rata tertimbang, margin risiko, asumsi dasar), hingga validasi lintas tim, semuanya harus dilakukan dengan rapi dan terdokumentasi. Bahkan kesalahan kecil seperti tidak mencantumkan asumsi bisa berujung pada temuan audit yang menghambat kelancaran proyek.

Dengan menerapkan tips praktis berikut ini, Anda akan memperkuat posisi HPS:

  • Review berkala agar harga tidak kedaluwarsa.
  • Arsip digital terstruktur sebagai bukti dokumentasi.
  • Spreadsheet otomatis untuk meminimalkan human error.
  • Pelatihan rutin tim agar semua paham metode yang benar.
  • Kolaborasi APIP agar HPS tahan uji audit sejak awal.

Pada akhirnya, HPS yang baik akan menghasilkan pengadaan yang efisien, transparan, dan akuntabel. Ia membantu organisasi menghindari gagal lelang, menarik penyedia berkualitas, serta meminimalkan risiko hukum dan temuan anggaran.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *